November 4, 2010

Pemuda dalam Manifes Kekuasaan

Oleh Nazhori Author



Pasca reformasi belum terlihat geliat pemuda melakukan rekonstruksi politik untuk menyuarakan gagasan berbeda tentang masa depan keindonesiaan. Kalaupun ada gagasan-gagasan mereka hanya terakomodir melalui gerakan civil society yang jumlahnya sangat terbatas. Sedangkan bagi mereka yang terlibat dalam arena politik sulit melakukan konsolidasi di tengah pesona pragmatisme politik.

Sementara para pemuda yang berada diluar jalur politik dan gerakan sosial harus bersusah payah menghadapi simbol-simbol budaya pop yang dihasilkan oleh kapitalisme mutakhir. Tidak sedikit dari mereka tersingkir dari arena sosial dan ekonomi akibat persaingan ketat yang dimainkan perusahaan lintas negara. Demikian suka-duka pemuda yang tumbuh di belantika dunia ketiga.

Dalam situasi berbeda, khususnya di kawasan Asia, puta-putri Indonesia memberikan sumbangan yang signfikan terhadap devisa negara lewat tenaga “belia” yang bekerja sebagai TKI. Para TKI ini, dikenal tekun dan rajin karena itu paspor mereka sangat dinanti di luar negeri. Tidak jarang dari mereka yang berjiwa muda mengalami nasib buruk karena lemahnya proteksi negara.

Di Indonesia, ketika nasionalisme diperjuangkan melalui politik multi partai, muncul kebangkitan kelas menengah yang notabene adalah pemuda. Suara politik mereka salurkan di bilik suara dengan harapan pemimpin baru negeri ini dapat memberikan harapan dan perubahan yang berarti. Namun, perubahan yang dinanti tak kunjung datang hilang sampai tak menyentuh beberapa momentum penting.

Pemuda Beresiko
Pemuda dan kehidupan sosial memang tidak seperti yang diduga oleh mereka yang berpolitik. Suara mereka sesekali mudah dipengaruhi sosok baru yang kelimis. Sebaliknya mereka akan mudah meninggalkan jika harapannya pupus di tengah jalan. Akhirnya mereka yang status sosialnya di level bawah menjadi pemuda yang mudah beresiko, misalnya rentan terhadap bahaya narkotika dan kegaduhan sosial.

Tidak menutup kemungkinan resiko datang menimpa pemuda yang terdidik dan berpenghasilan tinggi. Hanya saja tidak terjebak pada kegaduhan sosial, melainkan meski dalam jumlah yang sedikit akan tumbuh ketidakpercayaan sosial (social distrust) terhadap pemerintah yang mengendalikan kebijakan negara.

Dengan kata lain, muncul kecurigaan di mata kelas menengah bahwa pemerintah menjalankan roda pemerintahan terkesan main-main. Contohnya dalam soal pemberantasan korupsi, di satu sisi pemerintah ingin bersih dari praktik KKN, di sisi lain beberapa kasus korupsi yang jelas merugikan negara tidak tuntas diselesaikan untuk memukul jera koruptor secara hukum.

Masih ada persoalan lainnya yang belum bisa dinilai kaum muda serius untuk ditangani pemerintah beserta jajarannya seperti tingginya angka pengangguran. Sedangkan kehidupan global ekonomi sekarang ini sering kali dikatakan sebagai era konsumeristik. Di mana, kaum borjuasi dan kapitalisme lebih memilih pemuda untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif.

Terlebih dengan munculnya produk-produk terkenal (branded) tidak jarang pemuda menjadi sasaran bidik kapitalis. Hampir tiap tahun para pemuda disuguhkan berbagai macam manifes pasar yang menggoda namun mereka lupa bahwa hegemoni pasar akan terus mengubah dunia dengan sesuatu yang baru dan penuh resiko. Ia akan selalu ada sebelum pemuda memimpikan dan menginginkannya.

Kekuasaan Selalu Terbatas
Dunia pemuda adalah dunia penuh benturan. Semakin klimaks benturan yang terjadi semakin terbuka ruang untuk berkreasi. Sejatinya para pemuda memanfaatkan momentum ini mengingat sejarah adalah sebuah proses yang tidak akan berhenti. Sekalipun kekuasaan muncul sebagai kekuatan baru di Indonesia tetap nasib kekuasaan ada di tangan rakyat.

Menarik apa yang diungkapkan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya bahwa kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Sambil menyajikan gagasan Gramsci pemikir Marxis Italia, dalam teks “Manifes” ia mengatakan sebenarnya ide Gramsci berbicara tentang keniscayaan munculnya “kontrahegemoni” (Tempo, 15 Agustus 2010).

Hal senada pernah dilontarkan Ali Syari’ati intelektual terkemuka asal Iran yang menentang hegemoni Syah Reza Pahlevi. Baginya menyelamatkan kaum tertindas (mustad’afin) adalah keniscayaan. Pemuda sebagai bagian dari persoalan nyata di masyarakat posisinya sangat rentan mendapatkan ketidakadilan dan kebijakan yang semu.

Dahulu, pada 28 Oktober 1928, sumpah pemuda adalah ikrar perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Bersatunya para pemuda Indonesia saat itu tidak lain berkeyakinan bahwa manifes kekuasaan penjajah sungguh terbatas. Hanya bahasa persatuan yang menyatukan semangat mereka yang tidak terbatas.

Meskipun posisi pemuda beresiko, oposisi masih menyediakan jalan alternatif yang kalis dari kepentingan politik. Pemuda adalah oposan yang berbeda jalan dengan jalan kekuasaan. Segenap energi harus ditumpahkan untuk menciptakan perubahan. Tak semua lezatnya roti demokrasi diberikan kepada rakyat, sebab makna demokrasi hanya milik penguasa. Karena itu, gerakan politik melawan kekuasaan adalah ikhtiar menyelamatkan suara rakyat.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?