November 15, 2009

Menegosiasikan Makna Pemuda

Oleh: Nazhori Author



Dilema yang kini sedang membebani kita semua adalah kenyataan bahwa pemuda menghadapi banyak tantangan, seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan dan kekerasan, hingga bahaya narkotika. Sampai saat ini dilema itu terus menghantui mereka bahkan ke arah yang lebih ekstrim misalnya terjeremus gerakan jihad sesat ala teroris yang mengundang risiko.

Andaikan pemuda bisa memilih untuk melihat kenyataan dan keadaan bangsa sekarang ini, mungkin pilihannya tidak ingin berada dalam kondisi yang miskin dan tidak bekerja. Mereka tentu saja juga ingin menikmati indahnya bangku pendidikan tinggi sebagaimana pemuda lainnya. Dapat meningkatkan kualitas diri baik jasmani dan rohani.

Namun, kenyataan berkata lain. Dalam kegalauan menghadapi jaman yang terus berubah antara kemauan dan kesempatan sering tidak sejalan. Rendahnya pendapatan keluarga dan sempitnya lapangan kerja adalah tantangan yang sangat melelahkan. Inflasi ijazah terus meroket setiap tahun sementara jawatan belum memberikan kesempatan emas terhadap kualifikasi yang diharapkan.

Sebaliknya biaya pendidikan terus membumbung tinggi, tenggelam dalam arus industri dan globalisasi. Globalisasi sekarang tidak bekerja bagi kepentingan banyak kaum miskin di dunia. Juga tidak bekerja banyak untuk kepentingan lingkungan. Demikian refleksi Buya Syafii Maarif (2005) yang berusaha menerobos kemelut patut dicermati.

Representasi Pemuda
Pada bulan, Agustus kemarin seluruh pemuda di dunia memperingati hari Pemuda Internasional. Bahkan UNESCO meminta pemerintah dan semua pihak untuk bisa memberikan perhatian terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi pemuda saat ini. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan, penting untuk merangkul dan mempersiapkan pemuda bagi kesinambungan dunia. Para pemuda itu juga perlu diajak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Kompas, 12/8/2009).

Bercermin pada hari Pemuda Internasional ini, dua hal yang menjadi kendala pokok pada pemuda kita adalah tingginya biaya pendidikan, termasuk di dalamnya ketersediaan lapangan kerja. Kedua, lemahnya akses bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan.

Pendidikan adalah fondasi utama mengembangkan kecakapan intelektual, spiritual, dan emosional pemuda. Mengapa akses untuk mendapatkannya terasa sulit. Padahal, pemerintah berupaya mengedepankan agenda membudayakan pendidikan dan semangat belajar di setiap sektor kehidupan. Setiap tahun energi segar pemuda dihasilkan dari lembaga pendidikan, akhirnya pengangguran intelektual tidak terbendung tanpa askes untuk mengambil keputusan bagaimana cara keluar dari lingkaran yang melumpuhkan itu.

Informasi tentang representasi kaum muda juga bisa dibaca dari statistik pemuda yang dikeluarkan BPS. Dari segi jumlah, pemuda atau penduduk berumur 15--35 tahun merupakan golongan mayoritas yakni sekitar 81 juta jiwa, lebih besar dari penduduk golongan usia tua dan anak-anak. Namun, jika dilihat dari kualitas sumber daya manusianya wajah pemuda Indonesia tampak menyedihkan. Hanya sepertiga (27 juta jiwa) dari jumlah pemuda itu yang berpendidikan tinggi. Sebagian lainnya hanya berpendidikan menengah, tamatan SD bahkan tidak tamat SD dan buta huruf.

Sebuah kontradiksi yang menyelimuti semangat sumpah pemuda. Dahulu representasi sumpah pemuda terbentuk dari tekanan penjajah dan fakta sosial yang membangkitkan kesadaran kolektif pemuda dalam satu bahasa dan satu bangsa. Kini tekanan globalisasi belum dapat menggugah kesadaran kolektif pemuda dalam dunia yang semakin kecil. Representasi pemuda adalah proses sosial yang panjang di mana reproduksi maknanya tidak hanya diproduksi oleh bahasa tapi oleh sejarah.

Foucault pernah menyatakan manusia hanyalah produk dari sejarah. Pemuda adalah manusia, oleh karena itu pemuda hanyalah produk dari sejarah. Lantas apakah representasi pemuda harus berhenti dari sejarah masa lalu. Sedangkan jaman terus berjalan dan pemuda berada dalam proses peralihan sosial budaya yang sangat cepat.

Dalam representasinya pemuda seringkali diidentikan dengan sosok manusia yang semangat, pemberani, kreatif, dan siap menghadapi tantangan. Bahkan dalam kultur industri yang modern sosok pemuda dengan mudah digambarkan oleh produk-produk iklan yang berusaha mengundang daya tarik pemuda itu sendiri untuk membeli produk tersebut.

Pemuda bukan sekadar icon melainkan maknanya sudah melesat jauh sebagai suatu permainan tanda-tanda. Bisa saja orang mengatakan runtuhnya suatu bangsa ditandai oleh jauhnya pemuda dari agama dan rusaknya moral generasi muda. Di sisi lain, tandanya akan berbeda bagi dunia industri yang pasarnya kaum muda. Pemuda tangguh adalah pemuda yang berani menerima tantangan.

Melihat globalisasi dalam pandangan Pieterse (1995) tidak lain adalah sebuah tempat yang luas bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah.

Membaca pemuda lewat kacamata Pieterse di tengah globalisasi sangat relevan mengingat konstruksi dan representasi pemuda terjadi dalam silang pertemuan budaya yang ditunjang teknologi informasi. Sehingga sejauh mana kita dapat menegosiasikan makna pemuda dalam momentum sumpah pemuda dan di era kepemimpinan baru bangsa ini dalam hal memberdayakan pemuda.

Menegosiasikan Makna
Dalam sebuah kata-kata hikmah dikatakan bahwa pemuda hari ini adalah pemuda hari esok. Kalimat ini sesungguhnya ingin menampilkan wajah pemuda yang siap menghadapi tantangan jaman. Secara historis telah dilukiskan oleh Indonesia tentang sejarah pergerakan nasional yang dipelopori oleh pemuda dengan semangat kebangsaan.

Sumpah pemuda adalah pesan pedagogis bagi para pemuda saat ini dan akan datang. Artinya kesadaran kolektif pemuda merupakan jalan untuk beraksi bahwa peran dan tanggungjawab pemuda suatu keniscayaan. Yang paling dasar untuk membangun ideologi gerakan bahwa ketimpangan dalam bentuk apapun merupakan ancaman kemanusiaan.

Oleh karena itu, upaya menegosiasikan makna pemuda sesuai dengan konteks aktualnya saat ini adalah sebuah langkah yang tegas untuk menguatkan kembali identitas gerakan pemuda. Gambarannya sudah tercipta melalui organisasi-organisasi gerakan pemuda dan mahasiswa sebelumnya. Jadi denyut nadi semangat pemuda harus segera dibangkitkan. Terkait dengan persoalan politik yang terus bergulir sejatinya peran strategis pemuda sebagai kontrol sosial jangan sampai punah mengingat strategi gerakan akan terus berubah seiring dengan perubahan peta politik.

Tentu saja ini adalah sebuah risiko dan ongkos demokrasi yang mahal. Hal ini harus menyertai setiap gerakan yang ingin perbaikan, apalagi perbaikan itu menyangkut masalah besar bangsa, yang kini masih sulit sekali memetakan hari depannya (A.Syafii Maarif, 2005). Kita berharap agar gerakan pemuda dapat menemukan maknanya yang sejati yang diraih dengan cara pedagogis dan kultural sehingga dapat menegosiasikan maknanya sesuai dengan konteks jaman.

Tatanan masyarakat bangsa kita yang sebagian besar penduduknya pemuda memang aset bangsa yang tidak tergantikan. Di pundak pemuda ini pula makna alternatif pemuda tetap dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan reformasi. Maka momentum Sumpah Pemuda adalah sarana cergas menegosiasikan tafsir makna pemuda yang seharusnya membumi dan membentang luas melewati sekat-sekat yang menutup kemajuan bangsa yang mandiri.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?