Padi di Sawah,
di Dusun Ciro, Desa Bakung, Tumenggungan, Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur,
itu sudah siap diketam para petani. Ada empat petak sawah dengan padi semakin
menguning yang siap di panen. Spanduk dan banner berkibar di pematang sawah, di
sisi kanan ada lapangan luas berukuran lapangan sepak bola lengkap dengan
tenda, panggung, bazar makanan khas tradisional dan kursi-kursi untuk menyambut
panen raya.
Di
sisi jalan utama antar kota antar provinsi, tepat di pintu masuk utama menuju
Dusun Ciro, spanduk selamat datang serta baliho bertulis Tani bangkit, Aksi
Bersama Untuk Ketahanan Pangan, terpasang mengabarkan panen raya ini. Lahan
parkir tersedia di dekat pabrik batu bata yang sudah dua tahun tak beroperasi,
untuk warga yang menyaksikan.
Di
dusun inilah para petani binaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP
Muhammadiyah dan LAZISMU menggelar panen raya. Kamis, 23 April 2015, perhelatan
akbar panen raya di Kabupaten Sidoarjo, digelar selepas dzuhur hingga sore
hari. Semula yang hadir, Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Karena berhalangan,
Syaiful Illah selaku Bupati Sidoarjo datang bersama Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Din Syamsuddin beserta tokoh lainnya di dusun itu.
MPM
adalah majelis pemberdayaan yang pada periode kedua (2010-2015) mengawali
programnya tidak dari nol. Pada periode pertama (2005-2010) lembaga ini telah
menetapkan lingkup programnya di bidang pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat. Pada periode kedua bersama LAZISMU, melakukan masifikasi
pemberdayaan masyarakat kepada kaum miskin kota dan desa, termasuk nelayan,
petani dan peternak. Said Tuhuleley, yang kini fokus sebagai Ketua pemberdayaan
di MPM, tidak berdiam diri menyaksikan kondisi pahit para petani.
“Kami
berpikir bahwa majelis ini penting dan harus hadir bersama mereka yang tak
berdaya. Visi kami adalah meningkatkat kapasitas masyarakat, daya saing, posisi
tawar, dan intensitas pemberdayaan berbasis Penolong Kesengsaraan Oemoem
(PKO),” kata Said, yang sejak mahasiswa di 1977-1978 aktif melakukan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.
Saat
ini, pedagang asongan, kaki lima, abang becak, buruh migran, buruh gendongan,
dan penyandang disabilitas, adalah mereka yang menderita dan mendapat perhatian
serius dari MPM. “Namun, kali ini para petani mendapat gilirannya di momen yang
tepat,” tandasnya. Sebelumnya, Magelang, Boyolali, Ambon, Papua, Banjarnegara,
merupakan rangkaian best practice pemberdayaan pertanian terpadu.
“Mereka
yang termiskin jauh dari akses pemberdayaan telah menjadi fokus program
pemberdayaan kami, paparnya. Selain itu, yang MPM miliki adalah memberdayakan
masyarakat dengan fasilitator, konsultasi, pendampingan, pendidikan dan
pelatihan serta pendekatan rahmatan lil ‘alamin. “Sehingga spirit al-maun dapat
mengangkat martabat para petani sebagai subjek perubahan sosial,” kata dosen
FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Pemberdayaan
penting lainnya adalah bagaimana mempertahankan para petani dari jerat
tengkulak. Untuk melindungi petani dari tengkulak, pendampingan perlu diimbangi
dengan pengetahuan. Dengan begitu menolong petani tidak setengah jalan, tapi
betul-betul menolong petani dan saudara-saudaranya. Memberikan pengetahuan
bertani secara organik tidaklah mudah. Pendampingan teknis dan pengembangan
pendekatannya juga perlu diberikan secara kreatif. “Jadi petani ikut terlibat
di dalamnya, karena petani memerlukan hal-hal teknis di luar yang teoritis,
ujar Syafi’i Latuconsina, yang juga mentor para petani.
Menurut
sarjana lulusan pertanian itu, para petani mendapat pendidikan dan pelatihan
sebelum turun ke sawah. Di samping itu, dengan model pertanian terpadu dengan
cara organik dapat menghemat biaya produksi. Bahan-bahan alami dipilih sebagai
pupuk dan diramu untuk menyemprot padi dari serangan hama. Mari kita ke sawah
untuk melihat hasilnya. “Lihat padi milik petani binaan itu, bandingkan dengan
petani yang lain, tanaman padi organik berdiri kuat tidak roboh, berbeda dengan
padi yang non-organik, padinya roboh karena terlalu banyak urea,“ pungkasnya,
setelah mengajak kami melihat hasilnya di sawah.
Pengalaman
lain juga diceritakan Syafi’i selama melakukan pendampingan petani organik.
Dari gabah yang sudah diolah menjadi beras, hasil lainnya adalah beras yang ada
ditangan ini warnanya juga berbeda dengan beras yang ada di pasaran. “Beras ini
jika ingin diolah tidak perlu dicuci beberapa kali, cukup dicuci sekali saja
dengan air karena langsung bersih,” paparnya.
Sementara
untuk beras hitam, air tajinnnya juga dapat diminum seperti beras biasa. Hanya
saja, menurut Syafi’i, “Air tajin dari beras hitam dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi rasa sakit di sendi kaki,” ceritanya ketika pernah mengalami nyeri
sendi di kaki. Inilah beras sehat, beras organik hasil jerih payah petani di
dusun Ciro, tambahnya.
Lain
halnya dengan cerita Anang Samsu, seorang petani di dusun itu. Pria berusia
empat puluh tahun ini menceritakan pengalamannya selama bertani organik.
Sewaktu menggunakan cara organik, dia selalu ditertawakan teman-temannya yang
petani juga. Setelah meninggalkan pupuk kimia, Anang menggunakan pupuk kocor.
Saat sedang gunakan pupuk kocor di sawah untuk padinya, petani lainnya
mengejek, “kotoran sapi untuk pupuk, beli urea mas” cerita Anang. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?