February 20, 2014

Mengapa Indonesia Siaga ?



  
Judul tulisan di atas adalah pertanyaan mengenai Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara yang ada dalam benak pikiran pembaca budiman. Pembaca bebas melihat Indonesia dari sudut pandang manapun. Nusantara atau negara kepulauan adalah kebenaran faktual ketika merujuk identifikasi Indonesia. Atau boleh jadi ciri-ciri dari Atlantis yang hilang selama berabad-abad yang lalu sebagaimana didedahkan Profesor Arysio Santos yang kemudian dibukukan dalam judul ‘Atlantis, The Lost Continent Finally Found’.

Dalam buku tersebut Santos mengupas apik bahwa benua Atlantis (yang diduga adalah Indonesia?) tenggelam hingga mencapai dasar laut. Bencana gempa bumi dan gulungan ombak besar menyapu bersih daratan Atlantis yang berada di Selat Sunda. Kabar Kota Atlantis yang dalam penelitian Santos diperkirakan hilang 11.600 tahun silam masih mengundang tanda tanya dan misteri besar.

Para pembaca budiman yang sudah melahap habis karya Santos ini pastinya hafal betul dengan kekayaan alam yang ada diperut bumi Benua Atlantis. Kesuburan tanahnya, keanekaragaman hayatinya, rempah-rempahnya, dan kelebihan lainnya yang dimiliki Benua Atlantis. Segala keunikannya adalah potret nyata tentang Indonesia sebagai peradaban besar yang kita huni sampai detik ini.

Atlantis mengisyaratkan sejumlah fakta yang dekat dengan Indonesia. Sampai saat ini pun, ciri-ciri itu diyakini banyak kalangan adalah Indonesia. Untuk itu, sejenak kita kembali melihat Indonesia dalam ruang dan waktu saat ini. Bukan melihat Indonesia dalam panggung politik, ekonomi, pendidikan, budaya atau semangat Tim Nasional Indonesia U 19. Namun melihat Indonesia yang berada dalam fakta bahwa sampai hari ini kita hidup dalam negara yang rawan bencana.

Para pakar Geologi berpendapat bahwa Indonesia berada di tiga titik pertemuan lempeng tektonik yang mengitarinya. Selain diapit lempengan itu, Indonesia juga merupakan jalur The Pasicif Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), yang merupakan peta vulkanik bahwa gunung-gunung yang ada di kepulauan Indonesia adalah gunung api potensial di dunia. Selain itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan sebanyak  61 juta jiwa di 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya banjir, serta 124 juta jiwa berada di daerah bahaya longsor di 274 kabupaten dan kota.

Dalam data sementara BNPB, dipaparkan bahwa dari 1 Januari 2014 hingga 16 Februari 2014 tercatat 282 kejadian. Dampaknya 197 orang tewas, 64 luka-luka, 1,6 juta jiwa mengungsi dan menderita, puluhan ribu rumah rusak dan lainnya. Dampak ekonomi juga sangat besar. Perkiraan awal kerugian dan kerusakan akibat bencana banjir bandang Sulut Rp 1,87 trilyun, erupsi Gunung Sinabung Rp 1 trilyun, banjir Pantura Rp 6 trilyun, banjir Jakarta Rp 5 trilyun dan lainnya. Belum lagi bencana lainnya selama 2014 ini. 

Pertanyaannya apakah rakyat Indonesia sudah siap menerima bencana sebagai keniscayaan? Jika sudah siap, bagaimana menghadapinya? Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang bencana menjadi penting dikemukakan. Namun, belum menjadi sebuah sikap atau literasi hidup yang mudah dipraktikkan. Setidaknya Atlantis yang hilang dapat menjadi modal, semangat atau motivasi bahwa bencana yang menghancurkan “Negara Madani” ribuan tahun silam itu hanya sebagian dari bukti dan jejak sebuah negara yang rawan bencana saat itu. Inipun jika kita masih memiliki asa jika Atlantis adalah Indonesia sebagai negara rawan bencana sekarang ini.

Jatuhnya korban dan kerugian akibat rangkaian bencana seperti gempa, banjir, longsor, dan puting beliung sudah tidak terhitung. Belum lagi beberapa persoalan yang dihadapi para pengungsi terutama terkait tempat tinggal, mata pencaharian, dan sumber-sumber kehidupan lainnya yang hilang pascabencana yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia. Maka perlu dilakukan kesiagaan untuk mengurangi risiko bencana.

Situasi ini menjadi relevan untuk diuraikan terkait gagasan Gerakan Indonesia Siaga. Sebuah lembaga penanggulangan bencana berpengalaman seperti MDMC Indonesia dapat dijadikan rujukan bahwa antisipasi bencana melalui pengorganisasian dan edukasi adalah jawaban aktual yang diwujudkan dalam rangkaian kegiatan yang tepat sasaran dan berdaya guna.

Praktisi manajemen risiko bencana, Rachmawati Husein, Ph.D mengatakan Indonesia Siaga adalah ikhtiar kesiap-siagaan menghadapi bencana. Aktivasinya meliputi pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, penyediaan dan penerapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, penorganisasian, penyuluhan, pelatihan, gladi tentang mekanisme tanggap darurat dan penyiapan lokasi evakuasi serta rencana evakuasi.

Gerakan Indonesia Siaga sendiri telah diwujudkan MDMC Indonesia dan LAZISMU dalam rangkaian aksi diantaranya Sekolah Siaga Bencana, Rumah Sakit Siaga Bencana, Relawan Siaga Bencana, Lumbung Siaga, Komunitas Siaga Bencana (Jama’ah Tangguh Bencana) dan recovery atau rehabilitasi pascabencana. Dengan kata lain, konsep ini adalah menumpahkan ide Humanitarian Rescue dalam suatu program berbentuk layanan gerak kemanusiaan dengan fokus utama penanganan bencana dan kesehatan masyarakat melalui sistem layanan yang terintegrasi.   

Selanjutnya, apakah kita siap melakukannya? Atau baru merespon setelah bencana terjadi. Kita semua berharap individu, kelompok atau komunitas dapat menjadi peniup peluit (whistle blower) dalam mengurangi risiko bencana. Tujuan hikmah tulisan ini tidak lain adalah untuk mengajak setiap orang dan belajar bersama bahwa upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana menjadi keharusan bagi semua orang.

Akhir kata, semoga spirit dan antusiasme para pembaca menjadi pemantik untuk berbagi wacana kepada yang lain walau hanya mendengar di waktu senggang. Wallohu ‘alam.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?