Showing posts with label Sosial. Show all posts
Showing posts with label Sosial. Show all posts

October 14, 2011


Pesan Qurban Pak Kumis


Umat Islam di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam soal penggalangan qurban. Setidaknya, terlihat dari jumlah umat Islam itu sendiri dan tingkat penghasilannya yang diperoleh selama setahun. Prospek itu tergambar dalam analisa ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (INDEF), bahwa ada 30% penduduk Indonesia atau sekitar 70 juta orang yang mempunyai penghasilan rata-rata US$5.200 per tahun.

Jika angka tersebut menunjuk pada masyarakat di lapisan sosial ekonomi menengah, maka peluang penggalangan hewan qurban kian besar. Diperkirakan angka umat Islam yang berpengasilan menengah berjumlah 40-45 juta orang. Logika sederhananya, jika harga hewan qurban (kambing) per ekor berkisar di angka Rp 1.000.000,- sampai Rp 1.500.000,- dengan mengambil angka pada harga tengahnya Rp 1.200.000,- maka angka pembelian kambing bisa menembus angka Rp 50 triliun.

Dari transaksi jual beli hewan qurban yang beredar dikalangan peternak dan penjual, mengisyaratkan bahwa secara sosial ekonomi masyarakat telah terbedayakan pada momentum Hari Raya Idul Adha. Tentu saja, efek sosialnya juga akan dirasakan oleh masyarakat yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Jadi, ada peredaran uang dari desa ke kota yang amat besar sebagai potensi ekonomi rakyat.

Sayangnya, potensi itu masih belum tercipta dengan melihat kebutuhan umat Islam yang berbeda-beda dalam menyalurkan hewan qurban. Meskipun di tengah masyarakat terdapat lembaga zakat mumpuni yang siap mengelola dengan langkah strategis, merata dan fokus pada sasaran. Menyikapi hal itu, diperlukan informasi dan strategi yang tepat agar kebutuhan menyalurkan hewan qurban bagi kaum muslim kembali lebih potensial.

Disela-sela potensi yang belum optimal saat ini, ada program menarik yang disampaikan Pak Kumis lewat pesannya yaitu pusat qurban nusantara. Bagi kaum muslim yang belum mengenal Pak Kumis, sudah saatnya untuk mengenal lebih dekat siapa sesungguhnya Pak Kumis itu? Apa kaitannya dengan persoalan penggalangan qurban yang perlu disiapkan untuk Hari Raya Idul Adha?

Di mata sebagian kaum muslim yang sudah mengenal dan memercayakan hewan qurbannya untuk disalurkan ke tempat yang tepat, Pak Kumis tidak lebih sebagai seorang sahabat. Pak Kumis adalah program qurban nusantara yang didesign secara khusus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dhuafa yang berada di pedesaan, kawasan padat penduduk, perkampungan kumuh dan kantong kemiskinan dengan berpijak pada prinsip merata, adil dan fokus pada sasaran prioritas.

Selain itu, Qurban Pak Kumis didedikasikan untuk menjawab problem keterbatasan hewan qurban dan kelemahan distribusi yang selama ini terjadi. Sehingga dengan potensi qurban yang ada dapat disalurkan secara tepat dan optimal kepada masyarakat di mana pun berada, memberi kebahagiaan untuk semua tepat di hari kebahagiaan yakni Idul Adha.

Dengan jaringan distribusi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan mengakar kuat hingga pedesaan, dipastikan hewan qurban yang dtunaikan tidak menumpuk dan terkonsentrasi di wilayah tertentu atau hanya beredar di kota-kota besar. Dengan cepat hewan qurban dapat dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan atau masyarakat yang selama ini belum pernah tersentuh distribusi hewan qurban, tanpa harus menunggu limpahan atau sisa distribusi dari wilayah lainnya.

Disebutkan Pak Kumis, saat ini programnya telah banyak bekerjasama dengan mitra-mitra kepercayaannya melalui program Qurban Pak Kumis. Juga, kerjasama lainnya untuk meyakinkan nilai lebih program Qurban Pak Kumis secara edukatif dan inovatif. Kami mendapatkan mitra yang mempunyai kompetensi informatif yang sangat lugas dan mudah dimengerti. Jika potensi umat Islam dalam berqurban dibina dan diberdayakan tidak menutup kemungkinan, Pak Kumis yakin bisa makin sukses di masa depan. Sekarang, kami menyapa Anda untuk berqurban di program Qurban Pak Kumis, pesannya menegaskan.
Read More …

June 3, 2011


Rata Penuh
"Perguruan Tinggi Negeri didesak murah", isu ini tidak disangka muncul kembali dan ramai diperbincangkan setelah sekian lama mengemuka tanpa kepastian. Dengan nuansa politis, DPR membentuk Pantia Kerja Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri (RUU PTN) untuk menekan biaya pendidikan tinggi yang dinilai terlampau mahal. Keputusan membuat Panja RUU PTN tersebut diambil ketika Komisi X mengadakan Rapat Gabungan dengan sejumlah menteri di Gedung DPR RI (Koran Jakarta, 31/5/2011).

Bayangkan saja, lulusan sekolah menengah umum yang sederajat masih mengeluhkan biaya pendidikan tinggi yang mahal. Bahkan, sudah banyak calon mahasiswa yang diterima melalui jalur undangan masih mengeluhkan tingginya biaya kuliah. Tidak hanya itu, pada tingkat sekolah menengah pertama dan menegah umum para orang tua juga mengeluhkan hal yang sama, terutama untuk sekolah rintisan bertaraf internasional.

Persoalannya menurut anggota DPR, untuk menempuh kuliah menjadi tidak terjangkau bagi sebagian kalangan karena kesalahan konsep pengelolaan anggaran pendidikan. Anggaran lebih menjurus untuk gaji guru, sementara anggaran pendidikan tinggi dikorbankan. Berdasarkan kenyataan ini, lalu di mana peran otonomi perguruan tinggi di saat anggaran untuk pendidikan tinggi berada dalam profil yang sangat rendah.

Maka, dilihat dari isu ini, terdapat kebijakan besar yang sepertinya bias dalam menjembatani bagaimana agar biaya pendidikan tinggi dapat terjangkau. Pertama, lemahnya kebijakan politik anggaran pendidikan yang kuat dan transparan. Kedua, tidak konsistennya kebijakan pendidikan yang bertumpu pada pemerataan akses pendidikan tinggi kepada masyarakat secara merata.

Dinamika Perguruan Tinggi
Ketika persoalan biaya menjadi alasan klasik, mereka yang baru lulus SMU melanjutkan ke perguran tinggi di saat yang sama antara perguruan tinggi dan dunia kerja, ada kalanya terdapat perbedaan dalam pola dinamika. Dengan menarik, Mochtar Buchori (2001) mengatakan bahwa perguruan tinggi kita tidak selalu mampu mengikuti dinamika yang terdapat dalam dunia kerja.

Akibatnya, menurut Buchori, bagian-bagian tertentu dari perguruan tinggi kita menghasilkan lulusan-lulusan yang secara relatif mudah dapat menemukan pasar kerja, sedangkan pada bagian-bagian yang lain mengalami kesukaran menembus pasar kerja. Hasilnya, para lulusan perguruan tinggi menerima kerjaan di bawah taraf pendidikan mereka (under employment).

Pada dasarnya, jalur-jalur studi yang terdapat dalam perguruan tinggi terbagi dalam dua jenis, yaitu jalur akademis dan jalur profesional. Tapi kenyataannya, dua jalur studi tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan yang sama dalam hal biaya setiap tahunnya. Sementara di sisi lain, kehidupan ekonomi tidak cukup berkembang akibat perubahan drastis dunia kerja yang menuntut efisiensi biaya produksi.

Dalam pada itu perlu juga diketahui, dinamika perguruan tinggi juga mengalami perubahan yang cepat dalam bidang pengembangan jalur studi yang akademis dan profesional. Sehingga, belakangan ini terdapat beberapa perguruan tinggi, baik yang umum dan Islam, maupun yang negeri dan swasta membuka jurusan baru berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat.

Hanya saja konsekuensinya untuk mendapatkan jalur-jalur studi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Situasi inilah yang dikeluhkan lulusan SMU yang keluarganya berada dalam tingkat ekonomi yang terbatas. Perkembangan pendidikan tinggi tak ubahnya proses industrialisasi yang tumbuh dalam arena pendidikan.

Kendati demikian, minat masuk seleksi perguruan tinggi negeri tahun ini masih menjadi pilihan bagi mereka yang pantang menyerah untuk menjemput masa depan. Pada gilirannya, pendidikan tetap merupakan sebuah pilihan untuk membuka diri menghadapi dinamika perubahan ekonomi dan sosial. Ini pun menutup peluang bagi keluarga miskin untuk dapat bersaing secara baik dengan mereka yang bergelimang fasilitas ekonomi.

Barang kali, inilah ironi kehidupan kita sekarang ini. Kapitalisme berwawasan pendidikan telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan sosial kita karena kesenjangan pendidikan berhubungan secara kasat mata dengan kesenjangan ekonomi. Ia telah berubah ke dalam bentuk barang mewah yang sulit dijangkau. Apalagi, seleksi ketat di perguruan tinggi berkualitas tidak sebatas pertarungan akademik, tapi pertarungan ekonomi yang bergerak dengan nyata.

Risiko Ketidakpastian
Perdebatan anggaran pendidikan yang tidak berujung dan sulit dipahami pada masa sekarang tidak lain merupakan jenis risiko berkadar tingkat tinggi. Sama persis dengan ungkapan Anthony Giddens dalam The Third Way jika manusia dalam hidup ini harus mengambil banyak pilihan yang mengandung risiko, yaitu risiko yang memiliki konsekuensi yang amat jauh.

Gambaran ini kurang lebihnya sama dengan apa yang terjadi di negara ini. Ketidakpastian semakin menyelimuti krisis ekonomi, pendidikan, politik, hukum, dan kepemimpinan yang belakangan ini terus mengemuka. Indonesia seakan tidak mampu mengendalikan setiap persoalan yang melilit hingga terpuruk dalam ketidakpastian. Ironisnya, ketidakpastian ini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Oleh karena itu, sulit untuk diterima akal sehat jika pemerintah atas nama kemajuan, di tengah-tengah tekanan ekonomi dan politik, justru melepaskan dukungan terhadap dunia pendidikan. Dengan kata lain, tindakan semacam ini dapat dilihat sebagai upaya pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Kendati dalam pengelolaan perguruan tinggi mengedepankan pendekatan nirlaba yang otonom dan menekankan penjaminan mutu, transparansi, serta akuntabilitas. Faktanya, wajah pendidikan tinggi kita masih memancarkan aura pendidikan yang sulit dijangkau. Merujuk Richard Falk (1995) seperti dikutip Buchori, jika pemerintah mengabaikan pendidikan merupakan suatu kemungkinan yang cukup nyata akan timbulnya kultur pemerintah yang tidak manusiawi.

Pun, ketidakpastian ini melalui sistem politik menenggelamkan kesadaran demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi. Tidak sedikit pun memahami realitas yang terjadi karena semua telah disihir dalam kondisi depersonalization yang membuat mereka tidak mampu memberikan kontribusi berarti untuk sebuah ikhtiar humanisasi manusia yang bersifat pedagogis antisipatoris.

Jika gejala ini masih seperti ini, Indonesia melalui United Nations Partnership For Development Framework (UNPDF) tahun kerja 2011-2015 untuk mengejar target tingkat partispasi masyarakat dalam akses pendidikan di perguruan tinggi dari angka 18 persen di 2009 sampai 25 persen di 2014 akan sulit terwujud. Malah, ketidakpastian akan semakin menganga seiring dengan kebijakan politik praktis yang melemahkan dinamika perguruan tinggi. Wallahu‘alam
Read More …

November 29, 2010

Repotnya Mencari Bis Kota yang Ramah

Narablog: Nazhori Author


Pukul setengah tujuh pagi lebih sedikit, di terminal Kampung Rambutan. Deru mesin bis kota dan angkutan kota saling menyaut. Sopir dan kenek terlihat sibuk mencari penumpang. Tepat di depan bus jurusan Kp. Rambutan-Ciputat, seorang timer dengan wajah kumal sibuk menghitung duit yang diperoleh dari setiap bis yang mangkal antri di jalur (line) masing-masing.

Para penumpang sibuk mencari bangku kosong. Sayang bis di depannya sudah terisi, gadis berkerudung itu turun kembali masuk ke mobil berikutnya yang mangkal persis di belakang mobil paling depan. Asongan dan loper koran naik-turun bis menjajakan barang dagangannya. Mulai dari tisu, air minum, masker penutup hidung sampai peniti yang diobral dengan harga murah meriah.

Di lahan terminal yang terhampar luas ini mobilitas ekonomi dimulai sampai larut malam. Ada yang berangkat kerja, pulang kampung atau sekadar pergi cukup dengan singgah di terminal ini semua jurusan bis kota antar dalam dan luar kota tersedia. Tak ada keraguan, kecuali memang yang belum tahu sama sekali. Untung masih terdapat sebagian orang yang ramah di lahan ini untuk memberikan informasi jalur bis.

Suasana mulai terasa panas. Polusi dan aroma pesing memecah suasana yang sarat kendaraan. Baru dua menit duduk di bangku bis alunan suara pengamen diiringi gitar akustik sedikit memberikan spirit, maklum tembang pop populer yang didendangkan terkontaminasi dengan cengkok jawa tulen sang pengamen. Lumayan cukup menghibur, uang receh keluar dari saku untuk ikhtiar baiknya menghibur penumpang.

Peluit panjang terdengar dari bibir timer (whistle blower), suatu isyarat bis harus berangkat. Di luar gerbang terminal masih ada penumpang yang naik. Udara dalam bis kian panas. Penumpang mulai saling berdesakkan. Tak jarang sesama penumpang saling curiga. Konon di dalam bis kota itu masih terdapat tangan ajaib (wonder hand) yang siap menyelinap masuk ke kantong saku atau tas penumpang mengincar dompet, handpon atau barang berharga lainnya.

Pasalnya, menurut kenek bis yang mau membuka diri untuk berbagi informasi hampir setiap bis kota di terminal ini ada salah satu wonder hand yang sulit diprediksi. Aksi mereka cukup taktis dan strategis, sebab mereka juga berpakaian rapih layaknya orang bekerja ke kantor dan memiliki jaringan sel yang kuat (networking). Pantas jika masih ada korban dari penumpang yang bernasib naas.

Itu sebabnya bis kota belakangan ini menjadi moda transportasi yang tak ramah. Belum lagi ulah awak bis yang seenaknya sendiri. Misalnya menurunkan penumpang tidak pada tempatnya atau menambah jumlah penumpang yang kelewat batas dan menyesakkan tanpa mengindahkan risiko yang akan terjadi. Di tambah lagi citra buruk awak bis yang ugal-ugalan seperti yang terjadi kemarin di Menteng, Jakarta Pusat, dua bis kota (KOPAJA) bertabrakan. Untungnya tidak ada korban jiwa.

Walau begitu, bis kota di Jakarta menjadi moda transportasi darat favorit dengan segala kelemahan dan keunikannya. Apalagi operasi Zebra tak punya taring sedikitpun untuk mengatasinya. Padahal, pemerintah DKI Jakarta sudah memberikan moda transportasi alternatif seperti busway di tengah kemacetan kota Jakarta.

Sudah saatnya pemerintah dan pihak terkait membenahi sistem moda transportasi di Jakarta. Sehingga tercipta moda transportasi yang nyaman dan enak. Namun, hal itu harus didukung kesadaran masyarakat. Seperti, para penumpang melakukan aksi protes (minimal menegur) awak bis yang ugal-ugalan dan mengangkut penumpang dengan jumlah yang tidak wajar.

Persoalan ini kerapkali tidak disadari masyarakat atau memang tingkat kepedulian masyarakat di kota Jakarta yang mulai pudar di tengah kepengapan dan kesibukan mobilitas sosial yang hingar-bingar.
Read More …

October 11, 2010

Indonesia Book Fair 2010

Oleh : Nazhori Author


Pada 2 Oktober 2010, tepatnya hari Sabtu, di Senayan, Jakarta dibuka Indonesia Book Fair 2010. Pameran buku ini diikuti berbagai macam penerbit dari dalam dan luar negeri, perpustakaan dari berbagai instansi dan pemerintah daerah, media massa, toko buku, dan lain-lain. Tidak lain salah satu tujuannya adalah meningkatkan daya baca dan beli masyarakat terhadap buku sebagai jendela informasi dunia.

Bagi masyarakat, pameran buku merupakan pesta buku yang istimewa. Karena berbagai macam buku tersedia dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, melalui pameran buku masyarakat diharapkan dapat meningkatkan tradisi membaca dan menulis di saat tradisi lisan masih sangat dominan dalam cara masyarakat berkomunikasi setiap hari.

Kuatnya tradisi lisan sedikit banyak mengabaikan tradisi membaca dan menulis. Padahal membaca dan menulis merupakan pesan pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pantas jika buta aksara adalah penyakit yang dirisaukan oleh setiap negara di belahan bumi ini sebab akan mengakibatkan masyarakat menjadi bodoh dan miskin.

Seperti dilaporkan UNESCO pada hari Aksara Internasional 8 September 2010 disebutkan bahwa Buta aksara atau buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Di dunia ini jumlah buta huruf masih banyak terdapat di negara-negara miskin dan berkembang atau negara dunia ketiga.

Pesan Membaca al-Qur’an
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita nikmati saat ini, masih banyak ditemukan penyandang buta aksara yang tersebar di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Yang lebih mengenaskan di antara mereka yang buta aksara berada di usia produktif (15-30 tahun) tidak mengerti membaca dan menulis. Terutamanya yang dominan adalah kaum perempuan.

Dari data terakhir yang dicatat Kemendiknas di tahun 2009, jumlah penduduk yang buta aksara adalah sebanyak 8,7 juta penduduk yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal Kementrian Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad mengungkapkan jumlah perempuan yang masih buat aksara di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan lelaki. “Dari komposisi penduduk buta aksara, 64 persen perempuan masih buta aksara (Koran Tempo, Senin, 06 September 2010).

Inilah tugas berat pendidikan bagaimana mengentaskan buta aksara yang menimpa seseorang di usia produktif. Dalam Islam al-Qur’an telah menekankan tentang pentingnya membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar manusia senantiasa belajar untuk memaknai dan memuliakan kehidupan agar lebih bermakna. Sehingga pemahaman akan pengetahuan dan keagamaannya menjadi bekal hidup di dunia dan akhirat.

Adalah sangat relevan jika pertama kali ayat al-Qur’an diturunkan ke muka bumi yaitu surat al-’Alaq dan al-Qalam. Di dalam kedua surat tersebut menurut Imam al-Khazin (1995) di dalam Tafsir al-Khazin al-Musamma libabi al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (dalam Abdul Mu’ti, Deformalisasi Islam, 2004) kata al-Qalam, yang berarti kegiatan membaca dan menulis disebutkan diawal surat. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, demikian tafsir pedagogis ayat tersebut.

Tidak diragukan lagi, sejak al-Qur’an diwahyukan Abdul Mu’ti (2004) berpendapat bahwa menulis berkembang menjadi tradisi baru masyarakat Arab. Tradisi ini memperkuat halaqah ilmiah di mana para sahabat secara resiprocal saling membaca, mengoreksi, dan menyempurnakan bacaan dan hafalan al-qur’an. Tidak mustahil dalam perkembangannya muncul beberapa ahli hadis dan tafsir.

Hingga pada zaman keemasan Islam, berbagai macam judul buku ditulis tentang fikih, ibadah, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain sebagainya. Tradisi ilmiah tumbuh seiring dengan kebebasan berpikir, berdialog dan berkumpul untuk menciptakan sekolah pengetahuan yang sampai saat ini karya-karya tersebut menjadi buku-buku referensi yang tak lekang ditelan waktu.

Seiring dengan modernitas dan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, buku-buku menjadi guru kedua (second tutorial) dalam mendidik masyarakat untuk memperoleh pengetahuan. Ditambah lagi dengan buku-buku online yang tersedia di jaringan internet semakin memupuk harapan tradisi membaca dan menulis kian tumbuh di tengah masyarakat untuk mengurangi buta aksara. Dengan catatan akses informasi dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

Buku Jendela Pengetahuan
Buku dalam arti luas adalah mencakup tulisan atau gambar yang ditulis atau dilukis dalam suatu media. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (2002) buku berarti lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Ada juga yang berisi tulisan atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca. Tulisan atau gambar ini kemudian disebut dengan pengetahuan.

Dahulu dalam sejarah peradaban Islam para sahabat dan pengikut Nabi, agar hafalan mereka tentang al-Qur’an dan hadisnya tidak hilang atau lupa dianjurkan untuk ditulis. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a.bahkan berpesan dalam suatu riwayatnya kurang lebih demikian, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Pesan ini belakangan menjadi judul populer sebuah buku berjudul Mengikat Makna yang ditulis Hernowo.

Buku tersebut pada dasarnya menurut Hernowo (2001) menekankan pentingnya memadukan aktivitas membaca dan menulis dengan displin agar dua kegiatan tersebut dapat memberikan makna (manfaat) kepada pelakunya. Dan, bukan hanya buku yang dapat diikat maknanya, kehidupan diri kita sehari-hari pun dapat diikat maknanya. Sederhananya, buku tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat Indonesia untuk mampu dan mau membaca dan menulis secara “fun“.

Oleh karena itu, buku sebagai jendela dunia merupakan salah satu sarana bagaimana mengikat makna kehidupan dalam sebuah tulisan. Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang dianjurkan Islam, terutama jika ingin mencerdasi (mengkhalifahi) lika-liku kehidupan dengan ilmu. Membaca dapat mengajak diri kita ke lembah-lembah pengetahuan di mana mata air ilmu berada.

Membaca juga memotivasi diri kita untuk bertafakur, mengolah hati dan pikiran dengan jernih secara sistematis. Sehingga dalam menemukan ilmu dan mengamalkannya manusia tidak takabur dan besar kepala terhadap orang lain. Sebaliknya, Hernowo mengatakan (2001) menulis akan membantu kegiatan membaca agar tidak sia-sia. Menulis dapat menata dan menyusun seluruh pengetahuan yang masuk ke dalam diri menjadi arsip-arsip ilmu yang kaya dan mudah diakses kembali. Sehingga, ‘mengikat makna’ sejalan dengan semangat mencari ilmu.

Karena itu, pameran buku yang digelar di Jakarta setiap tahun ini, bukan sekadar pesta buku tahunan yang diselenggarakan secara rutin. Lebih jauh lagi diharapkan sebagai media berbagi informasi dan pengetahuan khususnya kepada masyarakat. Semoga tradisi membaca dan menulis menjadi counter culture untuk memberantas buta aksara dan buta moral. Wallohu ‘alam
Read More …

September 8, 2010

Dari Mudik Jadi Mudhik

Narablog: Nazhori Author



Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu setiap kaum muslim di belahan bumi ini. Selain mengharap pahala dan barokah, di bulan mulia ini pula ampunan dari Allah menjadi motivasi spiritual tersendiri dan bersifat privasi. Karena itu, segenap umat muslim benar-benar menikmati menjaga lapar, dahaga dan amarah agar tidak tergoda dari bujuk rayu syahwat yang menggelora.

Dalam menyambut hari kemenangan (Idul Fitri) setelah melewati ujian di bulan ramadhan ada satu tradisi unik di Indonesia yaitu mudik. Suatu peristiwa budaya yang tidak hanya bertumpu pada silaturahim lebih dari itu mudik merupakan ajang atau tempat berkumpul sesama kerabat di kampung halaman. Sedih, gembira, tangis dan tawa bercampur menjadi satu cerita untuk berbagi kenikmatan (tahaaduts bi ni’mah).

Mudik dalam perspektif budaya selalu memerlukan intensitas peristiwa atau momentum terutama seperti di bulan ramadhan ini. Dari sanalah kekuatan paguyuban di kampung halaman membuncah sebagai salah satu unsur pembentuk komunikasi spiritual dan sosial sesama kerabat. Dan mampu melintasi sekat-sekat status sosial saat mencari nafkah di kota.

Dari kampung halaman ini lahirlah kosakata mudik. Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah pulang ke kampung halaman. Biasanya seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. Merekalah pemudik yang rindu ke udik (kampung halaman). Setiap tahun menjelang lebaran muncul peristiwa bahasa, istilah, dan trend yang menjadi ciri khas tersendiri di bulan ramadhan yaitu mudik. Sehingga lebaran tidak terasa nikmat jika tidak pulang kampung.

Inilah fitri sebuah jalan agar manusia kembali kepada fitrahnya. Di sini, setiap manusia dituntun melalui empat jalan kebajikan, yaitu puasa ramadhan, memperbanyak salat sunah, sedekah, membayar zakat fitrah, dan saling memaafkan kesalahan. Nuansa kebajikan sangat kental di bulan ramadhan karena memang Islam menekankan kebajikan untuk memperkuat fondasi iman.

Senada dengan mudik. Fitrah dalam konteks ini menekankan dan mengingatkan kepada orang-orang dari desa yang pergi ke kota untuk mencari nafkah dan menjadi sukses agar selalu ingat sejatinya dari mana ia berasal. Seseorang tidak akan menjadi sukses jika tidak ada niat dan ikhtiar dari desa untuk mencari rejeki di kota. Tanpa keberadaan kota mustahil orang desa tertarik datang ke kota.

Oleh karena itu, mudik sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Idul fitri hanyalah momentum atau peristiwa spiritual yang mengalami kontak langsung dengan budaya sehingga tampilannya semakin kompleks dan kosmopolitan. Hal ini tercermin dari ekspresi para pemudik, bahwa modernisasi menyebabkan mobilitas individual yang mengharuskan mereka pulang ke kampung halaman meninggalkan kota untuk sementara.

Di samping itu, jika dahulu mudik menggunakan moda transportasi kapal laut, kereta api dan bus, kini mudik bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil dari hasil jerih payahnya di kota. Bahkan bagi mereka yang betul-betul sukses pesawat menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi untuk pulang kampung. Jika dipikir-pikir biaya mudik memang tidak sedikit, tapi rasa bahagia dan cinta kasih mampu menepisnya.

Ada dua wajah di saat mudik lebaran yang mengisi ruang spiritual dan sosial itu. Di satu sisi, spiritualisme mudik menarik garis antara silaturahim dan kekerabatan. Namun di sisi lain, energi mudik juga mengandung referensi ke situasi yang paradoksal.

Misalnya mudik dengan kendaraan roda dua yang melebihi batas, karena di dalamnya tersimpan kata hati-hati. Jika tidak maka akan mengalami kecelakaan. Dalam suasana mudik yang gembira kadang-kadang, pemudik lupa atas keselamatan dirinya dan orang lain sehingga mengaburkan substansi dari mudik itu sendiri. Sehingga ada orang yang salah paham dengan mudik sehingga menjadi paradoksal.

Contoh lain misalnya, sudah tahu penuh dan sesak masih ada pemudik yang membawa barang-barang melebihi kapasitas dan kemampuannya. Akhirnya menjadi menyiksa diri. Atau bagi pemudik yang kurang hati-hati dalam mengendarai yang berakibat fatal karena kecelakaan, seperti dikabarkan oleh media cetak belakangan ini.

Mudik merupakan peristiwa sosial yang terjadi berbarengan dengan motivasi spiritual di bulan ramadhan. Barangkali kondisi semacam ini semakin menguatkan agama secara fungsional bagi para pemeluknya khususnya umat muslim. Ada semacam hubungan positif antara agama dan solidaritas organik di dalam masyarakat modern yang sarat dengan pembagian kerja.

Bagi sosiolog seperti Durkheim, solidaritas organik tidak dapat dilambangkan oleh hal-hal atau benda-benda yang sakral. Tapi tanpa melakukan upaya sakralisasi, mudik sendiri secara tidak langsung menjadi lambang atau simbol bagi umat muslim apabila lebaran akan tiba. Sehingga secara psikologis motivasi untuk pulang ke kampung halaman menjadi suatu kebiasaan yang khas dan unik.

Bahkan tidak jarang terjadi adanya rasa tidak puas apabila menjelang lebaran tidak pulang kampung. Sementara faktor ekonomi tidak mendukung bagaimana caranya agar dapat pulang kampung. Tinggal yang tersisa ialah rindu akan kampung halaman dan silaturahim yang tertunda sementara.

Selain itu, mudik juga bermakna kerinduan antara anak dan orangtua. Pantas jika dalam ajaran Islam yang menyeluruh barangkali tidak ada perkara yang sedemikian pentingnya seperti hubungan antara anak dan orangtua. Demikian pesan berbakti kepada orangtua dalam peristiwa mudik. Tidak terkecuali terhadap keseluruhan keluarga dan kerabat untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun.

Dari keterangan singkat ini, jelas bahwa mudik tidak bisa dipisahkan dari peran dan fungsi agama. Karena di dalamnya terdapat dua dimensi hidup manusia, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Persaudaraan dan pertalian cinta kasih mampu menjembatani kerinduan yang lama terpendam. Di kampung halaman dengan mudik semua bisa menjadi tertawa (bahasa arab: mudhik) tentang makna hidup dan kampung halaman. Wallohu ’alam
Read More …

August 4, 2010


Cobek dan Kisah Bocah-Bocah Letih


Narablog: Nazhori Author







Ulekan, ya itu namanya atau cobek, piring batu yang digunakan sehari-hari untuk menggiling cabai, bawang dan rempah-rempah lainnya. Cobek biasa digunakan di dapur rumah, restoran, rumah makan, dan warteg. Sebuah alat menggiling rempah-rempah peninggalan sejarah di zaman batu (megalitikum dan neolitikum) yang sampai saat ini masih berguna.

Kendati sekarang muncul alat giling generasi baru seperti blender yang praktis, tetap saja cobek menjadi pilihan utama untuk menggiling rempah-rempah agar menghasilkan cita rasa yang khas. Bentuk dan beratnya pun menjadi keunikan tersendiri. Apalagi, jika cobek itu menemani para ibu rumah tangga di dapur hampir puluhan tahun, akan semakin unik. Untuk mendapatkannya bisa dibeli di pasar tradisional terdekat.

Ini bukan cerita, tapi fakta. Cobek yang biasa terdapat di pasar tradisional sekarang ada di pinggir jalan. Tepatnya di sepanjang jalan raya Transyogi, Cibubur, Jakarta Timur. Sebuah jalan yang hampir setiap hari dilalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui sepanjang jalan raya Transyogi adalah jalan raya yang di sisi kanan dan kirinya terdapat perumahan mewah dan elit.

Mungkin Anda akan tercengang melihatnya. Cobek tersebut tidak dijajakan di warung atau toko alat-alat perlengkapan dapur. Tapi dijajakan persis di pinggir jalan. Ingin tahu siapa penjualnya? Penjualnya adalah anak-anak di usia sekolah. Suatu hari pernah saya bertanya. Berapa berat cobek yang dipikul itu, dik? Beratnya bisa mencapai 5 Kg lebih mas. Mendengar jawaban itu, kaki terasa lemas sepertinya.

Setahun lebih sudah bocah-bocah pemikul cobek itu berada. Atau bisa jadi lebih dari itu. Waktu terus berlalu. Lagi-lagi fakta menuliskan cerita baru lagi. Ternyata, bocah penjual cobek keberadaannya tidak hanya di pinggir jalan Transyogi. Mereka ada di sekitar perumahan tepatnya di Gunungputri, Bogor. Salah satunya di lingkungan perumahan Griya Bukit Jaya.

Entah sudah berapa banyak masyarakat yang mengangkat cerita tentang bocah-bocah itu di media online. Tapi kemunculannya belakangan mengundang tanda tanya. Konon keberadaannya diorganisir. Singkatnya, ada yang mengantar dan menjemput. Siapa gerangan yang memanfaatkan keluguan dan kelemahan bocah-bocah itu. Seharusnya mereka menikmati hari-harinya di sekolah. Bermain dengan teman-teman sebaya, mengisi hari demi hari dengan canda dan tawa.

Beberapa pekan yang lalu, mereka kembali dengan aktivitasnya dengan memikul cobek yang berat itu. Di wajahnya tersimpan masa depan yang hampir punah. Dengan pakaian lusuh mereka tertidur pulas beralas koran tanpa peduli udara dingin dan kotor di malam hari. Rupanya tak ada beban sedikit pun di wajah mereka. Tapi, sorot matanya yang sayu tidak dapat menyembunyikan keletihannya.

Namun, belakangan ini timbul pertanyaan yang kerap mengusik hati nurani kita. Apakah mereka bagian dari korban eksploitasi anak? Atau korban dari proses pemiskinan yang kian hari terus berubah bentuk dan kejadiannya. Fenomena ini bukan hanya di satu tempat, bisa jadi ada cerita yang sama di tempat yang berbeda, bagi Anda yang pernah menemukannya.

Apa salah bocah-bocah itu? Mengapa harus menanggung beban berat itu. Kita yakin mereka masih punya kesempatan untuk keluar dari lingkaran yang menjerat hak-hak dasar mereka. Atau kita harus menunggu bapak-ibu sosial yang akan mengulurkan tangannya untuk mereka?
Read More …

July 11, 2010

Muhammadiyah, Ideologi dan Obsesi

Oleh: Nazhori Author


Pembaruan (tajdid) di tubuh organisasi Muhammadiyah senantiasa menyisakan pertanyaan, apa makna pembaruan dalam realitas kehidupan kita saat ini? Kejayaan amal usaha Muhammadiyah merupakan aktualisasi dari ideologi menuju obsesi gerakannya. Dalam hal ini, warga Muhammadiyah khususnya dan kaum muslim umumnya hanya berperan sebagai pemerima pasif bukan subyek kreatif yang mencari makna pembaruan tersebut.

Dalam realitas, Muhammadiyah hanyalah seperangkat alat perjuangan yang di dalamnya terdapat prinsip dan tatanan nilai bukan “gerakan politik”. Hal itu dibuktikan dari terbentuknya kantong-kantong Muhammadiyah dari tingkat ranting sampai daerah yang memiliki komitmen bermuhammadiyah. Dalam perspektif ini, Muhammadiyah merupakan sarana untuk memecahkan persoalan dakwah di tengah kultur yang berbeda-beda.

Pada perkembangan berikutnya, terobosan-terobosan baru coba ditempuh oleh sebagian kaum muda Muhammadiyah dengan eksperimentasi pemikiran yang kritis, namun langkah itu belum berbuah manis karena energinya terlanjur terkuras dengan tekanan dan kerisauan liberalisasi pemikiran Islam. Akhirnya, jika boleh dikatakan semangat tajdid itu tertunda sementara. Dan, yang menarik, para kaum muda telah meletakkan pijakan awal untuk membaca gerakan Muhammadiyah di masa yang akan datang.

Begitu pula dengan konsep politik yang disajikan sebagian kaum muda Muhammadiyah melalui Partai Matahari Bangsa. Dengan harapan, tidak hanya sekadar menyalurkan syahwat politik, lebih dari itu bagaimana kaum muda dapat berinteraksi dengan dunia politik sehingga mendapat pengalaman politik yang berharga meski obsesi ini tidak berjalan lancar.

Ideologi Kaum Puritan
Perjalanan satu abad Muhammadiyah boleh jadi membuat organisasi Islam modernis yang sudah lama mengantongi ideologi tafsir purifikasi semakin matang. Atau sebaliknya terlampau berat menanggung beban berat ideologis yang kadung memberi kesan modernis dalam upaya reformasi keagamaan. Seolah-olah Islam murni menjadi sebuah keputusan absah dan tidak boleh diperdebatkan.

Hingga kini, penampilan Muhammadiyah sebagai organisasi reformis masih terus melekat. Sehingga ideologi ini begitu mengakar kuat di kalangan warga Muhammadiyah. Padahal sisi lain Muhammadiyah sebagai pelaku perubahan sosial jauh lebih dinamis ketimbang sebagai kekuatan politik tanpa harus melupakan akar ideologinya.

Oleh karena itu, rasionalitas juga menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah yang berusaha membuka ruang dialog terhadap tradisi yang sudah mapan. Dengan harapan Muhammadiyah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi bahwa antara agama, tradisi, budaya dan perubahan sosial memiliki arti penting terhadap sikap dan laku keberagamaan.

Dalam konteks inilah, menurut Alfian dalam bukunya Politik Kaum Modernis (2010) KH. Ahmad Dahlan memainkan peran penting dari sisi ideologi ke gerakan dakwah dan sosial di Yogyakarta. Sebagai ideolog yang pragmatis (man of action) KH. Ahmad Dahlan telah berusaha menjaga keseimbangan antara pemurnian dan pembaruan secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (A. Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa: 2010)

Atas dasar sudut pandang ini, Muhammadiyah ke depan setelah melewati satu abad pertama perjalanannya sulit kiranya untuk lepas dari tantangan-tantangan baru. Apalagi pascamodernisme gejala sosial yang ada telah mengejutkan tatanan-tatanan sosial dan kultural serta fondasi pemikiran dan keagamaan yang sudah dijalani bersama. Apakah mungkin Muhammadiyah hanya dengan bekal purifikasi mampu menjawab persoalan-persoalan umat manusia khususnya kaum muslim di tengah kekuatan globalisasi.

KH. Ahmad Dahlan dalam salah satu pesan pengajaran moralnya di Muhammadiyah menekankan pentingnya mengajarkan beramal dan bekerja (problem solving) dari al-Qur’an surat al-Ma’un dengan tulus. Ikhtiar tersebut merupakan kemampuan diri untuk menilai dan menimbang suatu persoalan secara seimbang. Agar dalam menghargai dan menilai sesuatu secara rasional sesuai dengan konteks dan zamannya.

Dengan demikian, semangat tajdid bukan terutama terwujud dalam tindakan pemurnian, melainkan menghindari yang buruk dan menerima yang baik tanpa mencela suatu hal (gagasan atau pemikiran) yang baru, berbeda bahkan kritis sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Di sinilah letak gerakan purifikasi Muhammadiyah dalam kerangka menafsir makna zaman yang dibawa Ahmad Dahlan hingga berhasil menyebar dari tanah Jawa ke seluruh wilayah Indonesia.

Beliau berhasil mendudukan ideologi dalam aksi sosialnya sehingga obsesi pembaruannya dapat terwujud. Lantas di zaman sekarang ini, obsesi apa nantinya yang akan ditumbuhkembangkan oleh generasi-generasi muda di Muhammadiyah. Apakah akan memproduksi dan mereproduksi gagasan dan aksi barunya secara menyegarkan.

Angkatan Muhammadiyah Euphoria
Mengulas tentang perdebatan Muhammadiyah dalam berbagai perspektif tentunya tidak akan ada habisnya. Apalagi kita mengenal Muhammadiyah dari dalam sendiri, dan sejarah Muhammadiyah ditulis oleh orang Indonesia. Demikian halnya pada Indonesianis, mereka menulis Muhammadiyah karena memang Muhammadiyah memiliki daya tarik untuk diteliti dan dikritisi.

Padahal untuk menilai Muhammadiyah tidak cukup dari satu sisi, tapi dari beberapa sisi. Dengan begitu hal-hal yang bias dan timpang dapat dihindari. Jadi, ada semacam spektrum yang luas untuk menilainya. Sekalipun ada yang mempercayai bahwa Muhammadiyah telah terkena penyakit sipilis. Apapun risikonya Muhammadiyah harus mewujudkan obsesinya sebagai tenda bangsa.

Obsesi-obsesi itu sebenarnya telah lama didengungkan oleh angkatan Muhammadiyah euphoria. Misalnya, Muhammadiyah sebagai tenda kultural, Muhammadiyah sebagai rumah intelektual meminjam istilah Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah entepreneurship dan sebagainya. Setidaknya obsesi-obsesi ini terus mengemuka belakangan ini sebagai bentuk menyatakan diri dan ekspresi kritis dari kalangan kaum muda yang cinta dan peduli pada Muhammadiyah.

Euphoria yang dimaksud di sini adalah bukan semata-mata kegirangan, melainkan bangga dan merasa memiliki. Dan karenanya, tanpa melupakan akar tradisi lama, apa yang dipandang usang, dekaden, harus “ditransformasi” agar obsesi mengobarkan semangat tajdid jilid 2, menemukan momentumnya yang tepat. Sehingga obsesi ini diwarnai oleh semangat pembebas dari kepungan pemikiran yang jumud.

Dalam konteks seperti inilah, ketika bermuhammadiyah keputusan-keputusan penting tidak berhenti pada persoalan fikih dan muamalat yang obsesinya terangkum dalam memotong gelombang takhayul, bida’ah dan khurafat (TBC). Dengan kata lain, obsesi yang berfungsi sebagai proses kritik sosial. Maksudnya agar semangat tajdid sebagai teks yang mengalami dinamika dan perubahan situasi dapat tetap terjaga relevansinya.

Akhirnya, selamat bermuktamar Muhammadiyah, semoga menjadi kekuatan baru politik yang menjunjung tinggi amar ma’ruf nahi munkar dengan obsesi luhurnya yaitu Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama. Wallohu a’alam
Read More …

January 21, 2010

Ke Jalan Raya Mencari Cermin Sosial

Ke Jalan Raya Mencari Cermin Sosial

Di sela-sela kemacetan lalu lintas Jakarta, tepatnya di Jl. Kartini, Jakarta Selatan menuju Jl. TB. Simatupang, Jakarta Timur, hujan mengguyur meski tidak terlalu deras, namun membuat jalan raya menjadi licin. Rabu sore, minggu kedua bulan Desember 2009, suasana itu masih teringat jelas di kepala saya. Seperti biasa, waktu itu jam pulang kerja lalu lintas padat merayap. Saya tetap konsentrasi mengatur jarak dan laju kecepatan motor saya dengan pengendara motor di depan saya.

Tiba-tiba, pengendara motor yang berada persis di depan saya menabrak pengendara motor yang ada di depannya lagi. Kontan saja, pemilik kendaraan itu berhenti dan marah, seraya ngomel-ngomel dan berkata: “Mas punya mata apa enggak”. Si penabrak pun menjawab: “Punya Pak, maaf...maklum pak tidak sengaja, karena Bapak juga berhenti (ngerem) mendadak.

Situasi normal kembali, dan pengendara lain pun termasuk saya memaklumi itu. Tapi, posisi tetap sedia kala, antara yang nabrak dan ditabrak berjalan tanpa ada sisa kejadian apapun. Persis di depan saya. Tidak lama kemudian, praaakk, kejadian itu terulang lagi. Keadaannya berubah, pengendara yang ditabrak turun dari kendaraannya. Langsung naik pitam. Sang pemuda, dengan sabar menerima caci- maki yang kedua kali. Dan, langsung minta maaf. Untungnya, otot tidak ketemu otot.

Keduanya saling adu argumentasi untuk menjelaskan duduk perkara yang telah terjadi. Sekali lagi, jalan macet. Anehnya, karena budaya masyarakat kita masyarakat tontonan, kejadian itu ibarat tontonan gratis tanpa pernah peduli bahwa kejadian itu bisa menimpa siapa saja. Itulah fakta yang terjadi di lapangan yang menghiasi situasi sumpek kota Jakarta.

Semuanya serba ada, ibarat toko. Dari situasi konyol, serius, bercanda, hati-hati, sampai menangis tersedu-sedu. Bayangkan saja, seorang anak menjerit kesakitan, setelah jatuh dari sepeda motor yang dikendarai ayahnya terpeleset karena licinnya jalan raya yang baru saja diguyur hujan. Tapi, masih untung kepekaan sosial pengendara yang lain tertuju kepada kejadian itu dan lekas menolongnya. Jika tidak, entah apa yang terjadi!

Tapi, yang lebih tragis kejadian di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Situasi jalan raya masih macet. Hanya saja, ini dalam perjalanan menuju kantor. Tak dinyana, pemuda yang mengendarai motor persis di samping saya tiba-tiba jatuh membentur trotoar yang ada di sebelah kanan. Seribu pasang mata tertuju haru melihat kejadian itu. Setelah diamati dengan seksama, pemuda itu jatuh bukan karena tabrakan atau kecelakaan tunggal. Melainkan pengendara itu jatuh karena mengidap penyakit maaf, Ayan. Untung saja, kepekaan sosial masyarakat kembali diuji untuk menolongnya.

Hal itu dibuktikan dengan kejang-kejang dan mulut berbusa. Saya berpikir, mengapa orang tuanya memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengendarai motor, padahal anaknya memiliki penyakit yang tidak bisa disepelekan. Di mata praktisi manajemen risiko, mungkin orang tuanya boleh dikatakan tidak antisipatoris. Membiarkan anak dihadapkan pada suatu risiko yang sulit dibayangkan. Terlepas dari penilaian itu, mestinya antara anak dan orang tua sama-sama mengerti dan bijak, tukas saya, dengan nada emosional. Bayangkan kalau terjadi apa-apa, demikian hati kecil berbicara tanpa melanjutkan untuk bicara. Ahh...tidak, mungkin saya terlalu imajiner, gumam saya.

Dalam kesempatan yang lain, ada perubahan pada pola dan ritme para pengendara motor. Bisa dikatakan lebih arif, lucu, emosional bahkan sekadar mengingatkan dan mengandung unsur narsis. Namun, itulah buah kreativitas seseorang yang cerdas membaca peluang pasar dengan menciptakan ide-ide segar melalui sticker yang kerap kali ditemui pada salah satu bagian body sepeda motor, khususnya di spartboard bagian belakang.

Sejak motor matic membanjiri jalan raya, sejak itu pula persaingan ketat antara produsen sepeda motor dimulai. Genderang persaingan ditabuh. Intinya untuk memikat masyarakat yang mengalami gangguan pola konsumsi terhadap kebutuhan sekunder dan tersier. Setiap ada barang baru, keinginan untuk memiliki muncul sebagai wujud ketertarikan tanpa melupakan aspek nilai guna.

Perubahan ritme ini ditandai dengan produsen motor yang memanjakan konsumen dengan motor matic tanpa harus oper gigi. Tinggal tarik gas, motor melaju kencang, demikian gambarannya. Dari sinilah ide kreatif muncul para pembuat sticker untuk berburu laba. Menariknya, ide kreatif itu disambut hangat pengendara motor.

Hari gini oper gigi, demikian tertulis jelas di sebuah motor matic yang pada waktu itu dikendarai gadis cantik. Tidak mau ketinggalan seorang biker yang gagah dengan mantap mendahului dari sisi kanan saya, lagi-lagi dibelakang motornya tertulis kalimat hari gini ompong di sticker konyol itu. Saya hanya tertawa geli diiringi perut sakit karena tidak tahan melihatnya pertama kali. Ternyata, dalam dunia industri sepeda motor dikotomi antara laki-laki dan perempuan begitu jelas terlihat, demikian saya tidak menyangka.

Padahal persoalan gender sedang marak dibicarakan dalam kacamata politik, sosiologi, budaya, agama dan urusan domestik rumah tangga. Faktanya, itulah yang terjadi. Sementara itu, sebagai penghibur para pengendara motor di Jakarta, sticker itu juga menyajikan kalimat yang humor, konyol, dan menyentuh hati. Setidaknya untuk mengusir kepenatan, rasa emosi dan jengkel para pengendara motor di tengah kemacetan.

Kalimat itu banyak ditemui di ruas-ruas jalan raya Jakarta, menempel di sejumlah kendaraan bermotor dengan rapi. Misalnya, dengan gaya narsis dan primordial kalimat itu bertuliskan: Motor aing, kumaha aing. Ada lagi dengan kalimat konyol dan lugas berbunyi: Motor kredit dilarang nyalip. Di samping itu, dengan ungkapan spiritual ada yang berhaluan teologis, yaitu, Ya Tuhan, berkahi motor ini. Atau sekadar mengingatkan pengendara yang lain dengan kalimat: Jaga jarak Mas. Sampai yang mengundang emosi: Lho nyenggol gue embat.

Masih banyak kalimat-kalimat lain yang tidak bisa diuraikan di blog ini. Tak hanya itu, tulisan sederhana ini sekadar berbagi pengalaman dalam konteks melihat situasi sosial yang terjadi di masyarakat yang metropolis. Dengan kata lain, reality show seribu aura kendaraan di Jakarta.

Dari sini, setidaknya kita bisa menilai bahwa dalam dunia teks, kalimat-kalimat tak terduga bukan hanya milik media massa. Di luar sana, ada tangan-tangan dingin yang berusaha memposisikan kalimat sebagai kritik sosial lewat sepotong kertas sticker. Dengan demikian, dari sudut pandang analisis teks media, sticker-sticker tersebut tidak lain sebagai tanda dan penanda realitas sosial yang diwakili para pengendara motor di jalan raya.

Sebagaimana diketahui, teks tidak hadir dalam ruang hampa, teks hadir bersama dengan perubahan sosial yang terus terjadi di tengah masyarakat. Apalagi jika kita cermati kalimat-kalimat di sticker itu secara tidak langsung melukiskan pencitraan bagi si pengendara motor itu baik untuk dirinya dan orang lain. Yang penting adalah bagaimana menyikapi kalimat di sticker-sticker itu sebagai cermin sosial di tengah masyarakat Jakarta yang pluralis dan konsumtif. Wallohu ‘alam.
Read More …

July 1, 2009

Dari Perempuan sampai Soal Lingkungan

Oleh: Nazhori Author


Tanggal 27 Juni 2009 yang lalu saya menghadiri sebuah diskusi di salah satu organisasi perempuan yang membedah soal Reproduksi Perempuan dan Lingkungan. Pembicaranya perwakilan dari civil society organization yang bergerak di bidang lingkungan. Dengan lugas menggambarkan bahwa perempuan khususnya di Jakarta sangat rentan mengalami gangguan reproduksi mengingat kota Jakarta tingkat pencemaran polusinya sangat tinggi.

Hal ini dikatakannya berdasarkan hasil penelitian yang menerangkan bahwa dampak polusi dan pencemaran lingkungan sangat memengaruhi bayi yang dilahirkan Hebatnya lagi, besar kemungkinan bayi yang dilahirkan adalah perempuan. Mendadak saya bertanya-tanya sebesar itukah dampak yang terjadi pada kehidupan manusia. Yang pasti saya menangkap intisari dari diskusi itu suatu kerisauan yang besar tidak terkecuali masyarakat pada umumnya tentang pencemaran lingkungan.

Jakarta yang terkenal sebagai kota metropolitian mengundang banyak perhatian masyarakat seantero Indonesia untuk mengadu nasib di Jakarta. Sampai-sampai seorang tukang nasi goreng berseloroh bahwa apapun di Jakarta jika punya kemauan dan tidak gengsi akan menghasilkan duit. Rasional memang ungkapan pria yang bernada Jawa-Tegal tersebut. Wajar jika laron-laron daerah datang berbondong-bondong ke Jakarta yang menyimpan sinar cahaya kehidupan gemerlap.

Untuk urusan lalu lintas saja di Jakarta tidak terbayangkan semrawut-nya. Setiap ruas jalan di Jakarta tidak luput dari jebakan macet. Maklum para pegawai atau karyawan yang mencari nafkah di Jakarta berasal dari Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok dan daerah satelit lainnya yang mengubungkan dengan kota Jakarta. Alhasil, pencemaran lingkungan dan polusi cukup merisaukan. Meskipun sudah diberlakukan hari bebas kendaraan faktanya belum bisa menurunkan angka pencemaran udara.

Segala upaya dilakukan Pemkot DKI, sampai pembuatan jalur Bus Way dan kesadaran sebagian warga Jakarta pergi ke kantor menggunakan sepeda tetap belum menyita perhatian para pengguna kendaraan pribadi. Paradoks memang antara cita-cita hijau dengan realitas sesungguhnya di depan mata. Memiliki dan menikmati kendaraan pribadi sebagai hasil dari jerih payah dan buah kesuksesan adalah fenomena tersendiri. Di lain pihak, sebagian mengatakan bahwa hal ini adalah ekses dari buruknya manajemen moda transportasi di Jakarta dan lemahnya tata ruang kota yang tunduk pada kaum kapitalis.

Dalam arena rumah tangga pun pencemaran lingkungannya terbilang besar. Mulai dari limbah dapur, limbah air dan busa sabun menghiasi saluran air di perumahan penduduk Jakarta. Bisa dihitung jika setiap rumah di Jakarta tidak memiliki taman atau sisa tanah yang dapat dimanfaatkan untuk membantu menghijaukan Jakarta. Jikalau pun ada hanyalah pot-pot tanaman hias yang menggantung di halaman teras rumah dan terpajang berjejer di depan pagar rumah. Tidak lain hanya hobi musiman yang mengikuti tren tanaman hias yang nilai jualnya menggiurkan belakangan ini.

Kembali pada persoalan reproduksi perempuan dan lingkungan. Konon menurut beberapa pakar studi lingkungan dijelaskan bahwa kontribusi perempuan dalam hal pencemaran lingkungan tidak terbantahkan. Termasuk di dalamnya terhadap anak-anak. Maksudnya kebiasaan anak-anak untuk membeli makanan siap saji sangat dipengaruhi oleh keputusan ibunya. Tentu saja hal ini dibantah oleh kaum perempuan. Jikalau pun hal tersebut terbukti itu pun tidak lepas dari kekuasaan kaum pria sebagai pembuat keputusan di setiap lini kehidupan perempuan.

Adalah tidak masuk akal jika menyalahkan kaum perempuan sepenuhnya. Persoalan ini harus dilihat bukan hanya secara akademis tapi secara kultural peran serta kaum pria justeru paling dominan. Dalam perspektif pedagogis memang kita tidak bisa seenaknya menyalahkan kaum perempuan apalagi kaum laki-laki. Justeru hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kondisi yang sehat baik di lingkungan keluarga maupun tempat tinggal.

Pendidikan menjadi kata kunci utama bagaimana menunbuhkan kesadaran lingkungan yang sehat dan hijau. Kondisi ini setidaknya bisa dilihat dari sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Baik yang bekerja di sektor publik dan rumah tangga. Keduanya antara laki-laki dan perempuan banyak menghabiskan waktu bekerja untuk keperluan kantor dan rumah tangga. Sehingga untuk memperhatikan hal yang kecil seperti lingkungan sekalipun boleh dibilang sangat terbatas. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk buah hati mereka mulai dari sekolah, makan, sampai hal-hal kecil lainnya. Mengingat anak-anak sekarang waktunya habis untuk bermain di luar rumah sehingga kecil kemungkinan untuk membantu orang tuanya di rumah, meskipun tidak bisa dipukul rata.

Harus diakui anak-anak kita dirumah saat ini lebih sering jajan makanan siap saji. Mengapa hal ini terjadi? Jawabanya sederhana. Yaitu terkait dengan pola asuh orang tuanya dan pengaruh budaya masyarakat yang lebih melihat sisi ekonomis dan kepraktisan ketimbang pola asuh yang kreatif. Gejala ini juga didukung oleh menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang dekat dengan rumah. Akhirnya masyarakat dimanjakan dengan berbagai macam pilhan produk makanan dan minuman yang disediakan oleh market sebagai bentuk persaingan sistem kapitalis kecil tapi merepotkan.

Di rumah kita sendiri, jarang sekali para ibu membuat makanan tradisional yang sehat tanpa harus meninggalkan limbah sampahnya. Kue cucur, gemblong, kelepon, timus, dan aneka macam makanan tradisonal lainnya seakan-akan hilang dari budaya khas kuliner Indonesia. Semuanya tergantikan oleh makanan dan minuman siap saji. Mungkin hal ini menjadi salah satu faktor mengapa anak-anak kita dirumah seringkali melahap makanan dan minuman siap saji. Begitu juga dengan Ayah yang kurang perhatian akibat lelah sepulang dari kantor wajar jika hal-hal kecil luput dari perhatiannya untuk keluarga.

Oleh karena itu, semua jalan keluarnya hanya ada dalam hati dan kesadaran kita semua. Itu pun jika kita tidak ingin tertimbun oleh tumpukan bujuk rayu globalisasi yang setiap saat berganti wajah. Baik wajah lingkungan, kesehatan, makanan, minuman dan lainnya dengan inisial memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal negara kita adalah negara kaya akan hasil alamnya. Sayang pemimpin kita lebih memihak para kaum investor yang memanfaatkan alam untuk kepentingan sesaat. Seandainya alam ini diberikan dan dimanfaatkan untuk warga negaranya mungkin ceritanya akan lain. Wallohu álam
Read More …

October 19, 2008

Kantong Kosong

Oleh: Nazhori Author




Dadap sebut saja begitu, Ibu muda ini disapa. Ia agak kesal sepulang dari kantor ketika anak semata wayangnya tidak mau mandi. Anaknya lebih asyik lari ke sana ke mari. Dan, sesekali anaknya merusak perabotan rumah. Dadap dan suaminya yang bernama Waru, serba salah harus berbuat apa. Ia tidak mau melukai hati anaknya yang belum mengerti tentang suatu hal apalagi sampai memvonis anaknya nakal.

“Dasar anak nakal” mungkin kita sering atau pernah mendengar kalimat itu. Sepertinya kata nakal lekat dengan anak. Sejauh itu pula kita tidak pernah berusaha mencoba untuk tahu apa yang menyebabkan anak menjadi nakal. Apakah karena memang ada yang keliru dengan pola asuh kita atau lingkungan sekitar yang memengaruhi anak menjadi nakal.

Jangan berkecil hati, anak nakal itu biasa yang tidak biasa adalah jika kata nakal itu melekat pada orang dewasa. Mengapa tidak mungkin orang dewasa bisa menjadi nakal. Banyak kok di sekeliling kita. Believe it or not. Ya…begitu kira-kira. Biasanya parfum lama tapi kemasan botolnya yang beda, begitu kata orang.

Ga percaya, lihat aja sekarang banyak partai baru kemasan lama tapi ga nakal. Justeru yang “nakal” adalah cara orang berpikir untuk memperoleh kekuasaan. Yang penting punya gerbong dan tinggal cari lokomotifnya. Demikian juga yang muda ga ketinggalan akal bagaimana merebut kekuasaan dari kaum tua dengan cara yang manis.

Ingat, tapi jangan kaya Mat Pera saking panjang akalnya berlaku culas sama orang lain. Naluri nakalnya membuat Mat Pera kreatif. Bayangin aja, beras tengik bisa disulap jadi beras wangi pandan. Kasihan ibu-ibu yang belanja ke pasar sampai rumah berasnya dimasak berubah jadi nasi bukan kacang ijo. Bisa-bisanya Mat Pera begitu, bikin dongkol orang se-kabupaten.

Lain ladang lain kumisnya, belakangan ini banyak ditemui pedagang daging yang nakal. Ga kebayang bagaimana cara menyembelih seekor Sapi yang sebelumnya diisi air segentong. Dijual dengan istilah sapi gelonggongan. Atau ulah nakal pedagang ayam yang menambah bobot ayam dengan cara dijeksi air. Sementara Mat Tiren asik merias ayam yang mati kemarin supaya sedap dipandang mata.

Air bukan sekadar dimanfaatin kaum kapitalis menjadi minuman kemasan (bayangin aje bensin naik orang-orang pada ribut tapi air kemasan naik pada anteng. Siapa yang salah berpikir coba deh dipikirin lebih mahal mana air sama bensin). Tapi air mulai digunakan untuk kemunkaran sosial. Contohnya, miras oplosan yang merenggut belasan orang di Indramayu. Akibat simbiosis mutualisme antara air dan bahan-bahan kimia yang mematikan. Tentu saja ini adalah ulah otak nakal segelintir orang yang mencari keuntungan lewat jalan pintas.

Masih banyak ulah nakal yang lain yang ga bisa dijabarin panjang lebar. Diceramahin sudah, diumumin sudah, dikasih tau sudah. Tinggal pakai tangan yang belum. Kata hadis Rasulullah bila pakai tangan tetap ga bisa yang demikian selemah-lemahnya iman. Bisa jadi ada yang salah dengan pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah. Lagi-lagi pendidikan dijadikan kambing hitam. Apa ga ada yang lain yang lebih masuk akal dan masyarakat mengerti.

Upps....tunggu dulu, masih ada pemerintah yang punya power. Bukannya power ada di mana-mana. KPK aja bisa bongkar kasus suap Jaksa Urip dan Ratu “Artalita” Dolar. Kenapa yang lain ga bisa. Memang dilematis dan harus dimulai dari mana? Bangsa ini sudah ditakdirkan untuk mendapat cobaan. Kita semua ga tahu kapan bangsa kita dapat berdiri kokoh tanpa diintervensi bangsa lain. Atau bangsa ini seperti kantong kosong yang susah berdiri tegak.
Read More …

October 8, 2008

P a r a d o k s

P a r a d o k s

Oleh: Nazhori Author


Sore itu Ibu terlihat repot. Hati saya bertanya, ada apa dengan Ibu. Ayah baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melingkar di pundaknya. Dipicu rasa penasaran saya pun bertanya pada Ibu. “Ada apa bu, repot banget kayanya”. Jawabnya: “Kamu lupa ya adikmu yang ragil ulang tahun”. Oh iya. Saya kembali bertanya: “Terus mau ada apa bu?” Sudah jangan banyak tanya yang penting kamu siap-siap bantu saja, jawabnya dengan nada sumringah.

Usut punya usut, ternyata ulang tahun adik saya mau dirayakan lusa. Ibu berniat mengundang tetangga. Ayah pun mengamini rencana Ibu. Saya maklum, tapi hati kecil masih mengganjal. Mengapa Ibu merayakan ulang tahun adik, padahal dalam keluarga tidak pernah ada tradisi seperti itu. “Ada apa sebenarnya?”

Dengan nada datar saya berkata. “Ga biasanya Ibu merayakan ulang tahun”. Ibu menjawab: “dulu kan berbeda dengan sekarang. Ya, lebih modern gitu lho”. Sambil mengerutkan dahi saya bertanya-tanya apa hubungannya ulang tahun dengan kata “modern”. Ibu pun pergi dan kembali dengan suasana repotnya.

Orangtua saya mungkin lupa. Seingat saya, Odel kakaknya ragil kemarin mendapat surat dari sekolah yang isinya tentang tagihan 4 buku pelajaran yang belum lunas. Paradoks memang, hati kecil saya berkata. Kerapkali suatu prioritas terkalahkan oleh kebutuhan yang kosong substansinya. Atau karena memang gaya hidup (life style) yang berwujud pencitraan telah menjadi penumpang gelap di dalam tatanan hidup keluarga, meski itu adalah pilihan dan hak sesorang.

Entah apa jadinya jika pakar budaya “Jean Baudrillard” postmodernisme mengetahui rencana Ibu, mungkin Ia akan ngomel . Celakanya, gaji Ayah pas-pasan karena dipotong sana-sini untuk menutupi kebutuhan yang lain.

Kini, kondisi paradoks seperti itu tidak hanya hadir di ruang tamu rumah kita. Melainkan hadir di sekitar kita. Tengok saja angka kemiskinan yang semakin ekstrim. Antara lembaga yang satu dengan yang lain menghitung dengan data yang berbeda. Tidak mustahil jika pembagian BLT selalu ricuh. Tidak terkecuali dengan pembagian zakat yang baru-baru ini di Pasuruan, Jawa Timur berakhir tragis.

Belum lagi pengangguran intelektual yang terus membengkak semakin menambah senioritas pengangguran. Setiap tahun ribuan sarjana dihasilkan oleh perguruan tinggi tapi out put nya tidak selalu pas dengan lapangan kerja yang disediakan.

Berkali-kali rakyat dibodohi. Di pusat para wakil rakyat dengan suara lantang berteriak tidak setuju atas kenaikan BBM yang ditetapkan oleh pemerintah. Ironisnya, diam-diam mereka mendukung kenaikan gaji sendiri. Dengan strategi negosiasi cilukba wakil rakyat selalu mencari celah menggodok undang-undang tapi hasilnya sulit diharapkan.

Satu-satu persatu para wakil rakyat tumbang, tersangkut kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara palu pengadilan tak berbunyi di meja hijau karena hukum telah diperjualbelikan.

Padahal para Ustadz di layar kaca sudah memperingatkan untuk berlaku jujur, sabar dan adil. Apa boleh buat pituah Sang Ustadz hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.

Begitu juga dengan nasib Paijo yang baru 6 bulan tinggal di Jakarta niat hati mencari udara segar di Mal, malah terpikat bujuk rayu marketing kartu kredit. Hasilnya, sekali gesek tiga pulau terlampaui. Sehari tiga kali juga Ia dimaki-maki debt collector. Kita semakin tidak mengerti ilmu ekonomi apa yang digunakan perbankan yang ujung-ujungnya melatih masyarakat untuk ngutang dan konsumtif.

Akhirnya, ngutang telah menjadi budaya bangsa. Bangsa ini sudah tidak memilki negosiator “good boy” ulung bagaimana merayu lembaga keuangan internasional guna mengurangi utang yang tak kunjung lunas. Terlebih dengan kondisi negeri Paman Sam yang sedang krisis ekonomi. Jangan risau, demikian kata Bapak Presiden, seperti diwartakan di televisi.

“Globalisasi, sungguh terlalu”. Bagaimana dengan anggaran pendidikan 20 persen. Sampai sekarang belum terpenuhi. Kasihan Upi yang putus sekolah. Ayahnya hanya buruh bangunan. Sedangkan Ibunya hanya buruh cuci pakaian. Tentangganya Haji Abidin (Atas Biaya Dinas) sudah empat kali naik haji dan akan naik haji lagi. Tapi tidak tahu dan tidak peduli dengan keadaan Upi yang unik. Yang terpikirkan adalah menjadi Haji berkalung sorban.

Jika sudah demikian, kepada siapa Upi mengadu. Bukankah pintu agama selalu terbuka. Tunggu dulu jangan terkecoh, untuk tidak mengulangi kesalahan serupa alangkah baiknya kita melihat wajah agama dengan jernih. Sayang, sekali lagi sayang. Keimanan lagi-lagi diperebutkan. Atas nama kebenaran seseorang dengan gampang menghakimi agama orang lain bahkan saudara seiman karena sudah sesat.

Melihat negeri antah berantah ini, jadi teringat “Juggernaut” metafornya Anthony “The Third Way” Giddens. Maksudnya serangan yang datang bertubi-tubi di negeri yang makmur ini ibarat truk besar yang meluncur kencang dan tak terkendali. Alhamdulillah masyarakat tetap bertahan. Masyarakat akar rumput inilah yang patut diacungi jempol. Sepahit-pahitnya hidup kebutuhan mereka masih bisa terpenuhi meski harus jalan terseok-seok.

Tuhan memberikan nikmat hidup memang tidak tunggal. Pasti selalu berpasang-pasangan bahkan berlawanan. Persoalannya sekarang, bagaimana menyikapi situasi itu. Khoirul umuri auw shatuha (sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah). Lalu, bagaimana dengan mereka yang posisinya berada di pinggir (pheripheri) bukannya yang pinggiran bernasib buruk, lemah, miskin dan tertindas. Wallohu ‘alam



Read More …