Salah satu keunikan industri
keuangan dan korporasi saat ini adalah meletakkan strategi digital sebagai
ujung tombak komunikasi dalam mengembangkan model bisnis dengan piranti
tekonologi berbasis transaksi online (payment
gateway). Suka tidak suka, perusahaan harus beradaptasi dengan revolusi
digital meski kendala infrastruktur dan biaya investasi terbilang tinggi.
Industri perbankan misalnya,
layanan fisik melalui kantor cabang belakangan ini kian sepi pengunjung. Para
nasabah memilih saluran digital karena hemat waktu dan efisien. Padahal untuk
membuka kantor cabang, perusahaan perbankan membutuhkan investasi yang besar.
Namun, kecanggihan teknologi informasi dan melesatnya akses internet telah
memicu perubahan perilaku masyarakat (life
style) dari yang konvensional ke arah digital.
Serupa dengan
perusahaan-perusahaan yang sedang berbenah diri menghadapi persaingan di dunia
digital, lembaga amil zakat (LAZ) nasional pun dituntut untuk inisiatif
mengembangkan program dan penghimpunan zakat, infak dan sedekah (ZIS) dengan
sistem digital. Prinsipnya, bagaimana LAZ dapat memberikan kemudahan kepada
para donatur (muzaki) ketika
menunaikan ZIS.
Kendati layanan jemput zakat
masih dipertahankan, namun para muzaki mulai beralih memanfaatkan layanan
digital. BAZNAS, Dompet Dhuafa, IZI, Rumah Zakat, PPA Darul Qur’an, Lazismu,
Lazisnu, dan lembaga filantropi lainnya bergerak selincah mungkin untuk menambah
pundi-pundi penghimpunan (fundraising).
Sementara sosial media berperan sebagai jaring laba-laba persis dengan apa yang
dilakukan korporat mengintegrasikan e-commerce
dengan sistem yang mereka bangun secara online.
Sasaran dari strategi digital tersebut
adalah kelas menengah dan kelas atas mapan yang cair berinteraksi dengan
teknologi informasi. Seiring dengan perkembangan ini, kelas menengah virtual
hadir tidak sendiri. Keberadaannya muncul melalui komunitas tertentu dengan
menyandang tagline unik. Mereka
adalah kaum muda perempuan dan laki-laki yang terus berkiprah dalam aktivitas
bisnis dan sosial.
Apa yang terjadi? Setelah media
cetak dan layanan SMS menurun, media sosial tampil seiring dengan tumbuhnya
penggunaan ponsel cerdas dan aplikasi mobile.
Dalam situasi lain, toko online dan situs berita berbasis blog dengan ragam
domain membanjiri lini massa. Semua itu ada dalam genggaman tangan yang
berinteraksi dengan ponsel cerdas.
Berdasarkan data dari riset
marketing online seperti We Are Social
yang berbasis di Singapura, profil pengguna internet di Indonesia sejak Januari
2016, mengalami peningkatan yang drastis. Terhitung jumlah signifikan pengguna
internet aktif mencapai 88.1 juta. Dibandingkan Januari 2014 hanya mencapai
38.1 juta. Hal serupa terjadi pada pengguna ponsel cerdas, pada Januari 2016
jumlahnya mencapai 326.3 juta, sedangkan di Januari 2014 hanya mencapai 281.9
juta.
Artinya ada sinyal positif
bagaimana menangkap peluang agar dapat menjaring kelas menengah virtual yang
setiap hari berselancar di dunia maya. Selain penikmat belanja online, LAZ
disarankan jeli melihat jiwa-jiwa altruisme
yang tak lain adalah para dermawan potensial. Untuk meyakinkan para
dermawan, LAZ juga membuka konsultasi virtual terkait informasi seputar fikih
zakat, infak dan sedekah.
Filantropi
Islam
Zakat dalam sudut pandang ekonomi
Islam diharapkan mampu melakukan reoreintasi menjawab persoalan umat dan
kemiskinan. Menurut BAZNAS, potensi
zakat di Indonesia mencapai 217 triliun, karena itu lembaga-lembaga amil zakat
berupaya menafsirkan fikih yang sudah tidak memadai di saat struktur sosial
kian berubah. Berteologi tanpa dukungan data sosial tidak akan cukup, namun
bagaimana mengaktualisasikan potensi filantropi Islam sebagai hikmah praktis
mampu mendampingi new mustadz’afin dalam
kreativitas produktif.
Pada aspek yuridis, lembaga amil
zakat nasional disegerakan mereposisi keberadaannya yang mengacu pada UU
Pengelolaan Zakat No. 23 tahun 2011 tentang legalitas dengan prinsip
terintegrasi untuk mewujudkan pengelolaan zakat yang amanah, profesional,
berkeadilan, akuntabel dan partisipatif. Dalam hal lain, peraturan pemerintah
menaruh perhatian kepada LAZ agar bertanggung jawab kepada pemerintah dan
masyarakat.
Tradisi filantropi di Indonesia
memang tidak bisa lepas dari ranah politik. Negara, pasar dan masyarakat sipil
saling merefleksikan bahwa kesejahteraan adalah impian setiap insan manusia.
Hanya saja dalam kacamata etika politik antara negara, pasar dan masyarakat
sipil memiliki cara pandang tersendiri. Menurut Hilman Latief dalam Politik Filantropi Islam di Indonesia
(2013), persoalan interpretasi terhadap konsep filantropi Islam merupakan
kajian yang bersifat diskursif yang perlu dimaknai kembali agar komitmen
pemerintah terhadap keadilan dan kesejahteraan mendapat perhatian yang
serius.
Selain itu, untuk meredam
pergerakan dhuafa enterprise yang
singgah di bisnis karitatif, adalah bagian dari persoalan fikih zakat yang
perlu mendapat sentuhan LAZ untuk mencari jalan keluar bagaimana membangun
kesadaran berzakat (awarness) kepada
masyarakat melalui jalur yang ramah. Persoalan ini tidak dapat ditelusuri hanya
dengan pendekatan tekstual, namun bagaimana mengajak masyarakat secara
bersama-sama untuk berbagi kebahagiaan yang menegaskan visi sosial-spiritual
keunggulan zakat.
Dalam fikih zakat, masalah
ekonomi berbicara tentang manusia dan sumber daya yang tak terbatas. Karena
Islam menolak eksploitasi dan distribusi yang tidak adil. Zakat sebagai rukun
Islam merupakan konsep keadilan objektif yang teraktualisasi dengan kesadaran
antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup. Secara sadar (hudluri) manusia pada dasarnya makhluk
sosial, karena itu kepemilikan harta bersifat sementara. Manusia sebagai subjek
yang berpikir terkoneksi dengan motif psikologis saat berkehendak untuk
melakukan rangkaian kegiatan produksi dan distribusi dengan konsepsi keadilan
(M. Baqir Sadr, Falsafatuna: 1993).
Sesungguhnya, mengimpikan zakat
sebagai budaya dan gaya hidup, memiliki kontribusi untuk mencegah ketamakan dan
menuhankan harta. Karena itu, diperlukan wacana tanding gerakan sadar zakat
terhadap gaya hidup yang hedonis. Pendekatan budaya dan spiritual merupakan
pilihan bahwa pada dasarnya tradisi berbagi adalah budaya yang telah lama
dilakukan manusia dan diperintahkan oleh setiap agama. Usia berbagi setua usia
manusia itu sendiri.
Mudik
sebagai Filantropi Kebersamaan
Bulan puasa adalah bulan yang
dinanti-nanti oleh siapapun. Selain bulan yang syarat ibadah dan makna bagi
setiap muslim, tidak terkecuali bagi orang lain ramadhan berimplikasi
sosial-ekonomi karena ikut merasakan berkah dan
kebahagiaan. Perputaran nilai ekonomi dalam bulan ramadhan meningkat
seiring dengan kebutuhan manusia.
Secara normatif puasa bisa
memantulkan sikap dengan kepribadian yang santun, jujur dan tahan banting.
Dengan itu, berpuasa juga memotivasi setiap orang untuk berbagi kepada siapa
pun yang membutuhkan. Puasa adalah sarana aktualisasi diri untuk menjadi
manusia seutuhnya. Tak kalah penting, puasa menjadi sumber informasi berharga
di saat dahaga spiritual tak diperoleh secara nyata. Meskipun demikian,
kepuasan spiritual dapat diperoleh melalui ceramah maupun pengajian virtual
yang dikemas apik di bulan ramadhan.
Pada konteks ini, geliat kaum
muda dan kelas menengah mencari makna spirtual lewat aktivitas berbagi adalah
titik terang masa depan filantropi Islam. Dengan kreativitasnya, mereka
menampilkan ekspresi keagamaan yang dinamis, tulus di tengah realitas sesama
yang masih dalam situasi kurang bagus. Informasi digital adalah tulang punggung
mereka menggalang dan mempererat persaudaraan dengan kepekaan sosial.
Salah satunya mudik sebagai
tradisi yang dirindukan. Mudik secara bersama-sama telah menjadi trend yang
mampu memperkuat tali sosial. Melalui filantropi kebersamaan, mudik tahun
ini yang terbilang kacau dan amat melelahkan, terobati setelah tiba di kampung
halaman. Semua kembali ke fitri, berbagi bersama keluarga dan sesama dengan
bahagia.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?