May 13, 2015

Segelas Jamu “Golden Age”



Asfar yang bulan Juni nanti genap dua tahun, adalah putra pertama saya. Sehabis mandi pagi, dia selalu ada bersama dengan dunianya sendiri. Pelataran yang luasnya setengah lapangan bulu tangkis itu menjadi koordinat sosialnya untuk bermain mengekspresikan keingintahuannya. Bedak sedikit cemong di sekitar wajahnya menambah lucu senyum cerianya. Kata istriku, cemong bedak di wajahnya adalah sebagai pertanda Asfar sudah mandi agar tampil segar. Ditambah arah sisiran rambut ke samping kanan membuat wajahnya yang secomot melengkapi tampilannya di pagi hari.    

Sepasang sepatu karet ringan berwarna biru terpasang di kedua kakinya. Ini merupakan isyarat jika Asfar ingin memperluas koordinat sosialnya ke lingkungan masyarakat di sekitar rumah. Bagi Asfar, ayah hanya menuntun, sementara penunjuk jalan sepenuhnya ada di tangan Asfar, dengan sesuka hatinya menunjuk arah dengan jari telunjukknya. Dari satu gang menuju gang lainnya. Asfar cukup hafal dalam mengingat trayek jalan-jalan paginya. Main adalah kata yang keluar darinya untuk menyusuri kampung yang padat ini, di bilangan Penggilingan, Jakarta Timur.

Sebungkus lemper sudah habis dilahapnya. Kereta api yang melintas dan padatnya kendaraan di fly over merupakan hiburan tersendiri bagi Asfar, sambil duduk dibawah rindangnya pohon seri (kersem). Seraya belajar mengenal kendaraan yang diingatnya kendati belum dapat melafalkan, Asfar terlihat sangat gembira. Tak berapa lama kami pun pulang ke rumah kontrakan. Sambil duduk dilantai Asfar meminta sepatunya dilepas. 

Asfar kembali bermain dengan mainannya sambil ditemani Ayah. Di halaman depan, pintu pagar setengah terbuka. Tak berselang lama, Suara Yayuk penjual jamu gendong mulai terdengar. Jamuuuu…! Jamuuuu…! Jamuuuuu Mba! Begitu suara Yayuk asal Solo semakin terdengar masuk ke pelataran.

Suara yang terdengar itu, langsung direspon Asfar. Ayah amu, ayah amu, kata Asfar menirukan. Dengan cepat Asfar berlari meraih gelas plastik di meja. Tanpa lupa, ia membuang sisa air putih di gelas itu ke tempat pencucian piring, dan berlari ke depan pintu menghampiri Yayuk. Tangan kanannya menyerahkan gelas yang dibawa kepada Yayuk. Asfar sudah tak sabar melihat air kuning kunyit mengisi gelas plastik miliknya. Sebuah sedotan plastik berwarna hijau diraihnya yang sejajar dengan termos putih. Ayah amu, ayah amu, ayah amu…ayahhhhhh…!

Cukup Rp 1000,- Asfar merasakan segarnya jamu kombinasi kunyit dan beras kencur. Sebetulnya resep tradisional ini sudah Asfar rasakan saat umur 1 tahun 3 bulan. Sedikit demi sedikit Asfar meminumnya tidak segelas langsung. Pertama kali, Asfar pernah diberi cekokan jamu untuk menambah nafsu makan. Kata orang tua kita, sejak dulu khasiat jamu cekokkan diberikan kepada balita untuk menambah nafsu makan dan membersihkan usus dari kotoran. 

Pengalaman ini, juga pernah saya rasakan saat waktu kecil dulu, mengingat cerita Ibu kepada saya. Sampai sekarang pun saya sangat suka jamu pahit. Tiga hari sekali saya minum ramuan jamu sambiloto. Terkadang dicampur beras kencur dan kunyit. Kata Yayuk untuk membantu menyegarkan badan dari rasa lelah. Rupanya, pahit jamu itu mulai dikenal Asfar sedikit demi sedikit. Suka jamu ini menurun ke anak saya Asfar, meski belum ke tingkat yang cukup lumayan pahit. Istri saya pun juga menyukai jamu tradisonal untuk kesuburan dan kesehatan tubuh. 

Minum jamu merupakan pengalaman sederhana untuk Asfar. Secara tidak langsung, memberikan pembelajaran kepadanya untuk mengenal akrab jamu tradisional. Sebisa mungkin menghindari jauh-jauh obat-obatan kimia kepada Asfar, jika tidak dalam keadaan yang sangat mendesak. Mengenalkan jamu sejak dini (golden age)* kepada Asfar tentu ada tujuan akhir (final cause) yang di maksud. Kelak besar nanti ia dapat merasakan pahitnya jamu dengan ramuan lain yang akan dikenalnya yang bertalian dengan kehidupan dan penciptaan. 

Kendati ada sebagian orang yang meragukan khasiat jamu tradisional, saya tetap yakin ada suatu hikmah dibalik kenikmatan yang diberikan Allah swt tentang kekayaan alam nabati. Tumbuhan adalah sumber daya nabati yang memiliki sejuta potensi, para ahli sudah mulai menelitinya termasuk Hembing Wijayakusuma. Alam nabati sebagai bagian dari rantai makanan, juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia di luar makanan dan minuman. 

Alam nabati di era modern ini, sudah dapat dibuat bahan baku obat. Berdasarkan jenis-jenisnya memiliki kandungan berkhasiat lewat pengalaman turun-temurun berkhasiat untuk mengobati jenis penyakit tertentu. Bahkan Keladi Tikus merupakan ramuan tradisional untuk menangkal dan mengobati kanker. Saya bersyukur, selain bantuan medis, ibu saya kembali pulih dari kankernya dengan Keladi Tikus atas doa dan ijin dari Allah swt. 

Inilah kehebatan jiwa-jiwa tumbuhan. Semoga segelas jamu “Golden Age” yang diminum Asfar Nafsani dapat membantu perkembangan tubuh dan jiwanya menjadi anak yang pandai dan sholeh. Hanya ini pendekatan pedagogis sederhana yang dapat ayah dan ibu persembahkan kepada Asfar walau belum mengerti. Semua ada prosesnya dalam hidup ini.      

Pahit jamu tak sepahit getirnya kehidupan. Sedapat mungkin saat minum jamu saya tidak menutup hidung agar aroma khas rempah-rempah dapat tercium segar. Berbeda dengan orang yang tidak menyukai jamu, risau dengan aroma jamu hingga harus menutup hidungnya. Berdasarkan resep tradisional ala Hembing Wijayakusuma, meminum jamu tradisional bermanfaat untuk kesehatan tubuh dan membantu pencernaan, demikian dalam bukunya yang berjudul Ramuan Lengkap Herbal Taklukan Penyakit (2008). Inilah ramuan menyehatkan asli Indonesia, pesan Hembing.

*Menurut ahli pendidikan Golden Age dikisaran umur 0-3 tahun, 0-5 tahun bahkan ada yang mengatakan 3,5 – 6 tahun.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?