May 11, 2015

“Tak Bernama”, Tapi Tentukan Kecepatan Respon Gempa Nepal



Tiga malam berlalu pasca-kejadian gempa dahsyat itu. Para relawan Muhammadiyah Aid membaca situasi yang sebelumnya nol dalam pikiran mereka. Sama persis dengan relawan-relawan yang lain. Mereka tak mengenal siapa lelaki itu, siapa wanita paruh baya di dekat rumah yang hancur? Dan mereka juga tak mengenal gadis kecil, dan anak-anak tak berorangtua di kota itu. Gempa yang meluluhlantakan Nepal tidak hanya melukiskan nestapa bagi Raju, Captain Big Yan, Upendra, Farooq, Muhammad, para sopir yang tidak kenal lelah, perawat dan dokter di Kantipur serta orang-orang yang tidak bernama.  

Nestapa yang dialami mereka yang tak bernama membuka pesan komunikasi yang di dalamnya ada setangkup asa dalam aktivitas relawan. Hatta, dalam setiap bencana, hanya orang lokal tak bernama yang memberikan kontribusi penting dalam menentukan kecepatan respon, ketepatan dalam menentukan lokasi serta dukungan terhadap berbagai aktivitas. Mereka yang paling tahu kondisi, sistem sosial dan politik serta bahasa dan budaya daerahnya. 

Sejak mendarat di Bandara Nepal yang senyap, pada 2 Mei 2015, saat itu waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Di sana sudah terlihat bagaimana 3 Liaison Officer (LO), Upendra, Raju, dan Captain Big Yan, yang disediakan oleh konselor kehormatan dan militer membantu memperlancar pasokan barang bantuan. Mereka harus datang pukul 12 tengah malam setelah malam sebelumnya juga harus menerima tim evakuasi WNI Indonesia di Nepal. Tim I yang datang tanggal 29 Mei, serta Tim II yang datang menggunakan pesawat charter pada 2 Mei kemarin.

Tanpa letih ketiga orang berbagi tugas untuk menjelaskan ke otoritas bandara siapa saja anggota tim Indonesia. Barang apa saja yang dibawa dan mengawal serta meminta tim militer Nepal dan crew bandara melakukan bongkar-muat barang. Hampir lima jam, kegesitan Upendra, Raju dan Captain Bigyan menemani serta menerjemahkan pesan kepada militer Nepal, crew bandara serta militer Indonesia yang bersama-sama melakukan bongkar-muat seberat 37 ton.

Tentu jumlah yang tidak sedikit. Ketiga orang itu mendampingi hingga selesai proses pemilahan barang untuk field hospital dan barang untuk donasi serta mengawal agar barang yang lebih dari 7 truk tersebut dapat aman sampai di gudang militer maupun warehouse yang disediakan oleh konselor untuk tim Indonesia. Kendati tanpa tidur, mereka masih meneruskan mencarikan transportasi untuk tim kedua yang berjumlah 33 orang, mengantar dan menjamin sampai di tujuan dengan selamat.

Medio, 2 Mei, tim kesehatan berhasil mengantongi ijin kegiatan FMT (Foreign Medical Team). Itupun setelah diurus di MOHA mulai dari pukul 9 hingga pukul 17 sore, karena dokumen pelengkap yang sehari sebelumnya sudah diserahkan tidak masuk ke dalam sistem serta kelengkapan persyaratan yang belum dipenuhi. Tim kesehatan Indonesia diberikan ijin untuk melakukan misi di rumah sakit lokal,  di Kantipur Hospital.

Namun demikian, misi dianggap belum berhasil karena tujuan utama misi adalah mendirikan rumah sakit lapangan (field hospital).  Tak dinyana, orang lokal tak bernama itu, melicinkan jalan keluar untuk membantu proses itu. Jaringan NGO regional (ADRRN) yang memiliki kerja dengan orang NGO lokal di Nepal membantu mengkontak semua network yang dimiliki. Beberapa tempat dijajagi, tapi belum menemukan lokasi yang tepat untuk Rumah Sakit Lapangan dengan 3 tenda sebagai tempat gawat darurat, operasi, dan tenda post recovery.

Salah satu tenda berukuran 6x6 meter yang dilengkapi tenda posko untuk petugas kesehatan dan logistik obat dan alat kesehatan yang diperlukan. Tanpa ragu, Raju mengkontak Sagar, penduduk Satungal yang 75 persen daerahnya terkena dampak gempa bumi. Sore itu, didampingi 5 penduduk lokal melakukan pre assessment. Aktivitas dilakukan dengan menemui penduduk, perangkat desa dan melihat lokasi yang mungkin dijadikan tempat antuk area Rumah Sakit Lapangan. Akhirnya, lokasi ditentukan karena memenuhi kriterita RS lapangan yang ditentukan dan penduduknya meminta dan mendukung tim Indonesia.

Setelah melihat ketepatan lokasi di Satungal, sesuai assessment kedua, pada 3 Mei, Raju yang lulusan master ekonomi, dibebas-tugaskan dari bank tempat ia bekerja atas ijin bosnya. Sementara konselor Indonesia untuk Nepal membantu tim hingga tuntas, kemahiran bahasa Nepalnya membantu menguatkan permohonan ke MOHA untuk merubah surat perijinan agar penunjukan Tim Kesehatan tidak hanya di Rumah Sakit Kantipur tetapi juga di Desa Satungal.

Akhirnya, surat perubahan perijinan yang ditulis dengan bahasa Nepal didapat. Pada 4 Mei, tim Indonesia dapat mendirikan RS Lapangan. Sementara, versi Inggris-nya tidak selesai dan harus ditulis esok harinya dengan melalui prosedur yang sama.

Selain membantu mencarikan lokasi, Raju juga membantu memastikan logistik aman di warehouse. Raju berhasil menaklukan keadaan, dan logistik siap diambil tim medis jika diperlukan. Letih masih menyatu, mereka membantu mengkoordinir truck, petugas yang mengangkat dan menurunkan bantuan serta mencari kontak lokasi distribusi bantuan karena bantuan sebenarnya tidak dapat diserahkan langsung.

Sementara, Upendra master jebolan hubungan internasional yang bekerja di konselor kehormatan, dengan leluasa memuluskan komunikasi, dengan menelpon pihak militer dan MOHA karena tim Indonesia yang spesifik, beranggotakan militer dan sipil, yang di Republik Nepal susah diterima karena militer memiliki prosedur tersendiri. Beruntung Captain Big Yan, membantu kami bolak-balik ke MMNC - Posko Militer untuk menemani kami menjelaskan komposisi tim, logistik dan personil yang kita miliki.

Jumlah tim Indonesia yang besar membuat mobilisasi personil tidak mudah dan membutuhkan transportasi yang tidak sedikit. Kebutuhan transportasi ini dapat, melalui bantuan Farooq untuk mencarikan sarana angkutan selama misi Indonesia berlangsung. Brother Farooq adalah teman di madrasah kenalan salah satu anggota MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) Indonesia yang menjadi pengurus masjid di Kathmandu. Dia juga salah satu yang terdampak gempa bumi. Dia bahkan merekomendasikan keponakannya, Muhammad, lulusan keperawatan, yang kebetulan belum bekerja formal, untuk membantu menjadi LO tim Indonesia, khususnya transportasi.

Muhammad setiap hari mendampingi 4 mobil. Dia dengan sigap, siap ditelpon dan menjadi penghubung dengan sopir yang hampir semuanya hanya berbicara bahasa lokal. Muhammad pula yang mengantar ke warung halal dan menikmati kuliner Nepal yang beraroma khas di Asia Selatan. Dari pertemuan ini, Muhammad membantu memesankan “catering” paket makanan halal untuk seluruh anggota Tim yang setiap hari membutuhkan asupan gizi serta dengan lauk kari ayamnya. Sementara itu, para sopir dengan setia berkomunikasi ramah untuk membantu bolak-balik, serta siap sedia kapan pun dibutuhkan.

Orang-orang yang tidak masuk anggota tim Indonesia serta mereka yang tidak bernama, namun bersama tim Indonesia bekerja atas nama kemanusiaan untuk Nepal -- Dharai-Dharai Dhanyabaad – Terimakasih banyak. (mdmc/na)

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?