May 8, 2012



 Koalisi Imajiner
 Foto: www.itoday.co.id


Jelang 2014 beberapa partai koalisi pendukung pemerintah diprediksi justru bakal terus merongrong pemerintah (Media Indonesia, 16 April 2012). Setelah batalnya kenaikan BBM wacana revitalisasi porsi kekuasaan yang terus mengemuka beberapa pekan ini cukup membuat pemerintah dan partai politik mempertimbangkan kembali soal pilihan di dalam koalisi atau di luar koalisi. Isu partai politik bermain di dua kaki semakin menandakan kekuatan partai koalisi kehilangan taji untuk mengevaluasi loyalitas politik.  


Meski difasilitasi hak angket, interpelasi, hak menyatakan pendapat dan menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah, DPR sebagai representasi perwakilan rakyat masih tidak menunjukkan kepekaannya terhadap nasib rakyat. Sebaliknya yang dominan DPR sebagai manifestasi partai politik yang saling unjuk gigi berburu kekuasaan. Koalisi politik yang sedang berlangsung hanyalah koalisi imajiner, yang suatu saat dapat merubah sikap dan pandangan politiknya atas nama kepentingan rakyat.

Konsistensi partai koalisi dalam menentukan nasib rakyat adalah data empirik bahwa politik kekuasaan sangat dekat dengan penderitaaan dan kenikmatan. Kekuasaan akan terasa nikmat jika hasil dari kemenangan dapat dibagi-bagi. Tetapi dampak buruk yang dirasakan masyarakat berupa penderitaan harus ditanggung sendiri agar senantiasa dapat bertahan hidup dibawah impitan ekonomi.

Persinggungan itulah yang kiranya dirisaukan agama jika manusia telah memberhalakan kekuasaan penderitaan akan datang menghempas manusia. Untuk itu, tulisan ini bukan bermaksud mengupas dunia politik dengan kemudharatannya. Yang lebih penting politik sebagai suatu produk dapat memberikan wawasan dan sekolah ide tentang pertalian manusia dengan politik serta kekuasaan.

Sejarah politik Islam setelah Rasulullah SAW wafat idealnya dapat dijadikan pelajaran bagaimana persoalan teologis, politik, dan sosial membelenggu khazanah intelektual yang seharusnya dapat dijadikan pilar peradaban Islam. Dan harus diakui cahaya hikmah yang bersinar di Timur menjadi dimensi penting disiplin intelektual termasuk disiplin politik yang sampai saat ini masih dijadikan pedoman dalam berpolitik (fiqh asy-syiyasah).

Kenikmatan 
Satu bagian yang cukup renyah saat membicarakan politik dengan kekuasaan adalah pandangan Aristoteles soal kenikmatan. Suatu tema segar yang mengulas jati diri manusia dan sisi sosialnya untuk berbagi kebahagiaan. Tuturnya, manusia hidup di dunia tidak untuk dirinya sendirian, sebab manusia insan politik yang karakternya ingin selalu bersama dengan orang lain (Bertrand Russell, 2007).

Melengkapi pandangan itu, pada kenyataannya politik tidak lain suatu cara atau strategi memengaruhi orang lain yang salah satu tujuan utamanya bagaimana memperoleh kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan menumbuhkan buah kenikmatan. Imajinasi politik modern telah membuat pergesaran cara pandang politik yang estetis menjadi liberal-pragmatis.

Drama politik yang kita saksikan hari ini bukan semata-mata ide politik yang  begitu saja dapat diterima masyarakat. Melainkan gagasan politik kekuasaan di atas penderitaaan yang menjinakkan bahasa kesejahteraan hingga berulang-ulang mengakumulasi kenikmatan di tengah kesenjangan sosial. Sejalan dengan Locke juru bicara liberalisme yang barhaluan empirisme modern mengutarakan bahwa politik dan kekuasaan merupakan kehormatan atau kenikmatan yang diperoleh berkat pengakuan sosial.

Bangunan ide politik yang tersusun dari beragam ide yang kompleks dan bersifat universal yang didukung pengamatan langsung dalam berpolitik menjadi abstrak tentang hakikat manusia atau kemanusiaan (Budi Hardiman, 2004). Sehingga kekuasaan sebagai kualitas primer sebuah objek tidak dapat dipisahkan atau melekat dengan objek. Hanya saja kekuasaan itu berubah-ubah menurut persepsi politikus yang memburu kenikmatan.

Berbeda dengan hal itu, apa yang diungkapkan Aristoteles tentang kenikmatan sesungguhnya tidak baik, walau baik namun sebagian besar buruk dan bukan yang terbaik. Dalam konteks politik dan kekuasaan yang terjadi di negeri ini kenikmatan (kekuasaan) hanya dimaknai jasmaniah. Politik dan kekuasaan adalah pengetahuan nyata yang bekerja sebagai instrumen kekuasaan sebagaimana disabdakan Nietzsche.

Sampai saat ini, ketika politik ditafsirkan sebagai kebutuhan jasmaniah maka politik tak ubahnya kenikmatan untuk berkuasa yang kapan dan di mana pun dalam hitungan waktu akan berakhir. Korupsi salah satu contoh kenikmatan jasmaniah yang menutup karir politik seseorang yang mengabaikan kenikmatan ruhani yang bekerja dalam diri manusia secara kontemplatif-metafisik.

Pada dasarnya semua manusia menginginkan kenikmatan sebagai pengakuan sosial.  Hanya saja jalan yang ditempuh setiap orang untuk menggapai kenikmatan berbeda-beda sesuai dengan kadar potensinya. Kenikmatan si miskin akan terasa memuncak meski hanya makan dengan nasi dan garam karena rasa nikmat itu bersemayam dalam hati pada saat derita ekonomi menghampiri keluarganya yang direspon dengan penuh rasa syukur.

Di sini bedanya, bagi seseorang yang memuja kenikmatan dan kekuasaan rasa cemas akan terus menghantui sebagai cerita pilu akibat hak yang dimilikinya ketika diperoleh mengikis hak orang lain yang tidak dilengkapi akses kekuasaan dan informasi. Penderitaan terus mewarnai perjalanan hidupnya karena kenikmatan telah menjadi candu kekuasaan berpolitik.

Kembali ke Jiwa 
Wacana politik dalam sejarah terkait teori sosial adalah aktivitas yang mendasari budaya manusia. Perihal ini, dengan rinci telah didedahkan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah nya bahwa agenda sosial manusia akan selalu mengandaikan pada organisasi politik dan sosial yang berpusat pada kekuasaan negara (Nasr dan Leaman, 2003).

Sayangnya bangunan positif organisasi politik-sosial itu pada perjalalanannya bergeser dalam kohesi sosial yang berbaju fanatisme kepentingan kelompok (’ashabiyah). Tamsil tiga generasi Ibn Khaldun yang termasyur yaitu serigala, anjing dan domba merupakan perjalanan periode aktivitas sosial politik manusia yang dijelaskan dengan gamblang oleh Khaldun.

Celakanya sejarah politik dan sosial manusia harus mengalami prahara kekuasaan dan kenikmatan (kemewahan) hidup seiring lunturnya misi suci ‘ashabiyah yang terlena dalam kekuasaan. Padahal sang bijak seperti Plato dan Aristoles telah memperingatkan manusia supaya tidak menyepelekan tiga prinsip yang menuntun perjalanan hidupnya yaitu nafsu, amarah dan berpikir.

Sesungguhnya menurut Ibn Khaldun bernegara dan berpolitik tidak serta merta berbicara kekuasaan tapi bagaimana mengelola jiwa manusia agar menjadi harmoni dalam irama nafsu, amarah dan berpikir. Ketiga prinsip ini ialah pola inti jalan mengorganisasi manusia yang bergulat pada soal kenegaraan. Pada intinya bagi Khaldun mengorganisasi perubahan sosial merupakan salah satu cara membaca isyarat Tuhan yang mengatur perubahan gerak antara ruang, tempat dan waktu.

Membincangkan politik dan kekuasaan secara tidak langsung menyentuh kenikmatan dan penderitaan. Di mana otoritas politik dan kekuasaan dibutuhkan dalam kadar yang terbatas. Mengapa dibatasi, karena aktivitas sosial manusia sangat dipengaruhi politik, ekonomi dan budaya. Di ketiga ruang ini, kenikmatan dan penderitaan akan terlihat jelas saat mesin kekuasaan bergerak dalam komoditas politik.

Oleh karena itu, kesadaran berpolitik dan peka terhadap lingkungan sosial penting diintegrasikan dalam kekuasaan yang terbatas. Sehingga dalam jangka waktu tertentu, upaya ini akan berdampak pada reputasi politk itu sendiri. Dalam kerangka itu, politik yang hanya mengejar kekuasaan sama saja dengan politik tanpa jiwa. Wallohu ’alam 

Silahkan baca juga link dibawah ini:
Your Fun Fashion 

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?