October 8, 2008

P a r a d o k s

P a r a d o k s

Oleh: Nazhori Author


Sore itu Ibu terlihat repot. Hati saya bertanya, ada apa dengan Ibu. Ayah baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melingkar di pundaknya. Dipicu rasa penasaran saya pun bertanya pada Ibu. “Ada apa bu, repot banget kayanya”. Jawabnya: “Kamu lupa ya adikmu yang ragil ulang tahun”. Oh iya. Saya kembali bertanya: “Terus mau ada apa bu?” Sudah jangan banyak tanya yang penting kamu siap-siap bantu saja, jawabnya dengan nada sumringah.

Usut punya usut, ternyata ulang tahun adik saya mau dirayakan lusa. Ibu berniat mengundang tetangga. Ayah pun mengamini rencana Ibu. Saya maklum, tapi hati kecil masih mengganjal. Mengapa Ibu merayakan ulang tahun adik, padahal dalam keluarga tidak pernah ada tradisi seperti itu. “Ada apa sebenarnya?”

Dengan nada datar saya berkata. “Ga biasanya Ibu merayakan ulang tahun”. Ibu menjawab: “dulu kan berbeda dengan sekarang. Ya, lebih modern gitu lho”. Sambil mengerutkan dahi saya bertanya-tanya apa hubungannya ulang tahun dengan kata “modern”. Ibu pun pergi dan kembali dengan suasana repotnya.

Orangtua saya mungkin lupa. Seingat saya, Odel kakaknya ragil kemarin mendapat surat dari sekolah yang isinya tentang tagihan 4 buku pelajaran yang belum lunas. Paradoks memang, hati kecil saya berkata. Kerapkali suatu prioritas terkalahkan oleh kebutuhan yang kosong substansinya. Atau karena memang gaya hidup (life style) yang berwujud pencitraan telah menjadi penumpang gelap di dalam tatanan hidup keluarga, meski itu adalah pilihan dan hak sesorang.

Entah apa jadinya jika pakar budaya “Jean Baudrillard” postmodernisme mengetahui rencana Ibu, mungkin Ia akan ngomel . Celakanya, gaji Ayah pas-pasan karena dipotong sana-sini untuk menutupi kebutuhan yang lain.

Kini, kondisi paradoks seperti itu tidak hanya hadir di ruang tamu rumah kita. Melainkan hadir di sekitar kita. Tengok saja angka kemiskinan yang semakin ekstrim. Antara lembaga yang satu dengan yang lain menghitung dengan data yang berbeda. Tidak mustahil jika pembagian BLT selalu ricuh. Tidak terkecuali dengan pembagian zakat yang baru-baru ini di Pasuruan, Jawa Timur berakhir tragis.

Belum lagi pengangguran intelektual yang terus membengkak semakin menambah senioritas pengangguran. Setiap tahun ribuan sarjana dihasilkan oleh perguruan tinggi tapi out put nya tidak selalu pas dengan lapangan kerja yang disediakan.

Berkali-kali rakyat dibodohi. Di pusat para wakil rakyat dengan suara lantang berteriak tidak setuju atas kenaikan BBM yang ditetapkan oleh pemerintah. Ironisnya, diam-diam mereka mendukung kenaikan gaji sendiri. Dengan strategi negosiasi cilukba wakil rakyat selalu mencari celah menggodok undang-undang tapi hasilnya sulit diharapkan.

Satu-satu persatu para wakil rakyat tumbang, tersangkut kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara palu pengadilan tak berbunyi di meja hijau karena hukum telah diperjualbelikan.

Padahal para Ustadz di layar kaca sudah memperingatkan untuk berlaku jujur, sabar dan adil. Apa boleh buat pituah Sang Ustadz hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.

Begitu juga dengan nasib Paijo yang baru 6 bulan tinggal di Jakarta niat hati mencari udara segar di Mal, malah terpikat bujuk rayu marketing kartu kredit. Hasilnya, sekali gesek tiga pulau terlampaui. Sehari tiga kali juga Ia dimaki-maki debt collector. Kita semakin tidak mengerti ilmu ekonomi apa yang digunakan perbankan yang ujung-ujungnya melatih masyarakat untuk ngutang dan konsumtif.

Akhirnya, ngutang telah menjadi budaya bangsa. Bangsa ini sudah tidak memilki negosiator “good boy” ulung bagaimana merayu lembaga keuangan internasional guna mengurangi utang yang tak kunjung lunas. Terlebih dengan kondisi negeri Paman Sam yang sedang krisis ekonomi. Jangan risau, demikian kata Bapak Presiden, seperti diwartakan di televisi.

“Globalisasi, sungguh terlalu”. Bagaimana dengan anggaran pendidikan 20 persen. Sampai sekarang belum terpenuhi. Kasihan Upi yang putus sekolah. Ayahnya hanya buruh bangunan. Sedangkan Ibunya hanya buruh cuci pakaian. Tentangganya Haji Abidin (Atas Biaya Dinas) sudah empat kali naik haji dan akan naik haji lagi. Tapi tidak tahu dan tidak peduli dengan keadaan Upi yang unik. Yang terpikirkan adalah menjadi Haji berkalung sorban.

Jika sudah demikian, kepada siapa Upi mengadu. Bukankah pintu agama selalu terbuka. Tunggu dulu jangan terkecoh, untuk tidak mengulangi kesalahan serupa alangkah baiknya kita melihat wajah agama dengan jernih. Sayang, sekali lagi sayang. Keimanan lagi-lagi diperebutkan. Atas nama kebenaran seseorang dengan gampang menghakimi agama orang lain bahkan saudara seiman karena sudah sesat.

Melihat negeri antah berantah ini, jadi teringat “Juggernaut” metafornya Anthony “The Third Way” Giddens. Maksudnya serangan yang datang bertubi-tubi di negeri yang makmur ini ibarat truk besar yang meluncur kencang dan tak terkendali. Alhamdulillah masyarakat tetap bertahan. Masyarakat akar rumput inilah yang patut diacungi jempol. Sepahit-pahitnya hidup kebutuhan mereka masih bisa terpenuhi meski harus jalan terseok-seok.

Tuhan memberikan nikmat hidup memang tidak tunggal. Pasti selalu berpasang-pasangan bahkan berlawanan. Persoalannya sekarang, bagaimana menyikapi situasi itu. Khoirul umuri auw shatuha (sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah). Lalu, bagaimana dengan mereka yang posisinya berada di pinggir (pheripheri) bukannya yang pinggiran bernasib buruk, lemah, miskin dan tertindas. Wallohu ‘alam



0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?