December 12, 2009

School Abuse


Oleh: Nazhori Author


Awalnya adalah peningkatan mutu. Setelah itu, tenggelam dalam pelaksanaan yang tak kunjung membaik. Betapa tidak, lembaga pendidikan kita berada dalam beragam jenis penyimpangan dana yang dampak besarnya menyangkut pendidikan generasi penerus. Tidak tanggung-tanggung besaran nilai penyimpangan mencapai milyaran rupiah. Ditengarai dugaan korupsi anggaran pendidikan berlangsung dengan memanfaatkan celah dana bantuan yang diberikan pemerintah kepada sekolah.

Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa lembaga pendidikan mengalami jenis penyimpangan dengan modus korupsi dan kasus berbeda. Jumlah kasusnya 142 kasus, dengan modus penyalahgunaan 51 kasus, pemotongan 38 kasus, mark-up 27 kasus, kegiatan fiktif 9 kasus, penggelapan 9 kasus, manipulasi laporan/data keuangan 2 kasus, pemerasan 2 kasus, pembongkaran gedung sekolah secara ilegal 1 kasus, pungutan liar 1 kasus, dan subkontrak ilegal proyek dinas pendidikan 2 kasus dengan total kerugian negara Rp 243,2 milyar (Gatra, 21 Oktober 2009).

Menurut Febri, peneliti ICW, sejak 2004 Depdiknas mengelola dana pendidikan sebesar Rp 144 trilyun. Angka ini lebih besar 115% dari anggaran yang dikelola tahun 2000-2004, yang hanya Rp 66,8 trilyun. Tapi nyatanya Depdiknas tak mampu menekan angka putus sekolah. Pada 2000-2004, angka putus sekolah mencapai 4,5 juta siswa, kemudian pada 2004-2008 angkanya masih 4,3 juta. Cuma turun 200.000. Cukup mengherankan bila anggaran sekian besarnya hanya mampu menurunkan angka putus sekolah sebanyak itu (Gatra, 21 Oktober 2009).

Informasi serupa juga diberitakan dalam majalah Gatra, dengan uraian jenis penyimpangan dana pendidikan di Depdiknas. Jenis penyimpangan itu berdasarkan laporan BPK semester I dan II tahun 2004-2008 antara lain penyimpangan pengelolaan aset, tidak tepat sasaran, tanpa bukti pertanggungjawaban, pemborosan, kerugian negara, dan denda belum dipungut. Diduga penyimpangan anggaran pendidikan hampir Rp 1 trilyun.

School Abuse
Di Indonesia perlakuan salah tidak hanya menimpa anak-anak yang tak berdosa. Dalam dunia pendidikan pun perlakuan salah terhadap pendidikan seiring dengan perkembangannya terus meningkat. Nama sandangan sekolah itu penggunaannya difungsikan dalam hal penyimpangan yang tidak hanya merugikan pendidikan, siswa, guru, kepala sekolah, dan bangsa tapi waktu luang yang secara khusus digunakan untuk melejitkan kecerdasan bagi generasi masa depan.

Perlakuan salah terhadap sekolah (school abuse) menempatkan lembaga pendidikan sebagai lembaga budi pada substansinya yang mendekati dalam suatu kata pembaruan semu (quasi-innovation). Sepintas pembaruan sistem pendidikan nasional adalah gagasan yang menyegarkan. Kenyataannya, pembaruan tersebut justeru mempertanyakan kembali hakikat dari eksistensi sekolah.

Ihwal dari proses pembaruan sekolah berupa reformasi pendidikan sejatinya berarti dinamika perkembangan dunia pendidikan yang berusaha mengejawantahkan kondisi yang tidak atau kurang baik menjadi baik. Dalam pengertian ini, ada upaya secara yuridis untuk melakukan evaluasi dengan terobosan-terobosan baru terhadap sistem pendidikan yang sudah usang untuk memotong mata rantai kemiskinan dan kebodohan.

Dalam praktiknya risiko dan tantangan selalu hadir di depan mata, tapi keengganan terus membayangi serta sulit menembus transformasi pedagogis yang diharapkan. Padahal gerakan ke arah desentralisasi dan dekonsentrasi sudah dibentangkan di beberapa daerah melalui otonomi pendidikan, hasilnya adalah asap kerumitan yang kian mengepul ke atas awan.

Sebagai catatan, Indonesia baru saja memilih kepala dan wakil kepala negara, serta menteri-menteri baru. Tujuannya untuk menjalankan roda pemerintahan secara demokratis dan warga negaranya hidup dalam kemakmuran di mana setiap kebutuhannya dapat terpenuhi. Tidak terkecuali dengan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan terjangkau.

Semua orang tahu, sekolah beserta analoginya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Dengan pemikiran konstruktif, alternatif sekolah terus diselidiki demi mendapat pengakuan sosial. Tidak lain obsesinya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas hidup masyarakat. Seraya mereka-reka inilah sekolah masa depan yang cocok untuk generasi muda.

Mengacu pada undang-undang sistem pendidikan nasional wajah sekolah diperbarui mulai dari anggaran, kualitas guru sampai dengan inovasi manajemen pendidikan. Meski dikabulkan dalam mekanisme pelaksanannya berjalan sendat-sendat. Barulah terkuak, penyebabnya adanya perlakuan salah terhadap sekolah. Fungsi sekolah dikerdilkan lantaran terbukanya kesempatan untuk mematikan peran strategisnya.

Masalah perlakuan salah terhadap sekolah juga tidak terlepas dari persoalan birokrasi. Melemahnya koordinasi antara birokrasi di pusat dan daerah menjadi beban tersendiri yang dampaknya ikut menurunkan kualitas pendidikan antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, ke depan reformasi birokrasi harus segera dievaluasi sebagai pilar penting dalam manajemen pendidikan nasional.

Empat Pilar
Beberapa program andalan pembaruan pendidikan nasional sebetulnya sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya dalam lima tahun ke depan untuk menaikkan tingkat kualitas pendidikan. Hal itu tercermin dalam beberapa program di antaranya BOS, DAK, buku gratis online, sertifikasi guru, UN, dan lainnya. Bahkan sebagai stimulus sekolah diberikan kesempatan untuk mengelola lembaganya dengan manajemen berbasis sekolah, tak dinyana masih ada penyimpangan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Untuk itu, pendidikan sebagai bagian yang tidak bisa dikesampingkan dari upaya membangun karakter dan budaya bangsa, Mentri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang baru Muhammad Nuh, mendapat tantangan pedagogis baru yaitu bagaimana meningkatkan layanan pendidikan kepada masyarakat. Dan, obat mujarab apa nantinya yang akan dijadikan resep jitu untuk mengobati panas dalam pendidikan.

Mengawali masa kerjanya, dalam seratus hari ke depan Mendiknas, Muhammad Nuh menandaskan, untuk memperluas layanan pendidikan kepada masyarakat Indonesia dibutuhkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan. Pertama, sekolah harus ada, oleh karena itu, kelayakan sekolah harus diperhatikan. Kedua, menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau (tidak gratis) meskipun masyarakat akan dikenakan biaya pendidikan seminimal mungkin yang telah ditetapkan. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan yang didukung oleh pilar terakhir yaitu adanya jaminan bagi peserta didik dalam mengembangkan ilmunya dan menciptakan lapangan pekerjaan setelah lulus dari masa belajarnya.

Berdasarkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional di atas, tentu saja perbaikan infrastruktur tidak bisa dilupakan. Maka prosesnya reformasi politik birokrasi dalam pendidikan mendesak dilakukan karena penyalahgunaan wewenang tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi baik di tingkat kabupaten dan kota. Yang terpenting di antaranya tidak mengulang kembali cara bersikap dan berpikir tunggal ke dalam dekorasi pendidikan yang involutif.

Oleh karena itu, porsi pendidikan sebagai pilar penting melawan kemiskinan dan kebodohan jangan dikurangi sedikit pun sehingga masyarakat dapat berdiri di atas kakinya sendiri dengan pengetahuan dan wawasan baru. Selain itu, mental masyarakat dalam memberdayakan diri sendiri akan tumbuh karena diorientasikan pada persoalan nyata dan harus dihadapi dengan kesadaran subyektif secara obyektif. Pendidikan, sebagai fondasi utama menuju globalisasi harus dikokohkan agar terhindar dari bencana yang mematikan. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?