April 3, 2012


Bagi anak - anak yang terpinggirkan hiruk-pikuk kota besar merupakan anugerah untuk bertahan hidup. Selain berada di sudut-sudut jalan ibu kota, keceriaan mereka juga terpancar dalam keramaian terminal, stasiun, pasar dan pusat perbelanjaan. Dalam situasi berbeda, hari-hari mereka juga dapat ditemui di panti-panti asuhan yang jauh dari keluarga, teman sepermainan dan lingkungan sosialnya.






Banyak dari mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Keluguan dan kepolosannya dijadikan nilai strategis orang-orang tidak bertanggung jwab untuk mendulang rezeki. Tidak jarang anak-anak tercebur dalam kubangan kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan verbal. Di Indonesia, anak-anak mengalami semua itu yang dilakukan terus menerus dan menyebabkan anak menderita tekanan psikologis.

Ada juga kekerasan terhadap anak dilakukan oleh anak itu sendiri. Meski relatif kecil yang berhasil diungkap tapi seribu pasang mata tidak mampu melihat kekerasan-kekerasan lain yang menimpa anak dan tidak mampu dideteksi dengan cepat. Itu pun terjadi saat tindakan kekerasan masih dalam tahap kemungkinan untuk menjadi potensi ke dalam bentuk-bentuk kekeraan yang aktual.

Perlakuan salah terhadap anak tidak semata-mata problem personal bila menimpa satu saja dari banyak anak. Sebab, mata rantainya dapat ditelusuri melalui dampak psikologis dari seseorang yang ikut berperan. Tidak hanya itu, pemecahannya juga tidak cukup dilakukan pendekatan personal. Agar terdeteksi lebih jelas kita harus berani mengungkapnya lewat pelacakan struktur sosial, ekonomi serta norma maupun pranata sosial.

Dalam perkembangannya, isu anak tidak jatuh pada soal kekerasan semata. Bahkan boleh dibilang seperti berhenti dalam studi kasus. Aspek penting sosialnya di luar sarana advokasi bagaimana menggeser isu anak terkait dengan hak-hak anak dapat menyentuh keadilan dan kesejahteraan yang berpersepektif filantropi islam. Yaitu upaya keberpihakan menyelamatkan hak anak melalui kedermawanan sosial yang bermuara pada kesejahteraan keluarga.

Potret Buram
Pada skema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 terdapat enam poin target yang menjadi gambaran prioritas nasional tentang kesejahteraan masyarakat terpaut dengan pembangunan dua diantaranya pendidikan dan kesehatan, di mana 2008 sebagai patokan perubahan ke depan. Dalam rencana itu sebagai work performance target pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas, satu dari sekian pertimbangannya adalah soal hak-hak dasar anak.

Namun demikian, kontribusi pendidikan dan kesehatan belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan persoalan kemiskinan yang belum teratasi dan juga faktor perlindungan hak-hak dasar anak. Sudah begitu nyata negara mengabaikan derita sosial yang dialami anak. Sayangnya, bunyi pasal fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara tidak mujarab mengangkat kesejahteraan anak di bawah ketidakadilan global. Perlakuan salah terhadap anak (child abuse) terutama menyangkut haknya hanya selembar potret buram yang masih terbingkai rapi di dinding sosial kita.

Seiring dengan tumbuhnya jumlah anak yang berada di ambang kerentanan sosial, tumbuh pula dhuafa entrepreneur yang melihat peluang meraup berkah. Mereka adalah pengusaha, sales atau broker musiman yang menyediakan jasa bagi kaum dhuafa yang ingin mendapatkan pundi-pundi rezeki dari para orang-orang kaya (aghniya). Strategi memasarkan kaum dhuafa ini jelas membangun kebanggaan para aghniya sebagai dermawan dan memberikan kebahagiaan kaum dhuafa yang dirundung penderitaaan (Abdul Mu’ti, Inkulturasi Islam: 2009).

Menyimak realitas itu, seberapa besar potensi dana sosial yang telah didapat dhuafa entrepreneur? Sementara minat masyarakat untuk menyalurkan bantuan ke lembaga-lebaga filantropi belum terhimpun secara maksimal. Tingginya kerentanan sosial anak tentu saja memberikan angin segar bagi mereka yang dengan sengaja mengeksploitasi anak untuk kepentingan pribadi.

Tapi isu anak ini belum menjadi perhatian yang potensial bagi lembaga-lembaga filantropi karena baru sebatas pemberdayaan anak yatim. Jika pun ada masih dalam bentuk lembaga asuhan sosial seperti dilakukan organisasi Muhammadiyah yang bernuansa klasikal. Minimnya data dan riset yang berkaitan dengan filantropi anak juga mengakibatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan kesejahteraan anak kurang berkembang.

Sudah saatnya lembaga filantropi menyoal kembali hak anak atas kesejahteraannya. Berbagi mencari akar masalah yang selama ini ditinggalkan negara. Lembaga filantropi islam masih sangat terbuka untuk mempertajam kepekaannya bagaimana memaksimalkan potensinya sebagai bagian dari lembaga yang terlibat dalam menguatkan hak-hak anak.

Kepekaan dan penghormatan atas hak anak perlu diserukan filantropi islam agar dapat merekonstruksi sosial nilai-nilai islam yang selama ini gagap menyuarakan kebutuhan anak agar didengar dan direspon. Dalam suasana seperti itu, yang diperlukan adalah desakan lembaga filantropi untuk menyadarkan masyarakat bahwa soal hak anak tidak hanya diurus negara, tapi civil society juga mampu menempatkan anak pada tempat yang aman, nyaman dan bebas untuk bertumbuh kembang.

Menggalang Filantropi Anak
Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak anak. Bahkan dalam al-Aqur’an anak merupakan salah satu tujuan pendidikan membangun kepribadian manusia. Kesejatian anak dalam masyarakat dijaga dan dihormati. Keterpautan anak dan masyarakat adalah cinta dan tanggung jawab sosial. Karena itu bagi masyarakat sangat dianjurkan untuk berpaut kepada nasib anak yang menderita secara sosial.

Karena pengaruhnya akan memberikan perubahan sangat baik dan besar bagi perkembangan serta masa depan anak. Diskursus mengenai filantropi anak kian hari semakin menarik untuk dikaji. Apalagi, involusi peran negara atau bahkan bertambahnya jumlah angka kemiskinan dan kesenjangan soaial dari tahun ke tahun menunjukkan tidak hadirnya peran negara dalam menjawab perlindungan anak.

Menggalang kekuatan filantropi anak ialah peran strategis baru memposisikan lembaga-lembaga filantropi Islam. Beberapa pihak menilai persoalan anak di Indonesia kian merisaukan apalagi ketika kebijakan ekonomi tidak berpihak kepada rakyat kecil. Penilaian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah pengabaian akan hak-hak anak untuk dilindungi sebagai akibat dari tumpulnya kemampuan memperlakukan anak dengan manusiawi.

Wajah polos dan ratapan anak-anak tidak akan pernah menyentuh hati nurani jika kita masih menempatkan dan memposisikan anak sebagai objek yang lemah dan mudah dipengaruhi. Menggalang filantropi anak merupakan satu dari sekian banyak cara menyumbangkan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Menguatkan aspek filantropi anak melalui aksi nyata, seperti melindungi hak anak dan memberdaya potensi belajarnya adalah bagian dari advokasi untuk menyejahterakan anak dan keluarga.

Silahkan baca juga link dibawah ini:
Your Denim & Shoes
Your New Local Dentist

1 comment:

  1. Jujur tulisan ini panjang tapi tetep menarik untuk disimak.... tapi kalo saya lihat dilingkungan saya sendiri, lingkungan memang berpengaruh dengan perkembangan mental dan perilaku anak... tidak akan cukup membahas sedikit masalah ini dalam 1 part tulisan sederhana yang bertujuan untuk melihat dan menelisik batin nurani kita, tapi semoga suguhan diatas dapat memberikan satu sentuhan baru untuk kita menyikapi keadaan yang benar ada disekitar kita....

    ReplyDelete

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?