April 16, 2015

Perempuan Dalam Lembaran Filantropi



Setelah mendengar bunyi dering ponsel, tanganku berusaha meraih ponsel yang tidak biasanya diletakkan di atas meja, khawatir anakku dapat menjangkaunya. Barangkali bunyi itu hanya pesan biasa kawan, sekedar ucapkan selamat pagi atau pesan lain dari aplikasi mobile chatting yang tak kunjung berhenti.

Sorot mataku membuka satu per satu aplikasi yang tersedia. Namun, saat masuk ke media sosial berlogo kicau burung, angka 1 muncul di bar mention. Antara membuka dan tidak,  secangkir teh hangat menggoda dengan asap tipis yang terus mengepul ke atas.

Menu berita pagi di lini masa Twitter masih seputar politik yang terus bergerak. Bosan bercampur gundah sebelum membaca detailnya. Akhirnya, aku kembali membuka bar mention yang sempat ku urungkan tadi. Rupanya, ada kawan sosial media yang baru saja kembali studi dari negeri Kangguru beberapa bulan lalu mengabarkan berita dari surat kabar nasional tentang perempuan dan filantropi.   

Dari judul yang ada, seperti membius pikiranku untuk membaca lebih jauh. Setidaknya ada relasi kuat, antara berita dan aktivitas yang ku jalani saat ini bermuara pada filantropi. Kali ini bukan soal charity semata, melainkan isu perempuan yang lepas dari pengamatan masyarakat pada umumnya.

Ihwal berita tersebut, judulnya begitu menohok “Ormas Islam dan LAZ, Kurang Perhatikan Pemberdayaan Perempuan” (Republika, 16 April 2015). Dari sudut pandang tertentu mungkin saja bisa terjadi. Kendati dalam berita itu tidak ada data yang dapat dirujuk, berita ini di sisi lain memiliki semangat pesan kuat yang ingin disampaikan kepada khalayak.

Adalah Amelia Fauziah sebagai sumber berita itu. Seorang Doktor dan Peneliti Filantropi di UIN Jakarta. Dia intens mengamati perkembangan dunia filantropi di Indonesia. Bukan kebetulan jika Amelia melempar isu perempuan. Kaca mata berbeda telah disuguhkannya bahwa ada sesuatu yang penting dibicarakan soal perempuan.

Menurut Amelia, organisasi amal zakat belum terlalu maksimal dan serius memberdayakan ekonomi perempuan. Ihwal pemberdayaan ini terpaksa kalah dengan program jangka pendek mereka. “Sebab, ada anggapan sektor tersebut kurang prioritasnya dibanding kegiatan lain yang dianggap memiliki orientasi ibadah,” tuturnya.

Padahal, pemberdayaan ekonomi terhadap perempuan sangat penting. Penyebabnya, karena pemberdayaan dan pendidikan menjadi wilayah darurat. Maksudnya, perempuan secara tidak langsung selalu berkenaan dengan memperbaiki spiritualitas anak-anak dan keluarga, tambahnya. “Karena selama ini, baik anak-anak dan keluarga merupakan wilayah domestik yang berkaitan erat dengan perempuan,” ujar Amelia.

Amelia juga mengaku sudah ada beberapa ormas Islam besar yang sudah cukup baik memberdayakan perempuan. Menurutnya, sudah ada beberapa ormas yang cukup maju dalam memberdayakan perempuan. Ia menegaskan, program-program yang dilakukan sejumlah ormas itu sudah sepantasnya mendapat dana zakat. “Sehingga mereka bisa lebih memaksimalkan dalam pemberdayaan tersebut,” tambahnya.

Paparan Amelia penulis kutip secara utuh di atas. Hal ini sebagai pesan inti yang sampai detik ini mungkin ada yang belum mengetahui topik pembicaraan yang dimaksud. Ada banyak hal yang melatarbelakangi, tentu tidak dapat dikupas satu persatu. Tapi, isu-isu terkini (kekerasan, kemiskinan dan kesehatan) terkait perempuan berdasarkan hasil penelitian patut diangkat sebagai pelengkap.   

Data Komnas Perempuan pada 2014, misalnya, jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.220 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2013 sebanyak 279.688 kasus. Faktanya, dari 2010, angka ini selalu menunjukkan tren yang terus melambung. Kasus kekerasan ini masih didominasi di lingkungan rumah tangga, selebihnya terjadi dalam komunitas, dan fasilitas umum yang tidak aman bagi perempuan. Tidak terkecuali di tempat kerja dan buruh migran perempuan.

Dalam aspek kesehatan, aksesnya pun sulit dijangkau perempuan-perempuan miskin. Menurut Women Research Institute, kajian tentang pelayanan kesehatan merupakan salah satu masalah yang diidentifikasi dan sering dihadapi oleh perempuan miskin. Mereka tak memiliki akses dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan. Masalah tersebut terkait erat dengan fasilitas dan pelayanan kesehatan itu sendiri, keluarga, dan masalah sosial budaya lainnya. Kebijakan publik mengenai pemenuhan hak-hak dasar akan memberi pengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, di mana perempuan kelompok masyarakat yang paling rentan.

Perempuan, Komunitas dan Kelas Menengah

Sesungguhnya apa hubungannya antara perempuan, komunitas dan kelas menengah. Mengapa perlu diketengahkan? Hemat penulis, sepanjang yang penulis ketahui beririsan dengan apa yang telah diungkapkan Amelia Fauziah di awal tadi. Yaitu posisi perempuan dan titik koordinat sosialnya selama ini memang berada dalam deteksi radar dunia filantropi.

Sekali lagi sudut pandang perempuan itu sendiri yang menjadi pisau bedah mengupas keberadaan perempuan. Di luar wacana maskulinitas, laki-laki sudah mulai berbicara hal ini dari sudut pandang perempuan, ingat bukan dari sudut pandang laki-laki. Artinya, ada titik temu antara laki-laki dan perempuan ketika berbicara soal berbagi menanggung pemberdayaan perempuan.

Tanpa komunitas dan kelas menengah, siapa yang akan peduli dengan nasib perempuan saat negara absen dari prahara yang menimpa perempuan termasuk anak-anak dan lansia. Untuk itu, ulasan Yuswohady menarik disimak dalam bukunya Marketing To The Middle Class Moslem (2014). Sebagai pakar dan praktisi marketing, dia ingin mengajak pembaca melalui bukunya untuk Kenali Perubahannya, Pahami Perilakunya, Petakan Strateginya.

Dengan menggunakan konsep Konsumen Kelas Menengah Moslem, dia mengatakan konsumen yang terus tumbuh besar itu baik di luar dan di dalam komunitas di Indonesia jumlahnya mencapai 87 persen. Jika jumlah itu terkoordinasi dengan baik, persoalan perempuan yang menjadi salah satu isu kekinian dapat diminimalisir. Yaitu dengan kekuatan filantropi, berbagi dan peduli terhadap sesama dengan aksi bersama.

Selanjutnya, Yuswohady memetakan kelas menengah muslim itu dengan empat tipe, antara lain: apatis, rasionalis, kompromis, dan universalis. Sebetulnya, tipe ini pernah dibahas oleh tokoh pedagogi Brazil, Paulo Freire dengan tiga tipe kesadarannya: magis, naïf dan kritis. Di sini Yuswohady dengan bernas dan jeli meramunya menjadi empat tipe kelas menegah muslim dengan pendekatan yang nyaris berbeda

Pada tipe pertama, sosok konsumen muslim dipahami sebagai orang yang memiliki pengetahuan, wawasan, dan kondisi ekonominya masih rendah. Tipe konsumen pertama ini, memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam (agama) yang juga rendah.

Untuk tipe kedua, profil konsumen muslim ini adalah orang yang memiliki pengetahuan, open-minded, dan wawasan luas, namun tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam (agama) juga masih rendah.

Sementara profil konsumen tipe ketiga, diidentifikasi sebagai konsumen muslim yang pada umumnya taat beribadah dengan kualitas amat sangat, mereka mewujudkan nilai-nilai Islam (agama) secara normatif. Di sisi lain dibekali dengan wawasan terbatas, konservatif dan tradisional. Profil ini, cenderung kurang membuka diri terhadap nilai-nilai di luar Islam (agama) terutama nilai-nilai yang datang dari Barat.

Terakhir, sosok konsumen muslim yang tidak sebatas memiliki wawasan luas dan pola pikir yang universal. Mereka juga melek teknologi (digital online), namun taat dalam menjalankan perintah agama. Di samping itu, mereka lebih toleran, open-minded, dan inklusif dari sikap, pola pikir dan pergaulan. 



Gambaran di atas, sesungguhnya hanyalah pemetaan yang didasari pada suatu identifikasi berbasis riset. Yang pada gilirannya dapat dijadikan cara pandang untuk memotret perempuan dan filantropi. Sebagai referensi filantropi strategis, ulasan ini hanya ingin sekedar berbagi info bahwa perempuan, komunitas dan kelas menengah adalah wacana yang menarik dikaji.

Apalagi komunitas-komunitas di Indonesia, digawangi oleh kaum muda, perempuan yang memiliki kesamaan ide, misi dan visi untuk aksi edukasi dan pemberdayaan. Mereka tidak sebatas hobi, mereka juga kaum profesional yang ingin berbagi, hanya saja keterbatasan komunikasi belum berjalan optimal.

Secara universal, yang menjadi tipe terakhir, sejatinya dapat menjadi suatu model bahwa aksi kepedulian dan berbagi (filantropi) terhadap suatu apapun termasuk perempuan setidaknya berangkat dari spirit keindonesiaan. Hal ini agar semua pihak yang berkepentingan dapat merasakan nikmatnya kebersamaan tanpa mengganggu latarbelakang sosial masing-masing. Di sana sudah ada CSR, lembaga filantropi (LAZ) yang siap bersinergi kapan pun dan di mana pun. Sudah saatnya komunitas dan kelas menengah menoleh dan membuka lembaran-lembaran filantropi yang terkait dengan perempuan atau hal lain secara inklusif. Semoga bermanfaat.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?