August 13, 2010

Memodernkan Budaya Jawa



Judul : Muhammadiyah Jawa
Penulis : Ahmad Najib Burhani
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tahun : Juni, 2010
Tebal : xxii + 203 halaman
Harga : 48.000,-



Never Ending Asia, demikian ungkapan khas kawula muda sekarang tentang Yogyakarta. Di kota Yogyakarta terkenal sebuah kampung yang bernama Kauman, sebuah kampung Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH. Ahmad Dahlan) dilahirkan dan dibesarkan.

Dari Kauman ini juga organisasi Islam bernama Muhammadiyah tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Sebuah organisasi Islam yang berani menyatakan diri sebagai gerakan puritanisme. Uniknya, meski dikenal sebagai organisasi modern keberadaannya tidak bisa lepas dari kebudayaan Jawa, tutur Burhani dalam buku berjudul Muhammadiyah Jawa. Dalam buku tersebut, ia ingin menggali sikap Muhammadiyah terutama apresiasi dan ketegangannya terhadap budaya Jawa dari 1912 sampai 1930.

Burhani juga menampilkan pandangan-pandangan para orientalis di antaranya Poensen, Geertz, Ricklefts, dan Penders. Lewat kajian pustakanya ia berusaha menalikan pandangan-pandangan orientalis dengan beberapa tokoh yang intens mengkaji Islam dan Jawa seperti Mitsuo Nakamura dan Mark Woodward. Bahasan semakin dalam setelah ia melengkapi kajian pustakanya dengan peneliti Indonesia yang mengkaji Muhammadiyah seperti Alfian, Achmad Jainuri, Alwi Shihab dan Abdul Munir Mulkhan.

Hal ini menjadi poin penting, sebab kejawaan muncul sebagai identitas pada awal abad ke-18. Identitas itu khususnya menjadi respons terhadap orang Eropa yang mulai mencoba menancapkan kekuasaan di Jawa. Pada waktu itu, menurutnya Islam menjadi bagian penting dari identitas budaya Jawa vis-à-vis Kristen yang menjadi bagian signifikan budaya Eropa. Orang-orang Jawa menyebut diri mereka Muslim atau wong selam (hal. 45).


Karena itu, dalam konteks sosiologis, pengaruh besar budaya terhadap cara manusia hidup dan berpikir dalam studi ini menjadi ulasan pokok dengan mengangkat Keraton Yogyakarta yang tidak hanya sebagai “teks” tapi sebagai kajian historiografi untuk menilai pengaruh Jawa terhadap perkembangan Muhammadiyah di masa awal. Mengingat sepulang dari Mekah, Ahmad Dahlan diberi tugas sebagai abdi dalem menggantikan ayahnya KH. Abu Bakar yang bertanggung jawab untuk urusan keagamaan di lingkungan Keraton.

Pernikahannya dengan Walidah putri KH. Muhammad Fadhil seorang pengusaha batik, membuat Ahmad Dahlan diperhitungkan. Apalagi setelah dipercaya sebagai abdi dalem, keberadaanya di sana justeru tambah mengusik pola pikirnya tentang pengaruh tradisi Jawa terhadap Islam. Salah satunya, yang menjadi kritik tajamnya adalah upacara kerajaan (Grebeg) yang menjadi kebiasaan rutin di Keraton Yogyakarta. Terkait dengan kritiknya itu, satu kejadian penting yang sampai sekarang masih terngiang adalah aksinya dalam merubah arah kiblat Masjid Agung Yogykarta, yang menimbulkan ketegangan antara dirinya dan pihak Keraton.

Seiring dengan peran aktif Ahmad Dahlan, pada 1908 berdirilah Boedi Oetomo sebagai organisasi Jawa modern yang diprakarsai Mas Ngabehi Wahidin Sudiro Husodo. Salah satu tujuannya melestarikan budaya Jawa dari serangan budaya Barat dan mengembangkan pendidikan di kalangan masyarakat Jawa. Karena keanggotaannya terbatas hanya dari kalangan priyayi, maka Ahmad Dahlan tertarik untuk terlibat di dalamnya sehingga menambah spektrum pergaulannya yang luas.

Dalam bingkai budaya itulah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta. Boedi Oetomo menjadi pendukung utama gagasan mendirikan organisasi baru ini. Ada empat peran utama yang dimainkan Muhammadiyah dalam masa-masa awal, yakni: sebagai gerakan pembaruan keagamaan, sebagai kekuatan politik, sebagai perlawanan komunisme dan Kristen, dan sebagai pendukung budaya Jawa (hal. 78).

Melalui buku ini, Burhani memperlihatkan usaha untuk memaparkan sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Pertama, merinci karakteristik keanggotaan Muhammadiyah. Di mana priyayi santri Kauman adalah kelompok pilar pertama Muhammadiyah. Untuk melengkapi keanggotaannya barulah diisi oleh para priyayi nonsantri dan priyayi yang terdidik ala Barat, serta pedagang dan pengusaha. Demikian representasi keanggotaan Muhammadiyah diawal berdirinya.

Kedua, dalam upaya mengapresiasi budaya Jawa, Muhammadiyah menekankan lima aspek yaitu perilaku, bahasa, busana, keanggotaan dan nama. Dalam kasus Grebeg Muhammadiyah justeru menilainya sebagai motivasi perilaku para anggotanya saat berdakwah, meski mengandung unsur takhayul. Dari segi bahasa pun Muhammadiyah berusaha menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar mudah diterima masyarakat setempat. Selain itu, Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang menggunakan bahasa Jawa dalam salat dan untuk menyampaikan khutbah Jum’at.

Dari penampilan khususnya berbusana, pakaian menjadi identitas sosial dalam berinteraksi agar batas-batas komunikasi dapat teridentifikasi. Berbusana juga menunjukkan ekspresi diri dan cermin berpakaian ala Jawa. Contohnya mulai tahun 1910, di Kauman beberapa pengusaha batik membentuk kelompok populer yang disebut handel batik. Cara berbusana tokoh-tokoh terkenal Muhammadiyah dulu kontras dengan para tokoh Nahdlatul Ulama, yang lebih menyukai busana Arab (hal. 110). Sedangkan keanggotaan sebagai identitas personal, juga bermakna identitas kolektif, yang dimiliki suatu komunitas atau kelompok tertentu. Pada sisi keanggotaan dan nama, Muhammadiyah adalah model yang dekat dengan identitas kolektif yang kental dengan unsur bahasa Jawa.

Adapun respon Muhammadiyah terhadap budaya Jawa pada dasarnya ingin menjembatani ideologi Jawa dan isme tertentu lewat rasionalisasi sikap dan perilaku agar tradisi lokal menjadi gagasan yang berkemajuan dalam hal ini budaya sebagai hasil karya dan budi masyarakat yang kreatif. Dengan kata lain bagi Muhammadiyah, Islam secara kultural dijawakan, dan Jawa secara substansi dirasionalkan dan dimodernkan.

Pada bagian terakhir buku ini, diuraikan pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Menurut Burhani berdasarkan telusur ilmiahnya, akar pergeseran sikap ini ditandai dengan doktrin teologis Muhammadiyah yang ketat. Peristiwa ini terjadi setelah pendirian Majlis Tarjih pada 1927 dan kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada 1930.

Awal masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau sebagai salah satu faktor, pada dasarnya merupakan gerakan untuk mematahkan komunis lewat kegigihan Haji Rasul bersama Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Djambek. Di Minangkabau ini tersimpan cerita dan kenangan tentang Muhammadiyah yang karakter ulamanya lebih puritan sehingga unsur-unsur yang berkarakter takhayul, bid’ah dan khurafat harus disingkirkan. Kondisi itu diperkuat oleh kemenangan Wahabi di Arab Saudi, nasionalisme Indonesia, dan berdirinya Nahdlatul Ulama.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran dari buku ini bahwa Muhammadiyah pascamodernisme tidak bisa menghindar dari pluralitas budaya bangsa yang menjadi sasaran dakwahnya. Sementara, globalisasi tidak mengenal batas budaya, agama, suku, adat dan ras. Selama kemajuan teknologi dan informasi bisa masuk di dalamnya saat itu pula perubahan identitas dan tradisi lokal akan bergeser dan berubah. Lantas, bagaimana dengan sikap Muhammadiyah setelah melewati satu abad melihat perubahan itu ?

Penulis adalah Penikmat Buku, Tinggal di Gunungputri, Bogor.

1 comment:

  1. Untuk mendapatkan buku ini, atau buku-buku tentang Muhammadiyah yang lain silahkan hubungi nomor ini: 081385836960 (Author).

    ReplyDelete

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?