Lubang Hitam Pendidikan

Oleh : Nazhori Author



Terbongkarnya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih menyisakan tanda tanya di hati masyarakat yaitu seberapa besar asa bagi bangsa ini untuk hidup makmur dan sejahtera. Selebihnya, kekuatan seperti apa yang harus dipertahankan pemerintah saat masyarakat hidupnya semakin terpuruk setelah energinya terkuras untuk mempertahankan hidup.
Ketimpangan sosial muncul dengan banyak wajah berupa tindakan kekerasan. Klimaks dari kondisi moral seperti itu menunjukkan sabda kritis Nietzsche yang menegasikan Tuhan bahwa Tuhan telah mati. Atau lebih ringkasnya merupakan tragedi yang menimpa sistem lembaga pendidikan dalam mencetak manusia yang bermartabat. Berdasarkan semua itu, akhirnya memacu Everett Reimer untuk berteriak lantang: schoo is dead.
Citarasa kehidupan macam apa lagi yang resepnya dapat dijadikan sebagai motivasi untuk hidup bersama dan berdampingan jika nilai-nilai dan doktrin keagamaan yang notabene di dalamnya mengandung referensi pedagogis agar hidup lebih bermakna tapi lepas dari genggaman dan menyuguhkan realitas hidup yang palsu.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ungkapan “school is dead” dari Reimer patut disebut dan ditimbang berkenaan dengan persoalan di atas terkait dengan pendidikan dalam pengertiannnya yang lebih luas khususnya dalam realitas masyarakat yang diam dan menerima segala apa yang diberikan padanya. Sementara sekolah (dibaca: pendidikan) menurut Roem Topatimasang (1999) yang dalam bahasa aslinya skhole, scola, scolae, atau schola (Latin) berarti “waktu luang” atau “waktu senggang” mendapat tantangan yang luar biasa dari globalisasi.
Lubang Hitam
Membiarkan pendidikan mati sebagaimana dikemukakan Reimer sama saja memuluskan jalan bangsa ini ke lubang hitam. Pendidikan adalah energi sosial yang berperan mempertahankan sebuah bangsa dari keterpurukan menuju peradaban yang dinamis. Meski pada saat yang sama energi sosial itu dirasakan belum mampu mendistribusikan kekuatannya terhadap modal sosial dan modal budaya dalam kehidupan masyarakat.
Sejauh itu pula sebenarnya kita berada dalam kesadaran yang telah menjadi samar-samar. Eksistensi manusia dan kemanusiannya lambat laun menuju seperti apa yang dikatakan Karl Mark sebagai manusia yang berpikir dan bertindak secara sadar tapi dalam kubangan lumpur materialisme. Semakin rasional manusia berpikir makin irasional juga manusia bertindak.
Lantas bagaimana dengan fungsi pendidikan. Padahal dalam ranah sosial pendidikan dituntut mencari alat pembacaan sosial untuk menghidupkan kembali kesadaran kemanusiaan yang sirna terhadap pengetahuan dan kekuasaan yang intim berinteraksi. Inilah yang dikhawatirkan Reimer jika fungsi pendidikan mati. Karenanya pendidikan memberikan kesempatan kepada manusia untuk meniti kehidupan dan mengikis derita dan takdir sosial yang melumpuhkannya.
Mengikuti alur pemikiran tersebut, maka lubang hitam pendidikan dalam pengertian di sini adalah posisi pendidikan yang berada di sekitar kumpulan masyarakat yang diam. Yaitu merujuk pada analogi Baudrillard tentang lubang hitam (black hole) di mana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral, nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
Dengan kata lain, informasi merupakan pengetahuan yang disampaikan kepada masyarakat yang diam, pada akhirnya justru tidak lagi berfungsi sebagai bekal pengetahuan. Nilai-nilai pengetahuan memudar, menimbulkan keterasingan sosial dan cuma menghasilkan masyarakat yang pasif. Segala sesuatu direduksi, dimanipulasi, distimulasi demi kenyamanan dan ketenangan hidup ketimbang fakta yang sesungguhnya terjadi.
Salah satu contohnya tentang kebijakan energi dari minyak tanah ke elpiji. Meski disosialisasikan dengan jalan demokratis faktanya ketika elpiji digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dalam hitungan yang cepat elpiji sulit didapat. Jika tersedia pun dibeli dengan harga yang mahal. Kecenderungan kebijakan yang menyedihkan ini sekarang adalah berdampak pada proses kelangsungan hidup yang dirasakan masyarakat semakin sulit.
Terkait dengan masalah ini berkenaan dengan kerancuan makna perkembangan dan kemajuan dengan pertumbuhan. Khususnya dalam persoalan pengangguran dan kemiskinan yang pada hakikatnya merupakan dampak dari lemahnya akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan agar memiliki kemampuan dan keahlian.
Pengetahuan masyarakat tentang makna pertumbuhan (pengangguran dan kemiskinan) saat ini baru pada tahap gambaran representasinya sedangkan kenyataan sosialnya luka kesenjangan terus menganga. Dalam artian menyusutnya angka pengangguran selama ini lebih dikarenakan pada terserapnya tenaga kerja yang memang tidak produktif. Sementara pengangguran intelektual jumlahnya membengkak karena hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja di samping out put.pendidikan yang tidak memenuhi standar perusahaan.
Wajar jika menurunnya angka pengangguran dan kemiskinan digembar-gemborkan Karena kenyatan sosial yang lain (intertekstualitas) tidak pernah bisa dimengerti oleh masyarakat yang diam. Tegasnya, pertumbuhan pengangguran intelektual sekarang tidak lain adalah kaum miskin baru (new mustad’afin) yang lemah secara sosial dan politik. Hal ini sungguh tantangan berat bagi pendidikan untuk menutup lubang hitam tersebut.
Pendidikan Antisipatoris
Paparan ini sesungguhnya menyiratkan relasi pedagogis antara masyarakat dan kenyataan sosial. Sehingga diharapkan dapat menghidupkan sumber belajar masyarakat dengan pendekatan kontekstual. Sehingga peran pendidikan dalam wacana masyarakat belajar (learning society) mampu mengolah tiga ranah kepribadian manusia yaitu cipta, rasa dan karsa.
Pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia secara sosial dan politik menurut Moeslim Abdurrahman (2005) berfungsi mengembangkan anak didik agar sesuai dengan tuntutan sosial yang diharapkan oleh keluarga, masyarakat dan lapangan kerjanya. Sementara di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan sebagai ruang publik juga berfungsi ikut melakukan pendidikan politik yang menanamkan tanggung jawab sebagai pelaku sejarah untuk menegakkan masyarakat muttaqin, yang adil dan demokratis.
Intinya pendidikan bertugas menggerakkan tiga ranah kepribadian tersebut untuk mengembalikan manusia kepada fitrah suci yang sesungguhnya dalam ciri khas pedagogisnya. Dengan demikian, relevansinya terhadap masyarakat yang pasif di tengah persoalan yang melilit bangsa ini gagasan pendidikan antisipatorisnya Mochtar Buchori patut mendapat perhatian.
Alasannya sangat kuat. Dalam pandangan Mochtar Buchori (2001) setiap pendidikan bersifat antisipatoris, karena setiap pendidikan mempersiapkan peserta didik untuk mengarungi kehidupan di masa depan. Masa depan ini dapat berarti satu tahun yang akan datang, dan dapat pula berarti tiga sampai lima puluh tahun yang akan datang. Kata Buchori, untuk mengingatkan masyarakat, bahwa dalam menyelenggarakan layanan pendidikan kita hendaknya melihat jauh ke depan, memikirkan apa yang akan dihadapi oleh anak dan cuc kita di masa depan.
Sebagaimana cita-cita pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Gagasan pendidikan antisipatoris sejatinya dalam rencana strategis saat ini menjadi agenda ke depan dalam proyek kemanusiaan bangsa ini. Seharusnya juga dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat yang bekerja di luar arena pendidikan yang tidak memiliki “waktu luang” atau “waktu senggang”. Wallohu’alam



Posting Komentar

0 Komentar