March 23, 2016

Jejaring Sosial Online Pasca Homo Homini Socius


http://wearesocial.sg.
Homo Homini Socius. Kalimat berbahasa latin ini di era digital juga menjadi kalimat yang mengalami transformasi secara istilah dalam aspek ruang dan waktu. Secara populer, kita mengenalnya social media atau jejaring sosial yang telah disiapkan oleh produsennya dalam bentuk social media platform.  

Istilah ini merujuk pada suatu interaksi dalam suatu lingkungan sosial baik skala kecil maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas. Seperti diketahui jejaring sosial online adalah bentuk komunikasi virtual yang penggunaannya digandrungi masyarakat dunia melalui kekuatan teknologi informasi .

Pada Januari 2014, Simon Kemp, praktisi sosial media yang berada di Singapura, mengatakan, setiap tahun para pengguna jejaring sosial di dunia mengalami pertumbuhan yang menakjubkan. “Hal ini sejalan dengan perkembangan inovasi media digital, kehumasan (public relation) dan kecakapan marketing,” tuturnya  dalam sebuah laman resmi agen pemasaran dan kehumasan jejaring sosial online bernama http://wearesocial.sg.   

Menurut Simon, jejaring sosial dengan segala layanannya, yang pirantinya sudah tertanam dalam gadget berupa ponsel cerdas semakin menandakan bahwa  penetrasi sosial dalam konteks komunikasi massa di beberapa negara, khususnya kawasan Asia akan terus menampilkan hal-hal yang baru. “Situasinya dapat disimak di awal 2014,” jelasnya.

Berkenaan dengan hal-hal baru tersebut, saluran informasi dengan mudah diakses. Setiap orang dapat memanfaatkannya dengan dukungan internet. Di antaranya, Facebook, Twitter, Google Plus dan LinkedIn.Selanjutnya, muncul jenis platform baru, kendati memiliki fungsi yang sama, semisal WhatsApp dan Line.

Di Indonesia sendiri, pertumbuhan pengguna internet, berdasarkan data yang dirilis We Are Social pada Januari 2014, jumlahnya mencapai 38.191.873. Sementara pengguna aktif ponsel cerdas (smartphone) berjumlah 281.963.665 di mana jumlah ini melebihi populasi total yang jumlahnya 251.160.124.

Sementara untuk pengguna jejaring sosial online di Indonesia, pengguna Facebook masih yang tertinggi sebesar 93 persen, diurutan kedua pengguna Twitter sebesar 80 persen, dan diurutan ketiga pengguna Google Plus 74 persen. Lalu untuk pengguna LinkedIn sebesar 39 persen dan pengguna Instagram sebesar 32 persen.

Berdasarkan data itu, Indonesia merupakan salah satu negara di asia yang menjadi target pemasaran teknologi informasi yang sangat menjanjikan. Di samping itu, selain situs resmi berita online, pertumbuhan netizen dalam bentuk narablog (citizen journalism) berkembang pesat dengan coraknya masing-masing. Untuk menyikapi situasi itu, diakui bahwa karakteristik dunia maya dinilai paling efektif untuk mengakses informasi sekaligus untuk berekspresi. Karena berbiaya murah dan memiliki nilai manfaat, di sisi lain menurut Basuki Yusuf Iskandar, Kepala Badan penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Kominfo, dampak sosial budaya dari teknologi informasi berujung pada pelanggaran norma.

Saat pembukaan Kongres ISKI 2015, di Solo, Basuki mengatakan, ruang kebebasan berpikir dan berpendapat memang tumbuh subur. “Hanya saja pengguna dalam keterbatasannya mengalami konflik saat berinteraksi dengan pengguna yang lain bahkan lebih jauh tendensius dan manipulatif,” katanya.

Menurut Basuki, memonitor dan mempersiapkan secara antisipatif perkembangan teknologi informasi adalah hal mendesak. “Terutama membangun ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya kreativitas dan inovasi,” jelasnya. Dengan demikian, perlunya menyosialisasikan tata kelola mengembangkan pola komunikasi yang tepat terhadap netizen menjadi penting, tambahnya.

Siapa pun tidak bisa menyangka, bahwa dalam komunikasi massa di era globalisasi ini tidak semua informasi dapat disaring. Pasti ada celah yang mampu memberikan dampak buruk terhadap masyarakat, khususnya netizen. Sebagai contoh, perdebatan politik, agama, dan persoalan lainnya yang terjadi di dunia nyata, ketika masuk dalam dunia maya persoalan utama dari peristiwa yang terjadi malah terpinggirkan dan yang muncul persoalan baru secara berbeda.

Tak jarang informasi berharga berubah menjadi informasi yang menghasut, memfitnah bahkan berupaya untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang yang pada dasarnya perlu dibuktikan dengan verifikasi. Kedaulatan komunikasi pun di perntanyakan, bagaimana ini bisa terjadi dalam balutan homo homini lupus berbaju virtual.

Padahal untuk meminimalisir risiko itu, sejak perkembangan kajian komunikasi digelar dalam tajuk konferensi internasional tahun 1984, di Solo, para anggota negara yang menjadi peserta bersepakat ingin memujudkan kedaulatan komunikasi dan keseimbangan secara teknologi teruntuk bagi negara-negara yang sedang berkembang. Apa yang terjadi selanjutnya? Menurut Hadi Mustofa Djuraid, selaku Staf Khusus Menteri Perhubungan RI bidang Keterbukaan Informasi Publik,  setelah 30 tahun agenda itu, yang terjadi sulit dibayangkan, situasinya masih sama yaitu hegemoni dalam bentuk teknologi informasi dari negara maju kepada negara-negara berkembang.

Hadi Mustofa mengutarakan, dalam konteks komunikasi yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders) sebetulnya peran pemerintah melalui bidang kehumasan dapat memberikan informasi dan komunikasi yang persuasif. Misalnya memberikan informasi kepada masyarakat terkait tata kelola informasi. Sehingga respon terhadap suatu persoalan yang perlu diinformasikan kepada masyarakat dapat diterima dengan baik. Selanjutnya, “Jika terjadi krisis dalam informasi publik, pemerintah dapat segara mengatasi sesuai dengan aturan yang berlaku,” paparnya.

Untuk itu, Hadi Mustofa, mengemukakan, bila kita masih menginginkan dan mewujudkan kedaulatan komunikasi di tahun ini, setidaknya undang-undang yang mengaturnya harus diwujudkan secara tegas. “Sampai saat ini kejahatan melalui teknologi informasi menyangkut keamanan dan penyusupan informasi illegal masih sering  dijumpai,” kata dia. Karena itu, jangan sampai ledakan informasi (cyber booming) ini yang menikmati keuntungannya orang dari luar negara Indonesia. 

http://wearesocial.sg.
Dengan begitu, sistem pelayanan publik yang terintegrasi sampai saat ini masih terus ditingkatkan kualitasnya. “Tujuannya adalah bagaimana membangun tol informasi ini dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional,” paparnya. Jika tujuan ini tercapai, tidak menutup kemungkinan upaya pembangunan aksesibilitas, dan kualitas pelayanan informasi di daerah terpencil dapat terlaksana.

Hingga saat ini, pada dasarnya unsur-unsur dalam proses penyampaian komunikasi masih tetap sama. Namun, yang berbeda adalah mediumnya. Dahulu sistem komunikasi jejaring sosial terjadi dalam bahasa tutur dan bahasa tulis. Tapi saat ini, pola-pola demikian sudah bertransformasi dengan kemajuan teknologi informasi.

Dalam situasi berbeda, cyber booming bagi industri media, baik surat kabar cetak atau online serta media televisi merupakan persoalan tersendiri. Di sisi lain, pada fase ini terdapat pergeseran pola bagaimana masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi. Di samping gaya hidup (life style) informasi belakangan ini telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari.

Hal ini tentu tantangan bagi industri media seperti surat kabar. Para pengusaha industri media hanya bergeming. Tidak ada jalan lain, transformasi media adalah jalan terjal yang harus ditempuh. Seperti diungkapkan, Bimo Setiawan, Managing Director Kompas TV bahwa apa yang terjadi saat ini adalah fragmentasi audien, artinya audien sudah tidak terpaku pada satu media informasi saja, melainkan tersebar ke beberapa bentuk media informasi yang lain.

Di panggung media, Bimo menggambarkan, media itu sendiri merupakan sarana untuk memperluas dan menjangkau model bisnis baru. “Maka gairah untuk mencari model-model bisnis baru itu harus sejalan dengan program yang bertalian dengan konten komunikasi. Kebutuhan audien akan informasi dengan demikian harus diukur sebagai langkah dalam mengembangkannya,” kata Bimo di kongres nasional ISKI itu.

Konten adalah unsur penting dari proses tranformasi media terutama surat kabar yang mengandalkan teknologi informasi. Selain mengandalkan satu platform, media mau tidak mau harus menyuguhkan multi platform dengan harapan dapat menjadi pilihan bagi audien. Bimo mengatakan, untuk memanjakan audien (pembaca, pendengar bahkan penulis) sebagai pendekatan timbal-balik, mendapat fasilitas baik yang berbayar maupun gratis, jelasnya.

Adapun dalam pengalaman media yang digelutinya saat ini, menurut Bimo, tantangan itu sesungguhnya berada dalam setiap platform di mana media punya kekuatan dan keunikan masing masing. “SDM yang siap adalah untuk melaksanakan tugas multiplatform, sehingga model bisnis yang berbeda antara satu platform dengan platform lainnya, sedapat mungkin dapat mengalokasi seluruh sumber daya yang bisa dimanfaatkan bersama,” tegasnya.

Dengan demikian, menurut pandangan Bimo, upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat tata kelola media sebagai media informasi, pengorganisasian yang kuat dan profesional adalah jawabannya. Hal ini pun pasti akan selalu bersentuhan dengan investasi, pemangku kepentingan dan regulasi yang mengatur semua aktivitas itu. Tanpa itu semua, realitas perkembangan ilmu dan realitas perkembangan industri media tidak akan pernah bertemu, tandasnya.      

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?