Pagi itu,
suasana di salah satu kelurahan kawasan Cakung, Jakarta Utara, tak seperti
biasanya. Ada perubahan mencolok: posisi meja layanan yang tertata rapi dan
kualitas layanan publik yang tidak berbelit-belit. Selesai mengurus dokumen
langsung ucapkan terima kasih, tanpa embel-embel atau ketabelece, kata seorang
warga.
Entah ada
kesadaran atau rasa takut di tingkat kelurahan dan kecamatan, yang pasti semua
proses layanan publik berjalan normal. Saat ini sudah tidak ada lagi keluhan
dari warga. Jika pun ada, akan berbuntut panjang, karena masyarakat mulai sadar
akan pentingnya prosedur pengaduan masalah layanan publik.
Kelurahan dan
kecamatan merupakan instansi pemerintah yang mendapat perhatian serius dari
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Setelah Joko Widodo meletakkan posisinya
sebagai Gubernur DKI Jakarta digantikan oleh Ahok, wajah instansi layanan
publik di Jakarta mendadak tertib.
Ada apa
sebenarnya? Tentu saja hanya warga Jakarta yang mengetahui dan mengalaminya.
Secara empiris, persepsi negatif terkait pelayanan publik di kelurahan ataupun
kecamatan beberapa waktu lalu masih menyisakan nokta merah dalam ingatan sosial
umumnya warga Jakarta. Persisnya sebelum kedatangan mantan Wali Kota Solo dan
Bupati Belitung Timur itu, warga Jakarta sudah kenyang dengan pola layanan dan
komunikasi aparat pemerintah DKI Jakarta yang berbelit-belit.
Namun pengalaman
yang dialami warga Jakarta berubah. Kedatangan Jokowi dan Ahok memimpin Jakarta
menemukan momentumnya. Apa pun alasannya, Jakarta adalah miniatur negara
impian. Negara impian yang diidamkan-idamkan Al-Farabi, guru kedua setelah
Aristoteles, yaitu negara utama (al-madinah al-fadilah) yang bebas
dari kerusakan, kesesatan, dan kemerosotan.
Pesona Jakarta
memang memikat banyak orang. Apalagi untuk urusan kepemimpinan. Untuk menjadi
orang nomor satu di Jakarta siapa pun harus siap bertarung dengan segala
risikonya. Pengalaman berharga pencalonan Jokowi-Ahok menjadi gubernur dan
wakil gubernur Jakarta adalah pemetaan fenomena politik yang bercampuraduk
dengan isu agama secara gamblang.
Agama dan
politik adalah dua fenomena yang saling terkait. Tidak terkecuali dengan Ahok.
Isu agama dan politik masih menyertainya sampai saat ini. Bagi yang kontra
Ahok, ketika melihat sepak terjangnya, yang ada dalam benaknya seperti melihat
api dan merasakan panas.
Dalam benak
mereka, Ahok laksana api yang membakar dan panas. Di samping kebijakannya yang
kontroversial, sikap ceplas-ceplos, dan perkataan yang keluar dari mulutnya
dimaknai berbeda seolah sombong dan tidak sopan. Padahal, dalam dunia nyata,
Ahok bukan api yang menimbulkan efek panas bagi siapa pun yang menjadi lawan
politiknya.
Persoalan
pemotongan hewan kurban, sengketa APBD 2015, penertiban warga Kampung Pulo,
kasus Metro Mini, sampai yang terbaru pembongkaran Kalijodo. Ketika mendapat
perlawanan dari penentangnya, jawaban Ahok begitu pasti dan seolah apriori.
Solusi yang ditawarkan selalu simpel, yakni bertahan atau ingin berubah ke arah
yang lebih baik.
Perhatikan
jawaban Ahok saat ditanya soal Kalijodo. Tanpa perlu teori atau pembuktian
rinci, Ahok mengatakan prostitusi sudah ada sejak lama. Paralel dengan sikap
dan pendiriannya itu, pun ketika ditanya soal lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT), lagi-lagi jawaban Ahok tajam dan pasti, “Tuhan menciptakan
Adam untuk Hawa, bukan Adam dengan Ali”.
Jika pernyataan
Ahok itu dimaknai, secara tersirat ia menginginkan suatu manajemen tata kelola
yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan dasar hukum. Terlebih dengan
ribuan persoalan yang merundung Ibu Kota, ketegasan dan sikap yang kuat tentu
dibutuhkan, seperti ditunjukkan Ahok.
Secara prinsip
Ahok memiliki dua gerakan tata kelola untuk membenahi Jakarta. Karena dalam
prinsip gerak, hanya ada dua pilihan: tetap atau berubah. Hal ini pula yang
perlu dicermati oleh masyarakat Jakarta. Sejalan dengan itu, gaya
kepemimpinannya yang tegas meniscayakan gerak awal dan akhir.
Gerak awal yang
dimaksud adalah gerakan kontrol yang diperhitungkan dan dievaluasi. Tentu saja
mempertimbangkan baik dan buruknya yang dilengkapi dengan solusi. Sementara
itu, gerak akhir adalah gerakan eliminasi yang memungkinkan lahirnya suatu
kebijakan yang tidak bisa memberikan satu peluang pun untuk memilih.
Misalnya kasus
Metro Mini. Gerak awalnya (kontrol) jika setelah dievaluasi masih saja belum
berbenah dan menyisakan pilihan yang moderat tapi masih diindahkan, gerak akhir
sebagai gerak kedua memberikan jawaban eliminasi. Tentu saja pemilik Metro Mini
akan berpikir dua kali agar asap di dapurnya tetap ngebul.
Begitu pun
dengan penertiban warga Kampung Pulo. Dengan pola dua gerak yang sama, akhirnya
warga Kampung Pulo dapat menikmati rumah susun yang layak, meski di sana-sini
masih ada kekurangan. Tujuannya hanya satu: mengajak berpikir masyarakat
mencari solusi sebuah persoalan.
Terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, eksperimentasi tata kelola Jakarta yang dibuktikan
Ahok didasari dalil empiris. Dengan kata lain, logika kepemimpinan Ahok
didapatkan melalui eksperimentasi yang dilakukan dengan model dua gerakan alias
dua jurus kungfu secara bertahap.
Sumber: GeoTimes (Tulisan ini dimuat pada, Kamis, 10 Maret 2016)
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?