Seminggu yang lalu, saya bertemu
pengamat gerakan radikal, di bilangan Senayan, Jakarta. Cuaca hari itu memang
tidak bersahabat. Hujan kecil sempat singgah dan jatuh di beberapa titik
ibukota jelang sore kala itu. Di sisi kiri jalan Asia-Afrika, persis di samping
restoran cepat saji, kuda besi ku parkirkan persis di perempatan yang tak jauh
dari lampu pengatur lalu lintas.
Yang ku cari di pusat perbelanjaan
itu hanya sebuah café, sebuah tempat untuk saling sapa dan belajar bersama.
Secangkir kopi pahit dan segelas jus segar, menemani kami selama satu jam
lebih. Kursi dan meja klasik, serta pagar kayu berwarna hitam gelap dekat
jendela menyuguhkan suasana cair di cuaca yang muram.
Singkat cerita, obrolan ringan kami
bermuara pada suatu irisan tentang ke-Indonesiaan. Ya, nusantara yang sekarang
ini dilanda kegaduhan di setiap lini kehidupannya. Di saat negara ini sedang
berbenah diri, ada saja peristiwa-peristiwa pahit yang mengemuka. Belum lagi
wajah politik kita yang bopeng senantiasa bertalian dengan isu agama yang pada
akhirnya merupakan bagian dari sentiment politik yang tidak mau beranjak pulih
dari kenyataan politik yang pelik.
Selalu saja ada luka yang membekas,
entah dari peristiwa politik, agama atau lainnya yang diangkat tanpa
mendedahkan alasan kuat dan masuk akal. Saling serang bahkan tak jarang dari
mereka melemparkan isu-isu yang justeru memperburuk suasana lewat penyentara
sosial media.
Menurut Prasantiyo, yang pernah
menimba ilmu psikologi selama 6 tahun di San
Fransisco State University ini, yang sejak 1998, aktif diriset kejahatan
yang tak biasa (extra ordinary crime)
termasuk kerusuhan di beberapa tempat di wilayah Indonesia, mengatakan bahwa
sampai detik ini ke-Indonesiaan kita betul-betul pada situasi yang merisaukan.
“Tidak ada lagi spirit kebersamaan dan cinta sesama,” katanya dengan nada
cemas.
Sampai hari ini memang faktanya kita
selalu berkomunikasi, lintas batas dan lintas negara. Namun apa yang terjadi,
yang diperoleh hanya rasa ketidakbahagiaan. “Kebebasan berpikir dan berpendapat
memang dirasa hebat di lidah dan di kepala, tapi hanya semu,” bebernya.
Di lini massa, hampir setiap hari
yang ditemui adalah kericuhan, saling caci-maki dan menyakiti orang lain.
Apakah itu yang disebut ke-Indonesiaan. Di mana gagasan bela negara yang
sesungguhnya. Menurutnya, sejak 2010-2011, sebetulnya ia telah mengusulkan
rencana undang-undang yang terkait dengan kejahatan virtual, di luar kejahatan
fisik. Kejahatan fisik itu sudah biasa dan berbahaya. “Namun yang lebih
membahayakan adalah kejahatan yang tak biasa yang sedang masyarakat Indonesia
alami saat ini,” tuturnya.
Selanjutnya, terkait surat edaran
yang berkenaan dengan ujaran kebencian (hatespeech)
yang masih dikawalnya, adalah kebutuhan yang harus tidak harus disampaikan
kepada masyarakat. Karena ujaran kebencian ini bukan personal antar personal.
Lebih dalam lagi dan berbahaya, jika kelompok yang satu menyerang kelompok lain
dengan modus hatespeech,” jelasnya.
Pada Sabtu, 28 November 2015, Rephilosophy Public Community (REPUBLIC)
bekerjasama dengan Program Studi Falsafah
dan Agama, Universitas Paramadina mengadakan seminar "Hari Filsafat
Dunia". Kegiatan perdana di Indonesia ini mengusung tema "Peran
Filsafat dalam Konteks Ke-Indonesiaan".
Hadir sebagai Keynote Speaker, Dr. Ir. Haidar Bagir yang mengulas materi tentang
"Sumbangsih Filsafat terhadap
Peradaban dan Kemanusiaan". Adapun para pembicara dari kalangan
akademisi antara lain, Dr. Sunaryo, Muhammad Subhi, M. Hum, Muhammad Nur Jabir,
MA, dan praktisi; Daniel Zuchron.
Dalam kesempatan itu, Dr. Sunaryo
mengangkat tema "Kontribusi dan Relevansi Filsafat di Indonesia".
Persoalan kunci yang didedahkan adalah masalah tidak populernya studi filsafat
di Indonesia. Kondisi ini terjadi paling tidak karena ada tiga hal yang melatar
belakanginya.
Pertama, ada
semacam kesan bahwa filsafat itu sulit dipelajari. Kedua, alasan teologis dalam aliran/mazhab tertentu yang
mengkafirkan filsafat. Dan, ketiga,
menurutnya, mempelajari filsafat tidak membuka peluang ekonomi. “ Mereka yang
menekuni filsafat dalam jenjang pendidikannya seolah-oleh tidak punya masa
depan karena susah terserap di dunia kerja,” jelasnya.
Namun, yang perlu diketahui bahwa
isu-isu dalam filsafat sebenarnya berangkat dari sesuatu yang bersifat konkret
dan berkaitan dengan persoalan-persoalan mendasar dalam kehidupan kita. “Hanya
segelintir orang yang mau menyisihkan waktu tenaga dan pikirannya untuk
merenungi dan membahas secara mendalam terhadap persoalan-persoalan dasar ini,”
terangnya.
Sementara pada aspek lain, yaitu alasan teologis soal mengkafirkan filsafat yang dilancarkan kritiknya oleh al-Ghozali dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) berujung vonis mematikan. Jika menerima beberapa argumen filsafat yang dianggap sesat. Maka jenis kritik yang dilontarkan al-Ghozali adalah terhadap salah satu aliran filsafat, yaitu filsafat Ibn Sina yang beraliran Aristotelian (Peripatetik).
Dalam kesempatan berbeda, Ibn Rusyd
menyambutnya dengan kritik kembali terhadap al-Ghozali dalam Tahafut al-Tahafut. Padahal, ungkap
Sunaryo, aliran filsafat bukan hanya satu tapi beragam. Sehingga tidak bijak
untuk mengkafirkan semua aliran dan komponen filosofis hanya karena beberapa
item hasil pemikiran seorang filosof berbeda dengan pandangan filosof lainnya.
Sunaryo juga melihat tentang tidak terbukanya peluang ekonomi ketika mempelajari filsafat. Sebetulnya, kemampuan berfikir mereka yang bergulat dengan isu-isu filosofis jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mempelajarinya.
Dan ini adalah sebuah kesempatan
apik jika bisa dikelola dalam lapangan kerja yang baik. Yang penting adalah
kemampuan mengkapitalisasi skill.
Untuk itu, mempopulerkan filsafat di Indonesia (brand activation) amatlah penting, sehingga menghasilkan
manusia-manusia yang mampu berpikir secara benar dan kritis. “Tentunya dengan
benih awalnya adalah critical question
(pertanyaan-pertanyaan kritis),” tambahnya.
Pikiran filosofis juga bisa
digunakan dalam memahami ajaran agama, sehingga menghasilkan pandangan yang
terbuka, toleran, dan progressif. “Akhirnya akan memberikan dampak kondusif
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Muhammad
Subhi menilik peroalan tersebut dengan menawarkan cara pandang Perenialisme. Dengan menyuguhkan tema "Membaca Manusia Indonesia dari Perspektif
Perenialisme" Subhi melihat kemajuan peradaban hari ini, seraya
mengutip pandangan Ali Syariati, bahwa peradaban adalah kutukan karena
peradaban melibatkan eksploitasi besar-besaran yang mengorbankan banyak pihak
yang tak berdosa.
Walaupun di satu sisi kemajuan
peradaban ini membawa kebaikan bagi kehidupan kita, namun tidak jarang
peradaban malah menurunkan kemampuan alamiah kita karena terlalu dimanjakan
dengan teknologi. “Sehingga manusia menjadi rapuh dan menjadi sulit memaknai
setiap kejadian serta krisis kemanusiaan,” paparnya.
Adalah menjadi sangat sensitif dan
emosional ketika menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan keseharian.
Sehingga konflik-konflik sangat mudah disulut dan berujung pada berbagai
keburukan dalam kehidupan kita. Salah
seorang filosof menyatakan, semua krisis ini terjadi karena adanya komodifikasi.
“Yaitu segala sesuatu telah menjadi komoditas ekonomi, termasuk budaya dan
agama,” terangnya meyakinkan.
Dia lalu mengatakan, bahwa kita juga
terlalu banyak belajar apa yang disebut misosofia.
Miso berarti benci dan sofia berarti kebijaksanaan, yang artinya kita sering
mempelajari hal-hal yang membawa pada kebencian akan kebijaksanaan. Hal ini
dimulai pada era modern dari mazhab Lingkaran Wina yang menyatakan, hanya
pernyataan yang bisa dibuktikan secara empiris yang disebut sebagai ilmu
pengetahuan. “Selain itu hanya pepesan-kosong belaka. Ini adalah bentuk
desakralisasi terhadap sains yang memisahkan hal-hal ilahiah dalam sains,” sambungnya.
Proses sekularisasi sains inilah
yang menyebabkan berbagai bencana pada manusia modern sampai hari ini. Untuk
itu, aspek metafisika sedapat mungkin haruslah kembali kita masukkan dalam
ranah sains.
Pandangan yang sama diketengahkan
Muhammad Nur Jabir. Dia memotret kesadaran rakyat dengan mengangkat topik
"Eksistensialisme Heidegger dan
Kesadaran Rakyat Indonesia".
Bahwa hari ini banyak pihak yang
mengatasnamakan rakyat. Mereka yang mengkritik dan dikritik sama-sama
menyandarkan dirinya sebagai perwakilan kepentingan rakyat. Namun apa makna
rakyat itu sendiri? Rakyat diidentikkan dengan teknologi dan keterlibatan
secara massal.
Menyitir konsep Heidegger, bahwa
saat melihat masalah hari ini adalah tentang teknologi. Teknologi diciptakan
untuk memudahkan kehidupan manusia, namun hari ini entah mengapa teknologi
tersebut malah menjadi sebuah kungkungan untuk kehidupan kita.
Bukan kita yang mengendalikan
teknologi namun malah sebaliknya. Untuk itu harus ada revolusi teknologi, yaitu
merubah sudut pandang kita terhadap teknologi sebagai esensi. “Esensi teknologi
adalah sesuatu yang mempermudah kehidupan kita dan kita harus bijak dalam menggunakannya,”
katanya.
Lantas di mana titik koordinat
sosial ke-Indonesiaan kita. Jangan-jangan, meminjam ungkapan Cak Nun, bahwa
sampai detik ini, kita tidak memiliki satu derajat sedikitpun dalam titik
koordinat sosial kita. Atau, kita tidak memahami, siapa jatidiri kita
sesungguhnya. Apa jatidiri
ke-Indonesiaan kita.
Pada hakikatnya, membangun kesadaran
akan eksistensi diri ini adalah sesuatu yang penting untuk menjalani kehidupan
yang baik ke depannya. Menurut Nur Jabir, dalam akhir presentasinya ia memberi
sebuah pesan yang sangat mendalam, yang berbunyi: Your cell phone already replaced your camera, your calendar, your alarm
clock. Dont let it replace your
family.
Kendati membuat kita mengernyitkan
dahi. Identitas ke-Indonesiaan kita sekarang ini sedikit demi sedikit akan
hilang dari ingatan sosial anak cucu kita di masa yang akan datang. Akan kah
filsafat menjadi sekuntum bunga “hikmah” yang mampu memberikan kebahagiaan bagi
bangsa ini. Bagaimana dengan politik kita hari ini?
Komisioner Bawaslu RI, Daniel
Zuchron, dalam kacamata sosial-politik menyoroti "Permasalahan Pemilu
dalam Perspektif Filsafat". Dia berpandangan bahwa pemilu dalam perspektif
filsafat merupakan upaya mencari pemahaman, cara pandang, dan tujuan yang harus
terus menerus dilakukan.
Bagi generasi yang tidak mengalami
masa pergolakan politik Orde Baru dan Orde Reformasi, dalam skala tertentu akan
memahami secara berbeda dengan generasi sebelumnya. “Karena itu, menurut
Daniel, pendekatan pemilu yang ingin menegakkan otonomi individu dalam kerangka
hak universal tentu membutuhkan model pendidikan yang aktual yang memuliakan
kemanusiaan itu sendiri,” tukasnya.
Pemilu tidak cukup berhenti dengan
ritual lima tahunan yang tidak memahami perkembangan manusianya. Namun dalam
sistem yang sudah berkembang sekarang ini, secara pasti akan berhadapan dengan
momentum rutin lima tahunan. Mengingat fondasi dari pemilu adalah wahana
pergantian kekuasaan formal yang secara natural berangkat dari mutlaknya
hubungan relasional antara pemimpin dan yang dipimpin dalam lingkup tertentu.
“Artinya pemilu bukanlah mutlak sebagai dasar dari segala kekuasaan, namun
sudah dibatasi dalam kepemimpinan formal masyarakat yang dikenal sebagai
Negara,” katanya.
Realitasnya, secara konseptual, bahwa antara yang universal dan partikular, serta yang sederhana (simple) dan kompleks tergambar bahwa pemilu dapat ditemukan pemahamannya, melalui cara pandang dan tujuan masing-masingnya. Pemilu adalah sebuah konsep yang memerlukan korespondensi dengan ekstensinya.
Pemilu juga memiliki nilai-nilai
universal dan studi kasus yang perlu disentuh secara filosofis, khususnya.
Universal itu bersifat abstrak dan secara partikular akan menemukan terapannya
pada kasus tertentu. Maka dia bukanlah dimensi pikiran semata. “Individu perlu
menemukan makna pada pengalaman empiriknya yang bisa dibuktikan dengan gagasan
rasional,” jelasnya.
Dan, dalam kerangka ini, pemilu juga
perlu dijelaskan dalam alur pikir yang bersifat naratif, deskriptif, dan
argumentatif, atas dasar realitas. Sebab, penjelasan yang tidak memiliki dasar
realitas adalah ilusi semata, alias utopis, katanya secara gamblang.
Belakangan kajian filsafat sedang
mendapat perhatian serius. Untuk itulah, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui UNESCO, sejak 2002, mencanangkan Hari
Filsafat Dunia, yang biasanya dilaksanakan pada minggu ketiga November 2005.
Ini merupakan peringatan atas kelahiran Socrates. REPUBLIC dengan asanya
menginginkan peringatan perdana di Indonesia bisa menjadi momentum yang tepat
mengajak publik untuk berefleksi kembali tentang persoalan-persoalan
kebangsaan. Adapun refleksi ini sebagai pesan pedagogis menyadarkan masyarakat
bahwa filsafat juga bisa kontribusi memberikan solusi.
Bahkan, menurut Haidar Bagir, tak
sedikit yang berpendapat bahwa filsafat bisa membuka pintu bagi “kebahagiaan
praktis" (republic/author).
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?