http://wearesocial.sg. |
Homo Homini Socius. Kalimat
berbahasa latin ini di era digital juga menjadi kalimat yang mengalami
transformasi secara istilah dalam aspek ruang dan waktu. Secara populer, kita
mengenalnya social media atau
jejaring sosial yang telah disiapkan oleh produsennya dalam bentuk social media platform.
Istilah
ini merujuk pada suatu interaksi dalam suatu lingkungan sosial baik skala kecil
maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas. Seperti diketahui jejaring sosial
online adalah bentuk komunikasi virtual yang penggunaannya digandrungi
masyarakat dunia melalui kekuatan teknologi informasi .
Pada
Januari 2014, Simon Kemp, praktisi sosial media yang berada di Singapura,
mengatakan, setiap tahun para pengguna jejaring sosial di dunia mengalami
pertumbuhan yang menakjubkan. “Hal ini sejalan dengan perkembangan inovasi
media digital, kehumasan (public relation)
dan kecakapan marketing,” tuturnya dalam
sebuah laman resmi agen pemasaran dan kehumasan jejaring sosial online bernama http://wearesocial.sg.
Menurut
Simon, jejaring sosial dengan segala layanannya, yang pirantinya sudah tertanam
dalam gadget berupa ponsel cerdas semakin menandakan bahwa penetrasi sosial dalam konteks komunikasi
massa di beberapa negara, khususnya kawasan Asia akan terus menampilkan hal-hal
yang baru. “Situasinya dapat disimak di awal 2014,” jelasnya.
Berkenaan
dengan hal-hal baru tersebut, saluran informasi dengan mudah diakses. Setiap
orang dapat memanfaatkannya dengan dukungan internet. Di antaranya, Facebook,
Twitter, Google Plus dan LinkedIn.Selanjutnya, muncul jenis platform baru,
kendati memiliki fungsi yang sama, semisal WhatsApp dan Line.
Di
Indonesia sendiri, pertumbuhan pengguna internet, berdasarkan data yang dirilis
We Are Social pada Januari 2014,
jumlahnya mencapai 38.191.873. Sementara pengguna aktif ponsel cerdas (smartphone) berjumlah 281.963.665 di
mana jumlah ini melebihi populasi total yang jumlahnya 251.160.124.
Sementara
untuk pengguna jejaring sosial online di Indonesia, pengguna Facebook masih
yang tertinggi sebesar 93 persen, diurutan kedua pengguna Twitter sebesar 80
persen, dan diurutan ketiga pengguna Google Plus 74 persen. Lalu untuk pengguna
LinkedIn sebesar 39 persen dan pengguna Instagram sebesar 32 persen.
Berdasarkan
data itu, Indonesia merupakan salah satu negara di asia yang menjadi target pemasaran
teknologi informasi yang sangat menjanjikan. Di samping itu, selain situs resmi
berita online, pertumbuhan netizen dalam bentuk narablog (citizen journalism) berkembang pesat dengan coraknya masing-masing. Untuk
menyikapi situasi itu, diakui bahwa karakteristik dunia maya dinilai paling
efektif untuk mengakses informasi sekaligus untuk berekspresi. Karena berbiaya
murah dan memiliki nilai manfaat, di sisi lain menurut Basuki Yusuf Iskandar, Kepala Badan penelitian dan Pengembangan SDM
Kementerian Kominfo, dampak sosial budaya dari teknologi informasi berujung
pada pelanggaran norma.
Saat
pembukaan Kongres ISKI 2015, di Solo, Basuki mengatakan, ruang kebebasan
berpikir dan berpendapat memang tumbuh subur. “Hanya saja pengguna dalam
keterbatasannya mengalami konflik saat berinteraksi dengan pengguna yang lain
bahkan lebih jauh tendensius dan manipulatif,” katanya.
Menurut
Basuki, memonitor dan mempersiapkan secara antisipatif perkembangan teknologi
informasi adalah hal mendesak. “Terutama membangun ekosistem yang kondusif bagi
tumbuhnya kreativitas dan inovasi,” jelasnya. Dengan demikian, perlunya
menyosialisasikan tata kelola mengembangkan pola komunikasi yang tepat terhadap
netizen menjadi penting, tambahnya.
Siapa
pun tidak bisa menyangka, bahwa dalam komunikasi massa di era globalisasi ini tidak
semua informasi dapat disaring. Pasti ada celah yang mampu memberikan dampak
buruk terhadap masyarakat, khususnya netizen. Sebagai contoh, perdebatan
politik, agama, dan persoalan lainnya yang terjadi di dunia nyata, ketika masuk
dalam dunia maya persoalan utama dari peristiwa yang terjadi malah terpinggirkan
dan yang muncul persoalan baru secara berbeda.
Tak
jarang informasi berharga berubah menjadi informasi yang menghasut, memfitnah
bahkan berupaya untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang yang pada dasarnya
perlu dibuktikan dengan verifikasi. Kedaulatan komunikasi pun di perntanyakan,
bagaimana ini bisa terjadi dalam balutan homo
homini lupus berbaju virtual.
Padahal
untuk meminimalisir risiko itu, sejak perkembangan kajian komunikasi digelar dalam
tajuk konferensi internasional tahun 1984, di Solo, para anggota negara yang
menjadi peserta bersepakat ingin memujudkan kedaulatan komunikasi dan
keseimbangan secara teknologi teruntuk bagi negara-negara yang sedang
berkembang. Apa yang terjadi selanjutnya? Menurut Hadi Mustofa Djuraid, selaku Staf Khusus Menteri Perhubungan RI bidang
Keterbukaan Informasi Publik, setelah 30 tahun agenda itu, yang terjadi
sulit dibayangkan, situasinya masih sama yaitu hegemoni dalam bentuk teknologi
informasi dari negara maju kepada negara-negara berkembang.
Hadi
Mustofa mengutarakan, dalam konteks komunikasi yang melibatkan banyak pemangku
kepentingan (stakeholders) sebetulnya
peran pemerintah melalui bidang kehumasan dapat memberikan informasi dan
komunikasi yang persuasif. Misalnya memberikan informasi kepada masyarakat
terkait tata kelola informasi. Sehingga
respon terhadap suatu persoalan yang perlu diinformasikan kepada masyarakat
dapat diterima dengan baik. Selanjutnya, “Jika terjadi krisis dalam informasi
publik, pemerintah dapat segara mengatasi sesuai dengan aturan yang berlaku,”
paparnya.
Untuk
itu, Hadi Mustofa, mengemukakan, bila kita masih menginginkan dan mewujudkan
kedaulatan komunikasi di tahun ini, setidaknya undang-undang yang mengaturnya
harus diwujudkan secara tegas. “Sampai saat ini kejahatan melalui teknologi
informasi menyangkut keamanan dan penyusupan informasi illegal masih sering dijumpai,” kata dia. Karena itu, jangan
sampai ledakan informasi (cyber booming)
ini yang menikmati keuntungannya orang dari luar negara Indonesia.
http://wearesocial.sg. |
Dengan begitu, sistem pelayanan publik
yang terintegrasi sampai saat ini masih terus ditingkatkan kualitasnya. “Tujuannya
adalah bagaimana membangun tol informasi ini dapat mendukung kegiatan ekonomi
nasional,” paparnya. Jika tujuan ini tercapai, tidak menutup kemungkinan upaya pembangunan
aksesibilitas, dan kualitas pelayanan informasi di daerah terpencil dapat
terlaksana.
Hingga saat ini, pada dasarnya
unsur-unsur dalam proses penyampaian komunikasi masih tetap sama. Namun, yang
berbeda adalah mediumnya. Dahulu sistem komunikasi jejaring sosial terjadi
dalam bahasa tutur dan bahasa tulis. Tapi saat ini, pola-pola demikian sudah
bertransformasi dengan kemajuan teknologi informasi.
Dalam situasi berbeda, cyber booming bagi industri media, baik
surat kabar cetak atau online serta media televisi merupakan persoalan tersendiri.
Di sisi lain, pada fase ini terdapat
pergeseran pola bagaimana masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi. Di
samping gaya hidup (life style) informasi belakangan ini telah menjadi
bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal ini tentu
tantangan bagi industri media seperti surat kabar. Para pengusaha industri
media hanya bergeming. Tidak ada jalan lain, transformasi media adalah jalan
terjal yang harus ditempuh. Seperti diungkapkan, Bimo Setiawan, Managing
Director Kompas TV bahwa apa yang terjadi saat ini adalah fragmentasi audien,
artinya audien sudah tidak terpaku pada satu media informasi saja, melainkan
tersebar ke beberapa bentuk media informasi yang lain.
Di panggung
media, Bimo menggambarkan, media itu sendiri merupakan sarana untuk memperluas
dan menjangkau model bisnis baru. “Maka gairah untuk mencari model-model bisnis
baru itu harus sejalan dengan program yang bertalian dengan konten komunikasi.
Kebutuhan audien akan informasi dengan demikian harus diukur sebagai langkah
dalam mengembangkannya,” kata Bimo di kongres nasional ISKI itu.
Konten adalah
unsur penting dari proses tranformasi media terutama surat kabar yang
mengandalkan teknologi informasi. Selain mengandalkan satu platform,
media mau tidak mau harus menyuguhkan multi platform dengan harapan
dapat menjadi pilihan bagi audien. Bimo mengatakan, untuk memanjakan audien
(pembaca, pendengar bahkan penulis) sebagai pendekatan timbal-balik, mendapat
fasilitas baik yang berbayar maupun gratis, jelasnya.
Adapun dalam
pengalaman media yang digelutinya saat ini, menurut Bimo, tantangan itu
sesungguhnya berada dalam setiap platform di mana media punya kekuatan dan
keunikan masing masing. “SDM yang siap adalah untuk melaksanakan tugas multiplatform,
sehingga model bisnis yang berbeda antara satu platform dengan platform
lainnya, sedapat mungkin dapat mengalokasi seluruh sumber daya yang bisa
dimanfaatkan bersama,” tegasnya.
Dengan
demikian, menurut pandangan Bimo, upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat
tata kelola media sebagai media informasi, pengorganisasian yang kuat dan
profesional adalah jawabannya. Hal ini pun pasti akan selalu bersentuhan dengan
investasi, pemangku kepentingan dan regulasi yang mengatur semua aktivitas itu.
Tanpa itu semua, realitas perkembangan ilmu dan realitas perkembangan industri
media tidak akan pernah bertemu, tandasnya.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?