
Kebebasan Pedagogis Guru
Oleh: Nazhori Author
Oleh: Nazhori Author
Dilihat dari sudut kemunculannya secara historis, pemahaman tentang guru barangkali termasuk yang tertua. Istilah guru mengacu pada kebiasaan orang Yunani kuno yang menitipkan anaknya kepada orang cerdik pandai untuk belajar. Dan pada saat itulah makna sekolah muncul sebagai kegiatan di waktu luang untuk meningkatkan potensi diri. Sejak saat itu bahkan sampai sekarang tugas guru dengan mengajar adalah sebagai seni.
Guru adalah tokoh yang mampu melihat ke depan dengan keputusan yang dimilikinya untuk kebaikan peserta didik. Oleh karena itu semua guru dihadapkan pada berbagai macam masalah. Masalah siswa dalam kelas, masalah keluarga, masalah ekonomi, masalah profesionalisme dan sebagainya. Guru sebagai profesi adalah panggilan hati karenanya guru mempunyai kebebasan pedagogis.
Dalam perjalanan karir seorang guru khususnya di negeri ini pernah mengalami masa kelam di mana kekuasaan dan birokrasi menggerogoti kebebasan pedagogisnya. Guru semata-mata hanya menjadi instrumen birokrasi. Kegiatan yang terjadi di sekolah bukan kegiatan pedagogis melainkan kegiatan birokratis untuk melakasanakan instruksi sehingga kegiatannya mengalami involusi.
Guru dalam mengajar sering menghadapi situasi ynag sulit dalam menerima pesan yang berbeda dan kontradiksi, baik dari guru yang sudah lama mengajar maupun guru yang baru terjun ke lapangan pedagogis. Guru akhrinya bingung, takut, tertekan dan merasa bersalah karena gagal mengantarkan peserta didik menjadi subyek belajar sehingga kebebasan mendidik guru berakhir sia-sia.
Kebebasan Mendidik
Guru adalah seorang cendekiawan karena di tengah maraknya kelompok cendekiawan yang begitu kental guru tetap bertahan pada profesinya untuk memperjuangkan kemerdekaan masyarakat dari kebodohan, ketidakadilan dan kemiskinan. Guru sebagai cendekiawan meminjam istilah Antonio Gramsci merupakan tipologi keempat cendekiawan universal yang memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya yang memperjuangkan kemanusiaan serta dihormatinya harkat manusia (Ron Eyerman, 1996).
Guru adalah seorang cendekiawan karena di tengah maraknya kelompok cendekiawan yang begitu kental guru tetap bertahan pada profesinya untuk memperjuangkan kemerdekaan masyarakat dari kebodohan, ketidakadilan dan kemiskinan. Guru sebagai cendekiawan meminjam istilah Antonio Gramsci merupakan tipologi keempat cendekiawan universal yang memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya yang memperjuangkan kemanusiaan serta dihormatinya harkat manusia (Ron Eyerman, 1996).
Guru diharapkan sebagai ujung tombak yang siap membimbing perkembangan murid agar berkualitas. Untuk mencapai kebebasan pedagogis guru menurut Buchori (2001) maka yang mutlak harus kita lakukan ialah mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan yang dirampas oleh birokrasi kepada sekolah dan guru. Termasuk di dalamnya hak untuk mengevaluasi perkembangan muridya secara komprehensif.
Kebebasan mendidik menurut Buchori ialah kebebasan untuk turut menetapkan apa yang akan diajarkan dan bagaimana cara terbaik baginya untuk mengajarkan apa yang telah turut ditetapkannya tadi. Birokrasi bukan mesin serba tahu yang berhak menilai dan menentukan sekolah dan murid melainkan gurulah sebagai pembuat keputusan dengan keakraban dan wibawanya (gezag) dalam lingkungan pendidikan.
Dalam kebebasan mendidik guru memiliki tiga fungsi pengajaran yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Di sinilah model guru sebagai pembuat keputusan terlihat karena kebebasan mendidik ada di tangan guru. Guru tidak menekankan hasil belajar tetapi proses belajar. Karena guru menjauhkan praktik hegemoni terhadap murid dan dalam proses belajar murid berperan sebagai subyek belajar yang mandiri dan kreatif.
Kebebasan mendidik juga bermakna kekuasaan guru bukan satu-satunya hal yang substantif sebab Zigmunt Bauman mengatakan kekuasaan sebagai sesuatu yang anathema yakni sesuatu yang dikutuk bagi praktek cendekiawan. Oleh sebab kekuasaan kelihatannya membatasi apa yang dipandang sangat esensial yakni kebebasan untuk kreativitas dan berpikir (Ron Eyerman, 1996). Begitu juga dengan guru sebagai cendekiawan yang tugasnya berupaya untuk kreatif dan berpkir progresif dalam mengajar.
Kebebasan mendidik menurut Paulo Freire berbeda dengan pendidikan pasif sebagaimana dipraktikan pendidikan yang menjauhkan sikap humanis yang melanggengkan sistem relasi “penindasan” yang disebutnya dengan pendidikan “gaya bank” di mana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara murid dijejali informasi untuk disimpan.
Kebebasan mendidik bagi guru sejati tidak menggunakan prinsip gaya bank. Prinsip yang digunakan justru mendorong dialog guru dan murid, serta suatu proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka memecahkan masalah. Tugas guru selain mentransmisi pengetahuan kepada murid yang menekankan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik juga memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan.
Menuju Fase Profesional
Setelah mengembalikan kebebasan pedagogis kepada guru ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kebebasan mendidik terutama tentang beberapa fase dalam mengajar yang dijalani oleh serorang guru. Adalah Fuller dalam (Djiwandono, 2006) yang membagi guru dalam tiga fase. Fase pertama sebagai fase survive, fase kedua yaitu guru memperhatikan situasi, dan fase ketiga memperhatikan siswa.
Setelah mengembalikan kebebasan pedagogis kepada guru ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kebebasan mendidik terutama tentang beberapa fase dalam mengajar yang dijalani oleh serorang guru. Adalah Fuller dalam (Djiwandono, 2006) yang membagi guru dalam tiga fase. Fase pertama sebagai fase survive, fase kedua yaitu guru memperhatikan situasi, dan fase ketiga memperhatikan siswa.
Menurut Fuller fase survive sebagai fase pertama guru ditandai dengan kecemasan, dan ketakutan karena guru dianggap orang yang paling pandai mengajar. Pada tahap inilah sikap guru dapat dilihat pertama kali apakah otoriter atau dialogis karena guru tidak sekadar beradaptasi tapi berintegrasi dan berinteraksi dengan peserta didik.
Masuk pada tahap kedua di mana guru harus memperhatikan situasi baik di dalam ruang kelas dan di luar ruang kelas. Guru akan terlihat frustrasi karena keterbatasan kemampuan dalam menguasai bahan ajar yang akan disampaikan kepada murid. Guru dalam proses ini harus bertarung melawan keterbatasan waktu, tenaga, dan sumber-sumber belajar dalam berbagai situasi pengajaran.
Sedangkan pada tahap terakhir ini menurut Fuller merupakan tahap yang sangat berat. Karena guru harus memperhatikan siswa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebutuhan siswa yang beragam antara satu dengan yang lainnya. Misalnya kebutuhan soaial dan emosional anak pada tingkat perkembangan yang berbeda dan menyadari materi yang tidak tepat untuk murid tertentu.
Pada fase terakhir inilah menurut penemuan Fuller bahwa beberapa guru tidak dapat memenuhi kebutuhan individu siswa. Menurut Djiwandono (2006) yang mengutip Cruckshank dan Cllahan percaya bahwa beberapa guru tidak pernah sampai pada tahap ketiga karena mereka meninggalkan pengetahuan psikologi atau berjuang dalam tahun-tahun tahap kedua, yaitu sibuk dengan diri mereka sendiri dan dengan apa yang mereka ajarkan.
Dengan demikian kaitannya dengan kebebasan pedagogis guru tiga tahap ini harus tidak harus dilalui untuk melihat sejauh mana profesionalisme seorang guru dapat menjadi tolok ukur. Sebagaimana diketahui profesionalisme yang diburu para guru berupa selembar kertas sertifikasi sekarang ini tidak lain bentuk dari pengejawantahan yang ditawarkan Fuller dalam tugasnya mengajar apa dan siapa.
Kita semua berharap di era otonomi pendidikan ini para pemangku kepentingan mengembalikan kebebasan pedagogis kepada guru. Di tangan gurulah proses seni mengajar dapat diwujudkan sehingga reliabilitas guru di mata masyarakat tidak pernah hilang ditelan waktu. Keterbatasan informasi, buku ajar, dan kurikulum merupakan perangkat seni mengajar yang mendukung jika guru ingin tetap bertahan jika mengajar benar-benar merupakan panggilan hati.
Kebebasan mendidik adalah falsafah dasar bagi guru yang ingin mewujudkan kebebasan pedagogisnya untuk kemajuan masyarakat dan peradaban suatu bangsa. Untuk itulah kepada guru kami serahkan waktu luang anak-anak kami kepadamu agar tidak hanya menjadi generasi yang pintar tapi cerdas secara emosional dan spritual.
Penulis adalah Alumnus Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Tinggal di Bogor.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?