Selepas
salat Ashar, di masjid al-Biruni Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ), tidak jauh dari RSIJ Cempaka Putih, seorang lelaki bercelana
pendek, berkaos putih lengan pendek menyeduh kopi. Asap proses kimiawi 1 sachet kopi yang bercampur air panas
membumbung ke atas. Mataku seperti tertarik medan magnet untuk menghampiri
lelaki bersepeda tua warna biru yang cat-nya sudah mulai memudar.
Lelaki
itu mengulum senyum, sambil menawarkan kopi kepadaku yang duduk di atas meja
kayu beralas kerdus. Secangkir kopi panas telah diterima seorang mahasiswa yang
baru saja memesannya. Aku pun memesan 1 cangkir kopi hitam. Tak begitu lama,
kopi panas beraroma menyengat sudah siap dihidangkan di atas meja. Lumayan ada
sedikit jeda untuk menyegarkan badan yang sedikit letih sambil menunggu
dimulainya acara Aksi Bersama Untuk Sesama yang digelar mahasiswa Teknik UMJ
untuk solidaritas Rohingya.
Sebelum
kopi surut, ada suatu yang menarik saat aku melihat 3 termos berwarna merah, hijau
dan biru muda. Di samping termos itu ada wadah tempat gorengan yang isinya
sudah tak bersisa disamping termos es. Selain itu, di keranjang depan sepeda
ada banyak rencengan kopi sachet aneka
rasa dan minuman soft drink
bergelantungan. Hmmmmm, ide cerdas penggagas kopi keliling yang luar biasa,
pikirku. Hanya orang kreatif yang bisa menangkap peluang rejeki di kota
Jakarta.
Lalu,
penjual kopi keliling itu berkisah. Sudah lima bulan dia berjualan kopi
keliling di bilangan Cempaka Putih. Selain itu sasaran keramaian menjadi
pilihan tepat untuk mangkal, katanya. Sebut saja Ujang (37), lelaki asal
Sumedang ini rela meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan Toko Elektronik di
kawasan Senen. Bukan waktu yang singkat, 7 tahun sudah dia menafkahi isteri dan
kedua anaknya. Segala rupa merek barang elektronik masih tersimpan di
memorinya.
Ujang
mengaku, pemilik toko elektronik masih mengharapkan dia kembali bekerja di toko
miliknya. Namun, Ujang belum memutuskan untuk kembali ke tempat kerja asalnya. “Ada
alas an kuat Mas,” cerita Ujang kepadaku. Apa alasannya Kang? Tanyaku kembali
bertanya. Pertama, Ujang mendapat banyak waktu senggang untuk berkumpul bersama
keluarga. Kedua, bagi Ujang, jual kopi keliling memiliki daya tarik tersendiri
sejak lima bulan terakhir ini, katanya.
Ujang
tidak sendiri. Masih ada penjual kopi keliling lain yang berputar-putar mencari
tempat yang strategis. Ujang mengaku, waktu bekerjanya hanya 7 sampai 8 jam
sehari. Mulai dari Pukul 10.00 wib sampai pukul 17.00 wib. Selebihnya terserah
Ujang, mau kembali pulang atau melanjutkan berkeliling, jelasnya.
Sepeda
dan peralatan lengkap yang dibawanya tidak milik sendiri. Ada bos yang
mengkoordinir, tambahnya. Ujang salah satu penjual kopi keliling yang berjumlah
150 orang di kawasan Senen, Cempaka Putih dan sekitarnya. Ujang bercerita,
selain bos tempat ia menjual kopi kelilingnya, ada bos lain yang memiliki
armada sepeda lebih dari 200 unit. Pemiliknya ada yang asli Madura, Garut, dan
Brebes, kata Ujang.
Bayangkan
saja Mas, jika semua sepeda itu keluar keliling di kawasan Jakarta Pusat.
Berapa gelas kopi terjual dalam satu hari, cerita Ujang meyakinkan ku. “Jika
satu penjual kopi keliling bisa menjual 20 sampai 30 gelas sehari, itu rejeki
yang patut disyukuri,” paparnya. Para penjual kopi keliling mendapatkan laba
sebesar 10 persen satu gelasnya. Selebihnya untuk pemilik. Jika rata-rata satu
gelas kopi Rp 3000,- sampai Rp 4000,- hasil profit
sharing-nya lumayan untuk menambah kepul asap dapur, tambahnya bersemangat.
Sejauh
yang saya ketahui, sejak 2011, penjual kopi keliling sering terlihat di kawasan
Menteng dan Cikini. Selain itu, di sekitar Monas, Gambir, Taman Menteng, Taman
Suropati, Thamrin, Kebonsirih, dan sekitarnya juga sering dijumpai. Kendati jumlahnya
banyak, pintu rejeki sudah ada pada tempatnya masing-masing.
Dalam
perjalanannya, penjual kopi keliling terus bertambah. Tidak secepat
perkembangan warung kopi, kedai kopi, kafe atau tempat lain yang lebih berkelas
dengan suasana yang tentu berbeda. Warung kopi yang mudah dijumpai di sekitar
kita biasanya langsung menyajikan mie rebus atau bubur kacang hijau. Penjualnya,
asal Kuningan atau Sumedang, Jawa Barat. Yang pasti, semuanya memiliki
karakternya sendiri-sendiri untuk menyapa penikmat kopi.
Suasana,
aroma dan kentalnya serbuk hitam ini selalu diburu pecinta kopi. Tak hanya itu,
campuran dan kombinasi aneka rasa menjadi pilihan lain dalam menikmati secangkir
kopi. Bersama teman sejawat, dan di mana pun tempatnya kopi selalu menjadi
teman di saat senggang.
Nikmatnya
kopi ada pada selera masing-masing setiap orang. Kopi yang nikmat ada dalam
sudut pandang setiap orang juga. Ada yang suka dengan kopi siap saji (sachet), kopi hasil ramuan Barista, atau kopi hasil racikan Dee dalam
novelnya Filosofi Kopi (2006) yang
enak dibaca. Bagi Dee menghirup aroma kopi dan mengalami langsung saat minum
adalah kenikmatan luar biasa dengan karakternya yang kuat.
Semua
kenikmatan itu diceritakan Dee, padahal saya belum sempat meminumnya sedikitpun. Dee
menyuguhkan kopi tulis yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Begitu juga
dengan kopi keliling, karakter kuatnya dinanti para penikmatnya. Bike to Coffee Break satu keunikan di
tengah gemerlap Jakarta yang seakan tak pernah mati. Mari saatnya minum kopi…!
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?