February 15, 2012





Guru dalam Lingkaran Krisis Persepsi Pedagogis




Rawan pungutan di tingkat sekolah dasar menyisakan pukulan telak bagi pemerintah saat memberlakukan uji kompetensi bagi tenaga edukatif. Celah itu justru terdapat dalam petunjuk teknis (juknis) 2012. Meski dalam Permendikbud No. 60/2011 telah dilarang bagi jenjang pendidikan dasar melakukan pungutan, namun celah pungutan masih ditemukan pada juknis penggunaan dana BOS 2012 (Koran Jakarta, 30/01/2012). Sebuah kontradiksi manakala kompetensi pedagogis guru dibuktikan untuk mengukur kualitas kemampuan guru sementara di level institusi terjadi praktik komersialisasi pendidikan yang sangat menganggu sistem pembelajaran di sekolah.

Tanpa harus terpengaruh soal komersialisasi pendidikan, guru sebagai agen pembelajaran diharapkan memuliakan profesinya dengan kebulatan tekad yang dilandasi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang terpancar dalam aktivitas kreatif. Cerdas, penuh tanggung jawab saat melaksanakan tugas pokoknya sesuai dengan pilihan profesi berdasarkan kualifikasi akademik yang diraihnya.

Sampai hari ini kita tahu, kerisauan melanda pendidikan tentang kompetensi yang melekat tepat di jatidiri guru. Kemendikbud bersikeras bahwa uji kompetensi adalah syarat mutlak guru untuk melakukan sertifikasi (Republika, 13/01/2012). Syawal Gultom selaku Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, mengatakan tanpa adanya uji kompetensi maka tidak ada parameter seorang guru menguasai materi dan menguasai metodologi pembelajaran. Uji kompetensi adalah hakekat sertifikasi.

Beberapa kalangan insan pendidikan ada yang mengkritisi UU uji kompetensi itu karena praktiknya dinilai tak seirama dengan persiapan pemerintah yang minim anggaran. Komitmen pemerintah meningkatkan kualitas guru sejak awal sudah menuai persoalan, ini tercermin dari penyaringan guru yang jauh mengindahkan guru berkualitas yang terbentur masa bhakti padahal terdapat guru tidak tetap yang memiliki peran sama dalam tugas mengajar.

Lantas, bagaimana pandangan pedagogis mengurai persoalan uji kompetensi dan sertifikasi yang keduanya memiliki hakikat memproyeksikan gagasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sementara politik pendidikan pemerintah masih menyisakan persoalan tatkala nasib guru tak mampu lagi dipotret laksana gambaran objek yang diperkecil dalam peta kesadasaran politik kebijakan sebuah negara.

Krisis Persepsi
Kekecewaan mulai membahana, mengapa krisis multidimensi yang menimpa negeri ini semakin menumpuk tak kunjung usai. Konon, krisis yang paling besar diantaranya adalah krisis kepemimpinan dan moral. Henderson (dalam F. Capra: 2002) menegaskan, kendati krisis sudah terjadi di masa silam, apakah kita menyebut krisis-krisis itu multidimensi. Kita harus mengakui betapa dalamnya semua itu berakar dalam krisis yang lebih besar dari persepsi-persepsi kita yang tidak memadai dan sempit atas realitas.

Tesis Henderson pada intinya masalah utama zaman kita sekarang adalah sisi yang berbeda dari satu krisis yang sama, dan krisis ini pada pokoknya krisis persepsi. Sistem ekonomi dan teknologi yang berbaju modernitas bukanlah sains melainkan politik yang menyamar. Senarai dengan apa yang terjadi di Indonesia. Termasuk di dalamnya dunia pendidikan yang tidak lepas dari krisis persepsi.

Guru satu dari insan yang merasakan krisis persepsi di saat persepsi pedagogisnya tidak dapat menjawab tuntutan zaman. Keberadaan guru kembali dipertanyakan sejalan dengan misi suci pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi manusia. Sejatinya, pendidikan menyuguhkan estetika terhadap realitas kehidupan manusia, sehingga langgam kehidupan menjadi tertib, tentram dan damai.

Undang-undang sistem pendidikan nasional sudah sangat jelas mendefinisikan pendidikan lengkap dengan pijakan filosofis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun, kesulitan yang sama muncul dalam bentuk lain ketika guru harus merumuskan pendidikan sesuai dengan kompetensinya. Harapan guru pendidikan berhubungan secara harmonis dengan tatanan politik, budaya, ekonomi dan sosial. Sayangnya, pendidikan ditenggelamkan dalam hubungan organis secara politik dan ekonomi.

Akhirnya, dimensi intelektual guru terpecah dalam wadah pendidikan politik yang berbeda cara pandang bagaimana mendefinisikan kompetensi guru itu sendiri. Di lain sisi, hilangnya kewibaan guru (gezag) mengindikasikan lemahnya komitmen yang dibangun oleh stakeholder pendidikan juga hilangnya orientasi terhadap esensi dan tujuan pendidikan. Dalam kondisi begini, para wakil rakyat lebih mementingkan persepsi kalkulasi politik tinimbang bagaimana cara memperjuangkan anggaran pendidikan.

Ketika bilik kamar pendidikan menjadi gelap, percakapan kita sering terhenti beberapa lama. Dan kembali menyangsikan apa yang harus dilakukan untuk membenahi sistem pendidikan kita. Jawabannya lagi-lagi jatuh dalam lubang persepsi bahwa para pemimpin bangsa ini tidak akan pernah menalikan perbedaan persepsinya dalam ikatan yang kuat.

Di saat guru sudah berlayar dalam kapal layar yang sama. Tapi saat badai menghantam, sekoci bukan menjadi perahu penyelamat melainkan membawa kompetensi guru dalam gelombang laut yang mengarahkannnya ke bibir pantai “ideologi pendidikan” yang berbeda. Sistem politik dan ekonomi telah menghasilkan suatu pergeseran paradigma pendidikan nasional yang jauh dari cita-cita luhur.

Dua Persepsi
Membaca kompetensi pedagogis guru ibarat membuka peta pendidikan. Sebuah peta pendidikan yang akan membuka kesadaran manusia. Dalam perspektif mazhab pendidikan kritis, manusia sebagai homo educandum ditawarkan untuk merefleksikan hakikat pendidikan dan bagaimana membedakan pendidikan yang humanis dan kapitalis. Adalah dilematis merakit dua pandangan ini menjadi suatu konsep pendidikan yang bersifat antisipatoris.

Di samping bertolak belakang, pada keyataannya wacana ini masih aktual diperdebatkan. Keduanya mewarnai pendidikan demokratis yang mengedepankan hak-hak asasi manusia. Karena itu, dua cara pandang ini turut memengaruhi persepsi setiap individu dalam melihat hakikat pendidikan. Termasuk guru di dalamnya yang nasibnya bergantung pada sejauh mana ia memaknai ideologi pendidikan dalam mengembangkan kompetensi pedagogisnya.

Dalam proses pendidikan, kewibaan guru dihadapkan pada dua ideologi pendidikan yang amat menentukan jalannya transmisi pengetahuan kepada peserta didik. Apakah guru akan membawa peserta didik dalam lingkungan pendidikan yang secara bersama-sama memecahkan sebuah persoalan (problem solving) atau menuntun peserta didik dalam relasi pendidikan yang hegemonik-kapitalis.

Hubungan kompetensi guru dan ideologi pendidikan sebagai persepsi menjadi bagian penting. Tugas guru dalam pendidikan seyogianya mengaktualisasikan kemanusiaan secara ekstensif dan pada sisi yang lain peran guru mendidik dan melatih peserta didik belajar menghormati perbedaan serta membangkitkan spirit kemandirian. Dengan begitu, peta kesadaran guru dapat terlihat di titik mana posisi guru menentukan kompetensinya dalam skala perbandingan persepsi di zaman modern di antara dua idologi pendidikan tersebut.

Merujuk pada Henry Giroux (1997) guru ialah sosok intelektual transformatif. Sosok agen perubahan sejati yang mengembangkan segenap kompetensinya memberdayakan peserta didik dan masyarakat. Tidak terlena dalam manisnya gula materialisme yang mereduksi hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Kita semua berharap pemerintah mengerahkan kemampuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan keguruan agar guru di Indonesia menjadi berkualitas.

Selingan musik.
You Must Have Been Love By. Roxette

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?