Ghazali,
demikian Abah (Cok Simbara), memanggil Romy (Rio Dewanto), dalam adegan Film
Bait Surau. Film bertema drama religi besutan Kuswara Sastra Permana ini memang
sarat pesan spiritual. Bait Surau bercerita tentang perjalanan hidup Rio, pria
mapan dan beristri yang datang ke desa nelayan. Selama di desa itu, kisah
hidupnya berubah setelah pergolakan batinnya menemukan hakikat spiritual pasca
peristiwa pahit yang dialami selama hidup yang bergelimang harta hingga
istrinya berpulang menghadap Allah SWT.
Kepada
khalayak, film ini berkisah bahwa pengalaman hidup manusia, seperti yang
dialami Rio adalah jiwa rasional (insani)
yang bila ditilik dalam sudut pandang psikologi agama merupakan daya akal
praktis yang memicu manusia untuk memutuskan
perbuatan yang layak dilaksanakan atau tidak, di sini jelas bahwa terkandung
putusan etis di dalamnya.
Dikisahkan juga bahwa Romy tak pernah puas dengan kehidupannya yang
kaya nikmat. Ia sering mencampakan istrinya, Nadia (Nadia Vella) sebagai perempuan sabar, penuh perhatian dan tak pernah lupa
menyadarkan suaminya yang banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura. Bahkan
sebagai sosok utama dalam film tersebut Rio Dewanto, dalam kehidupan nyata
seperti berada dalam kondisi tersindir untuk introspeksi diri.
Totalitas
peran juga disuguhkan Astri Nurdin sebagai sosok perempuan tuna rungu dan tuna
wicara. Pesan positif dari film yang dibintanginya, keikhlasan untuk mensyukuri
nikmat dari Allah SWT yang telah diberikan kepada kita. “Sosok Siti juga
menggambarkan perempuan dengan segala keterbatasannya yang bersahaja ikhlas
memasak makanan untuk keluarganya dan membawakan bekal untuk Ramdan dan Rio
sebelum berlayar,” tandas Astri di sela-sela waktunya usai konferensi pers, di
Planet Hollywood, Jakarta (20/10/2015).
Bait
Surau merupakan film yang direkomendasikan untuk tontonan keluarga. Menurut
Anita Aulia, selaku produser, film ini adalah pesan sederhana yang jauh dari menggurui.
“Di dalamnya memang nuansa spiritualitas lebih ditonjolkan. Namun sederhana,
harapannya dapat dipetik hikmahnya oleh masyarakat,” kata Anita.
Menanggapi
hal itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin
terlihat bersemangat. Pasalnya, setelah menyaksikan bersama salah satu ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hajriyanto Y. Thohari dan Sekretaris Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.
Din
mengakui, film ini tidak extravaganza
sebagaimana yang lain. “Ada nilai-nilai edukatif sehingga mudah diikuti.
Ceritanya sangat sederhana namun di sini kekuatannya,” tutur Din. Karena itu,
saya merekomendasikan film ini kepada pelajar, mahasiswa, guru dan masyarakat,
khususnya warga Muhammadiyah, tambahnya. Mengingat kaya inspirasi, ungkap Din,
awalnya Romy berperilaku buruk yang pada akhirnya menemukan cahaya kebenaran
yang ikhlas berbagi untuk memperbaiki Surau yang sudah tua dan bocor saat
hujan.
Pencarian
Romy untuk bertemu dengan Ramdan tentu merupakan titik awal yang mengesankan.
Ramdan tentu tidak mengetahui motivasi Romy mencarinya hingga sampai ke desa
tempat ia dibesarkan. Barulah ia menyadari jika kedatangan Romy hanya untuk
meminta maaf atas segala kesalahannya sebagai majikannya di kota selama ini.
Beruntung ketulusan Abah meyakinkan Ramdan untuk menerima maaf kesalahan Romy
bagian dari pesan pedagogis yang bernas.
Bagi
Ihsan Tarore sebagai pemeran sosok Ramdan, dalam menghayati nilai-nilai agama
dalam film itu merupakan tantangan tersendiri. Kesabarannya menghadapi Romy di
alur cerita film adalah daya pikat tersendiri bagi yang akan dan sudah
menontonnya. Apalagi sosok Romy yang kuat mempertanyakan hal detail terkait
ibadah sholat dan mengaji diimbangi dengan apik oleh Ramdan tanpa menggurui.
Kefakiran
Romy terhadap ilmu agama adalah ciri khasnya yang memerhatikan gerakan sholat
dan berwudhu. Tentu saja ini sangat kontras dengan realitas Rio Dewanto yang
bernampilan garang dan maskulin. Di tambah lagi dengan peristiwa-peristiwa masa
kelam yang membuatnya teringat kekeliruan hidupnya di masa lalu, terus memupuk
jiwanya untuk mencari hikmah spiritualitas.
Potensi Jiwa
dalam Konversi Agama
Jiwa
dalam pandangan Ibnu Sina adalah hakikat manusia yang sesungguhnya. Dalam
pandangannya, jiwa tidak lain suatu hal yang paripurna dalam diri manusia (Psikologi Ibnu Sina, 2009). Melalui jiwa
manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Jiwa merupakan substansi dari hati
yang lembut. Tanpa jiwa, jasmani manusia tidak akan pernah mampu menggerakkan
segenap potensinya agar menjadi aktual.
Tujuan
akhir eksistensi manusia adalah untuk membawa potensi jiwa ke dalam
aktualitasnya. Dalam makna yang lain jiwa merupakan pusat dari persepsi
pengetahuan manusia. Jiwa dengan kekuatannya menggerakkan potensi manusia dari
ide konseptual menjadi aktual. Dari gelap menjadi terang, dari fakir menjadi
kaya dan seterusnya.
Dalam
konteks Romy yang berada dalam kabut spiritual seperti dikisahkan dalam film
itu, tekad kuatnya untuk mempelajari Islam adalah pintu gerbang menuju rumah
kebijaksanaan (hikmah). Laut tempat
mata pencariannya bersama Ramdan sebagai nelayan memberikan pelajaran berharga
bahwa masa lalunya yang penuh kedigdayaan harta telah melepaskan jiwanya
terhempas dalam kegelapan. Namun selama hidup di desa itu, jiwanya tumbuh
kembali bangkit membawa dirinya dalam ruang dan waktu yang mencerahkan dengan
segala kekurangannya.
Secara
bertahap, seiring perjalanan waktu Romy alami perubahan yang berarti. Jiwanya
kuat, motivasi dan rasa ingin tahunya untuk belajar agama terus membuncah. Ia
telah mengalami proses hijrah. Dari Romy yang hedonis menjadi Ghazali religius.
Penampilannya lebih tenang berbeda dengan saat di kota dulu perilakunya
buruk dan temperamental.
Ghazali
adalah sosok pria bersahaja. Peristiwa konversi agama yang dialaminya adalah
pertanda jika jiwanya yang potensial itu dapat mengaktualkan dirinya ke dalam
batin yang tenang. Meminjam ungkapan Walter Houston
Clork dalam The Psychology of Religion, seperti dikutip Dzakiyah Derajat dalam Ilmu Jiwa Agama (1996), konversi agama adalah pertumbuhan atau
perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam
sikap terhadap ajaran dan tindakan agama.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
mengatakan Film Bait Surau ini mengisahkan kehidupan manusia untuk menjadi
lebih baik. Dalam kehidupan agama disebut dengan konversi agama. “Yaitu
perubahan hidup seorang manusia dari masa lalu yang kelam menjadi lebih baik, “
paparnya.
Untuk itu, film ini merupakan inspirasi bagi siapapun. “Karena
untuk menjadi lebih baik tidak ada kata terlambat, tidak perlu malu. Hal ini
memberi contoh kebahagiaan, dan untuk berbuat baik bisa dilakukan dengan jalan
berbagi,” jelasnya. Film ini sangat
menarik, karena pesan pendidikan karakternya kuat. Layak direkomendasikan untuk
pendidik, orangtua, dan pelajar, tuturnya.
Spirit
Filantropi
Jika tidak memiliki, maka tidak akan pernah memberi. Demikian pesan
lain yang terkandung di dalam Film Bait Surau. Di saat Romy belajar mengaji di
Surau yang dibimbing seorang ustadz, ia menyaksikan langsung atap surau itu
bolong ketika hujan turun. Hatinya tergerak untuk memperbaiki atap surau itu.
Ia tidak tega melihat anak-anak desa mengaji dengan atap surau yang bocor.
Ia berjanji kepada Ramdan untuk segera memperbaiki surau jika
kembali dari kota. Kebetulan Romy masih menyisakan sebagaian uangnya di
tabungan. Dari uang itu, ia berharap surau itu dapat digunakan dengan nyaman.
Akhirnya, keinginan Romy terwujud. Bersama-sama dengan warga desa, Romy
bergotong-royong memperbaiki surau.
Sayang, perjalanan spiritual Romy harus berakhir. Bersama Ramdan,
Ia berpulang digulung ombak saat melaut. Spirit filantropi (berbagi) Romy masih tetap ada. Beberapa
tahun kemudian, surau itu menjadi besar dan bagus. Surau itu diberi nama
al-Ghazali. Demikian pesan filantropi menyertai ritme film ini. Sejatinya
setiap orang yang berjiwa sehat akan mengalami masa-masa seperti dialami Romy,
kendati berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Hanya dengan jiwa yang kuat
dan ikhlas dan dengan segala keterbatasan hikmah pasti akan datang.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?