July 11, 2010

Muhammadiyah, Ideologi dan Obsesi

Oleh: Nazhori Author


Pembaruan (tajdid) di tubuh organisasi Muhammadiyah senantiasa menyisakan pertanyaan, apa makna pembaruan dalam realitas kehidupan kita saat ini? Kejayaan amal usaha Muhammadiyah merupakan aktualisasi dari ideologi menuju obsesi gerakannya. Dalam hal ini, warga Muhammadiyah khususnya dan kaum muslim umumnya hanya berperan sebagai pemerima pasif bukan subyek kreatif yang mencari makna pembaruan tersebut.

Dalam realitas, Muhammadiyah hanyalah seperangkat alat perjuangan yang di dalamnya terdapat prinsip dan tatanan nilai bukan “gerakan politik”. Hal itu dibuktikan dari terbentuknya kantong-kantong Muhammadiyah dari tingkat ranting sampai daerah yang memiliki komitmen bermuhammadiyah. Dalam perspektif ini, Muhammadiyah merupakan sarana untuk memecahkan persoalan dakwah di tengah kultur yang berbeda-beda.

Pada perkembangan berikutnya, terobosan-terobosan baru coba ditempuh oleh sebagian kaum muda Muhammadiyah dengan eksperimentasi pemikiran yang kritis, namun langkah itu belum berbuah manis karena energinya terlanjur terkuras dengan tekanan dan kerisauan liberalisasi pemikiran Islam. Akhirnya, jika boleh dikatakan semangat tajdid itu tertunda sementara. Dan, yang menarik, para kaum muda telah meletakkan pijakan awal untuk membaca gerakan Muhammadiyah di masa yang akan datang.

Begitu pula dengan konsep politik yang disajikan sebagian kaum muda Muhammadiyah melalui Partai Matahari Bangsa. Dengan harapan, tidak hanya sekadar menyalurkan syahwat politik, lebih dari itu bagaimana kaum muda dapat berinteraksi dengan dunia politik sehingga mendapat pengalaman politik yang berharga meski obsesi ini tidak berjalan lancar.

Ideologi Kaum Puritan
Perjalanan satu abad Muhammadiyah boleh jadi membuat organisasi Islam modernis yang sudah lama mengantongi ideologi tafsir purifikasi semakin matang. Atau sebaliknya terlampau berat menanggung beban berat ideologis yang kadung memberi kesan modernis dalam upaya reformasi keagamaan. Seolah-olah Islam murni menjadi sebuah keputusan absah dan tidak boleh diperdebatkan.

Hingga kini, penampilan Muhammadiyah sebagai organisasi reformis masih terus melekat. Sehingga ideologi ini begitu mengakar kuat di kalangan warga Muhammadiyah. Padahal sisi lain Muhammadiyah sebagai pelaku perubahan sosial jauh lebih dinamis ketimbang sebagai kekuatan politik tanpa harus melupakan akar ideologinya.

Oleh karena itu, rasionalitas juga menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah yang berusaha membuka ruang dialog terhadap tradisi yang sudah mapan. Dengan harapan Muhammadiyah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi bahwa antara agama, tradisi, budaya dan perubahan sosial memiliki arti penting terhadap sikap dan laku keberagamaan.

Dalam konteks inilah, menurut Alfian dalam bukunya Politik Kaum Modernis (2010) KH. Ahmad Dahlan memainkan peran penting dari sisi ideologi ke gerakan dakwah dan sosial di Yogyakarta. Sebagai ideolog yang pragmatis (man of action) KH. Ahmad Dahlan telah berusaha menjaga keseimbangan antara pemurnian dan pembaruan secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (A. Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa: 2010)

Atas dasar sudut pandang ini, Muhammadiyah ke depan setelah melewati satu abad pertama perjalanannya sulit kiranya untuk lepas dari tantangan-tantangan baru. Apalagi pascamodernisme gejala sosial yang ada telah mengejutkan tatanan-tatanan sosial dan kultural serta fondasi pemikiran dan keagamaan yang sudah dijalani bersama. Apakah mungkin Muhammadiyah hanya dengan bekal purifikasi mampu menjawab persoalan-persoalan umat manusia khususnya kaum muslim di tengah kekuatan globalisasi.

KH. Ahmad Dahlan dalam salah satu pesan pengajaran moralnya di Muhammadiyah menekankan pentingnya mengajarkan beramal dan bekerja (problem solving) dari al-Qur’an surat al-Ma’un dengan tulus. Ikhtiar tersebut merupakan kemampuan diri untuk menilai dan menimbang suatu persoalan secara seimbang. Agar dalam menghargai dan menilai sesuatu secara rasional sesuai dengan konteks dan zamannya.

Dengan demikian, semangat tajdid bukan terutama terwujud dalam tindakan pemurnian, melainkan menghindari yang buruk dan menerima yang baik tanpa mencela suatu hal (gagasan atau pemikiran) yang baru, berbeda bahkan kritis sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Di sinilah letak gerakan purifikasi Muhammadiyah dalam kerangka menafsir makna zaman yang dibawa Ahmad Dahlan hingga berhasil menyebar dari tanah Jawa ke seluruh wilayah Indonesia.

Beliau berhasil mendudukan ideologi dalam aksi sosialnya sehingga obsesi pembaruannya dapat terwujud. Lantas di zaman sekarang ini, obsesi apa nantinya yang akan ditumbuhkembangkan oleh generasi-generasi muda di Muhammadiyah. Apakah akan memproduksi dan mereproduksi gagasan dan aksi barunya secara menyegarkan.

Angkatan Muhammadiyah Euphoria
Mengulas tentang perdebatan Muhammadiyah dalam berbagai perspektif tentunya tidak akan ada habisnya. Apalagi kita mengenal Muhammadiyah dari dalam sendiri, dan sejarah Muhammadiyah ditulis oleh orang Indonesia. Demikian halnya pada Indonesianis, mereka menulis Muhammadiyah karena memang Muhammadiyah memiliki daya tarik untuk diteliti dan dikritisi.

Padahal untuk menilai Muhammadiyah tidak cukup dari satu sisi, tapi dari beberapa sisi. Dengan begitu hal-hal yang bias dan timpang dapat dihindari. Jadi, ada semacam spektrum yang luas untuk menilainya. Sekalipun ada yang mempercayai bahwa Muhammadiyah telah terkena penyakit sipilis. Apapun risikonya Muhammadiyah harus mewujudkan obsesinya sebagai tenda bangsa.

Obsesi-obsesi itu sebenarnya telah lama didengungkan oleh angkatan Muhammadiyah euphoria. Misalnya, Muhammadiyah sebagai tenda kultural, Muhammadiyah sebagai rumah intelektual meminjam istilah Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah entepreneurship dan sebagainya. Setidaknya obsesi-obsesi ini terus mengemuka belakangan ini sebagai bentuk menyatakan diri dan ekspresi kritis dari kalangan kaum muda yang cinta dan peduli pada Muhammadiyah.

Euphoria yang dimaksud di sini adalah bukan semata-mata kegirangan, melainkan bangga dan merasa memiliki. Dan karenanya, tanpa melupakan akar tradisi lama, apa yang dipandang usang, dekaden, harus “ditransformasi” agar obsesi mengobarkan semangat tajdid jilid 2, menemukan momentumnya yang tepat. Sehingga obsesi ini diwarnai oleh semangat pembebas dari kepungan pemikiran yang jumud.

Dalam konteks seperti inilah, ketika bermuhammadiyah keputusan-keputusan penting tidak berhenti pada persoalan fikih dan muamalat yang obsesinya terangkum dalam memotong gelombang takhayul, bida’ah dan khurafat (TBC). Dengan kata lain, obsesi yang berfungsi sebagai proses kritik sosial. Maksudnya agar semangat tajdid sebagai teks yang mengalami dinamika dan perubahan situasi dapat tetap terjaga relevansinya.

Akhirnya, selamat bermuktamar Muhammadiyah, semoga menjadi kekuatan baru politik yang menjunjung tinggi amar ma’ruf nahi munkar dengan obsesi luhurnya yaitu Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama. Wallohu a’alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?