January 15, 2012

Sains dan Pendidikan Anstipatoris


Pesona mobil Esemka sebagai hasil karya anak bangsa memberikan inspirasi bahwa teknologi dan pendidikan bersifat antisipatoris. Karena untuk mengarungi masa depan setiap generasi dihadapkan pada kemajuan sains yang berkembang dan berubah begitu cepat. Setidaknya kita dapat mengatakan bahwa sudah saatnya dunia pendidikan mempertajam nalar pedagogisnya untuk membaca tanda-tanda zaman.

Sebelum wafat, Mochtar Buchori dalam bukunya Pendidikan Antipatoris (2001) sudah berpesan bahwa untuk mengingatkan masyarakat, dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan, memikirkan apa yang akan dihadapi anak cucu di masa depan. Antisipasi sejauh ini sangat penting mengingat bahwa dalam zaman modern ini perubahan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik terjadi dengan sangat cepat.

Pesan pedagogis di atas, melandasi kehadiran mobil nasional Esemka yang disambut dengan cara pandang masyarakat yang beragam semakin menempatkan posisi negara lambat dalam merespon bangkitnya produk tanah air. Ini bukan berarti merisaukan hilangnya political will pemerintah, namun keyakinan itu begitu cepat datang saat kebangkitan pendidikan dan sains tidak mendapatkan ruang dalam politik yang tersandera jalur zig-zag politik sophistry. Akhirnya, politik antisipatoris pemerintah tidak dapat berdialektika dengan pendidikan antisipatoris yang melihat jauh kedepan di mana sains dan spiritualitas akan bertemu.

Bersahabat dengan Perubahan
Akselerasi ilmu pengetahuan telah begitu banyak menyumbang perubahan dan setiap kali menyita perhatian banyak orang. Salah satunya Indonesia yang menjadi target pasar yang potensial. Indonesia ibarat toko serba ada yang menawarkan berbagai macam produk teknologi. Kondisi ini terlihat jelas dari ekspetasi perusahaan-perusahan yang agresif mengejar pertumbuhan usahanya.

Dalam hubungan ini, negara berperan penting menyikapi perubahan yang di dalamnya demokrasi sebagai suatu alternatif meletakkan jalan hidup (ways of life) yang meliputi pendidikan dapat menyelesaikan persoalan perbedaan dalam melihat indonesia di masa depan secara damai dan rasional. Politik akomodasi yang dilayangkan pemerintahan saat ini setidaknya mampu menjembatani perbedaan kepentingan stakeholders untuk memfasilitasi bagaimana cara melihat Indonesia di kancah teknologi informasi yang mendunia.

Menyatunya sistem politik dan ekonomi membawa angin segar bagi ilmu pengetahuan dalam menampilkan kejaiban teknologi modern. Di saat yang sama sains menyaksikan krisis yang dialami dunia modern. Manusia millennium kehilangan dimensi spiritual dan dimensi manusiawinya. Ketika teknologi membekali manusia dengan ragam makna sebagai ukuran segalanya, perlahan-lahan fitrah manusia turut memudar dalam partisi yang sempit tanpa mampu membuka potensi kognitifnya.

Dilematis memang berada dalam rimba globalisasi. Apalagi lari dari kenyataan sebagai strategi keterampilan fisik orang-orang yang takut bersahabat dengan perubahan. Siapa pun mafhum bahwa masyarakat adalah kata magis ketika sains berpetualang dalam postmodernisme. Ungkap Huston Smith (2003), ini bukan hal yang mengejutkan, dengan kepercayaan bahwa tidak ada yang mengatasi dunia kita sekarang, yang tersisa hanyalah alam dan masyarakat, dan diantara keduanya alam sudah menjadi ranah para spesialis.

Sumber daya alam Indonesia bisa dijadikan contoh betapa kekuatan negara menjadi lemah, jalan kesejahteraan diambil alih kapitalisme yang ditopang politik dan ekonomi. Karena itu, ketidakadilan sosial yang menimpa masyarakat lokal tak ubahnya masalah sosial yang diadvokasi konsep kebenaran di tengah permainan kekuasaaan. Kesetaraan sebagai konsep demokrasi modern berupaya meminimalisir risiko globalisasi yang mengorbankan orang banyak dalam negara berkembang.

Kekuatan kapitalisme yang ditopang saintisme di luar sana memang terlihat oleng. Namun, pembacaan Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir (Tempo, 30 Oktober 2011) belum ada tanda bahwa kapitalisme ini akan jadi roboh. Menurutnya, ia masih bisa menyedot apa saja dan membuat lupa. Artinya, masyarakat di negara berkembang akan terus berkomunikasi dengan produk ilmu pengetahuan sebagai sebab final demi tujuan yang ingin dicapai.

Tidak ada jalan yang ideal, selain ikhtiar untuk memilih pilihan alternatif yaitu bersahabat dengan perubahan itu sendiri. Tentunya, bersahabat dengan perubahan yang didasari kesadaran pedagogis-antisipatoris. Yaitu sebuah proses reformasi dan transformasi sikap berpikir dan bertindak yang berbasis keinginan serta tekad kuat untuk mendesign jati diri kultural.

Ini tantangan pendidikan yang amat berat. Diperlukan elemen masyarakat yang mau menyadari adanya kaitan yang dekat antara pendidikan, sains dan spiritualitas. Sejauh mata memandang, peran negara (political will) sangat dibutuhkan, justeru itu merupakan bagian partikular yang harus segera dijawab dalam persoalan umum yang dihadapi negara saat ini jika masih mendambakan pentingnya pendidikan karakter.

Konteksualisasi Pendidikan Antisipatoris
Mobil nasional Esemka adalah eksperimentasi sains yang lahir dari dunia pendidikan dewasa ini. Dari upaya tersebut dapat diketahui pendidikan dan sains membuka celah bagi dispilin ilmu lain untuk mengeksplorasi gagasan pendidikan nasional yang bertumpu pada sains dan teknologi. Di sini, tidak ada yang dapat mencegah daya dorong sains dan teknologi di ranah pendidikan.

Dalam dunia modern, pendidikan dan sains dituntut untuk mengembangkan sisi praksis pedagogis. Namun, sejak sains dan teknologi akrab menemani evolusi pendidikan sejak saat itu pula pendidikan gagap mengikuti perubahannya. Banyak faktor yang memengaruhi hal itu di samping tenaga pendidik dan tenaga profesional yang belum memadai, faktor kebijakan politik sebuah negara dalam mengaplikasikan pendidikan yang berkualitas turut berperan di dalamnya

Kendati terdapat lembaga pendidikan yang bertaraf unggulan, internasional dan terpadu ikhtiar menyinergikan sains dan teknologi dalam matra pendidikan belum menemukan formula yang terang. Banyak kalangan menilai ketaksanggupan itu adalah buah dari dinamika globalisasi yang mereduksi makna pendidikan menjadi komoditas atau industri yang menarik. Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan ikut melengkapi kegagalan integrasi ilmu dalam pendidikan.

Dalam konteks ini, pendidikan di Indonesia perlu berkaca pada gagasan pendidikan antipatoris. Karena yang dibutuhkan pendidikan nasional bukan sebatas reformasi pendidikan dan birokrasi melainkan juga transformasi yang memperkuat capacity building. Mochtar Buchori (2001) berpendapat memikirkan pendidikan dewasa ini berarti memikirkan pendidikan antisipatoris. Yakni, penyelenggaraan pelayanan pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan, memikirkan apa yang akan dihadapi oeh anak-cucu kita.

Terkait dengan sains dan teknologi pandangan Mulyadhi Kartanegara dalam Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (2005) layak diapresiasi tentang gagasan integrasi ilmu dalam konteks kemampuan belajar (learning capability) dan metodologi sehingga peserta didik tidak tuna teknologi. Dan, untuk menutup tulisan ini menurutnya tawaran Ziauddin Sardar akan pentingnya integrasi pengalaman manusia seperti inderawi, intelektual dan intuisi pantas direfleksikan kembali. Tidak menutup kemungkinan bangsa ini juga mau belajar dari pengalaman masa lalu dan bangsa lain yang berani mengambil risiko untuk kemajuan pendidikannya.

Frozen
By Madonna

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?