April 29, 2015

Padi Menguning, Petani Bahagia (Bagian 1)



Padi di Sawah, di Dusun Ciro, Desa Bakung, Tumenggungan, Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur, itu sudah siap diketam para petani. Ada empat petak sawah dengan padi semakin menguning yang siap di panen. Spanduk dan banner berkibar di pematang sawah, di sisi kanan ada lapangan luas berukuran lapangan sepak bola lengkap dengan tenda, panggung, bazar makanan khas tradisional dan kursi-kursi untuk menyambut panen raya.

Di sisi jalan utama antar kota antar provinsi, tepat di pintu masuk utama menuju Dusun Ciro, spanduk selamat datang serta baliho bertulis Tani bangkit, Aksi Bersama Untuk Ketahanan Pangan, terpasang mengabarkan panen raya ini. Lahan parkir tersedia di dekat pabrik batu bata yang sudah dua tahun tak beroperasi, untuk warga yang menyaksikan.

Di dusun inilah para petani binaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah dan LAZISMU menggelar panen raya. Kamis, 23 April 2015, perhelatan akbar panen raya di Kabupaten Sidoarjo, digelar selepas dzuhur hingga sore hari. Semula yang hadir, Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Karena berhalangan, Syaiful Illah selaku Bupati Sidoarjo datang bersama Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin beserta tokoh lainnya di dusun itu.

MPM adalah majelis pemberdayaan yang pada periode kedua (2010-2015) mengawali programnya tidak dari nol. Pada periode pertama (2005-2010) lembaga ini telah menetapkan lingkup programnya di bidang pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Pada periode kedua bersama LAZISMU, melakukan masifikasi pemberdayaan masyarakat kepada kaum miskin kota dan desa, termasuk nelayan, petani dan peternak. Said Tuhuleley, yang kini fokus sebagai Ketua pemberdayaan di MPM, tidak berdiam diri menyaksikan kondisi pahit para petani.

“Kami berpikir bahwa majelis ini penting dan harus hadir bersama mereka yang tak berdaya. Visi kami adalah meningkatkat kapasitas masyarakat, daya saing, posisi tawar, dan intensitas pemberdayaan berbasis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO),” kata Said, yang sejak mahasiswa di 1977-1978 aktif melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.

Saat ini, pedagang asongan, kaki lima, abang becak, buruh migran, buruh gendongan, dan penyandang disabilitas, adalah mereka yang menderita dan mendapat perhatian serius dari MPM. “Namun, kali ini para petani mendapat gilirannya di momen yang tepat,” tandasnya. Sebelumnya, Magelang, Boyolali, Ambon, Papua, Banjarnegara, merupakan rangkaian best practice pemberdayaan pertanian terpadu.

“Mereka yang termiskin jauh dari akses pemberdayaan telah menjadi fokus program pemberdayaan kami, paparnya. Selain itu, yang MPM miliki adalah memberdayakan masyarakat dengan fasilitator, konsultasi, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta pendekatan rahmatan lil ‘alamin. “Sehingga spirit al-maun dapat mengangkat martabat para petani sebagai subjek perubahan sosial,” kata dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.

Pemberdayaan penting lainnya adalah bagaimana mempertahankan para petani dari jerat tengkulak. Untuk melindungi petani dari tengkulak, pendampingan perlu diimbangi dengan pengetahuan. Dengan begitu menolong petani tidak setengah jalan, tapi betul-betul menolong petani dan saudara-saudaranya. Memberikan pengetahuan bertani secara organik tidaklah mudah. Pendampingan teknis dan pengembangan pendekatannya juga perlu diberikan secara kreatif. “Jadi petani ikut terlibat di dalamnya, karena petani memerlukan hal-hal teknis di luar yang teoritis, ujar Syafi’i Latuconsina, yang juga mentor para petani.

Menurut sarjana lulusan pertanian itu, para petani mendapat pendidikan dan pelatihan sebelum turun ke sawah. Di samping itu, dengan model pertanian terpadu dengan cara organik dapat menghemat biaya produksi. Bahan-bahan alami dipilih sebagai pupuk dan diramu untuk menyemprot padi dari serangan hama. Mari kita ke sawah untuk melihat hasilnya. “Lihat padi milik petani binaan itu, bandingkan dengan petani yang lain, tanaman padi organik berdiri kuat tidak roboh, berbeda dengan padi yang non-organik, padinya roboh karena terlalu banyak urea,“ pungkasnya, setelah mengajak kami melihat hasilnya di sawah.

Pengalaman lain juga diceritakan Syafi’i selama melakukan pendampingan petani organik. Dari gabah yang sudah diolah menjadi beras, hasil lainnya adalah beras yang ada ditangan ini warnanya juga berbeda dengan beras yang ada di pasaran. “Beras ini jika ingin diolah tidak perlu dicuci beberapa kali, cukup dicuci sekali saja dengan air karena langsung bersih,” paparnya.

Sementara untuk beras hitam, air tajinnnya juga dapat diminum seperti beras biasa. Hanya saja, menurut Syafi’i, “Air tajin dari beras hitam dapat dimanfaatkan untuk mengurangi rasa sakit di sendi kaki,” ceritanya ketika pernah mengalami nyeri sendi di kaki. Inilah beras sehat, beras organik hasil jerih payah petani di dusun Ciro, tambahnya.

Lain halnya dengan cerita Anang Samsu, seorang petani di dusun itu. Pria berusia empat puluh tahun ini menceritakan pengalamannya selama bertani organik. Sewaktu menggunakan cara organik, dia selalu ditertawakan teman-temannya yang petani juga. Setelah meninggalkan pupuk kimia, Anang menggunakan pupuk kocor. Saat sedang gunakan pupuk kocor di sawah untuk padinya, petani lainnya mengejek, “kotoran sapi untuk pupuk, beli urea mas” cerita Anang. (Bersambung)

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?