July 1, 2009

Dari Perempuan sampai Soal Lingkungan

Oleh: Nazhori Author


Tanggal 27 Juni 2009 yang lalu saya menghadiri sebuah diskusi di salah satu organisasi perempuan yang membedah soal Reproduksi Perempuan dan Lingkungan. Pembicaranya perwakilan dari civil society organization yang bergerak di bidang lingkungan. Dengan lugas menggambarkan bahwa perempuan khususnya di Jakarta sangat rentan mengalami gangguan reproduksi mengingat kota Jakarta tingkat pencemaran polusinya sangat tinggi.

Hal ini dikatakannya berdasarkan hasil penelitian yang menerangkan bahwa dampak polusi dan pencemaran lingkungan sangat memengaruhi bayi yang dilahirkan Hebatnya lagi, besar kemungkinan bayi yang dilahirkan adalah perempuan. Mendadak saya bertanya-tanya sebesar itukah dampak yang terjadi pada kehidupan manusia. Yang pasti saya menangkap intisari dari diskusi itu suatu kerisauan yang besar tidak terkecuali masyarakat pada umumnya tentang pencemaran lingkungan.

Jakarta yang terkenal sebagai kota metropolitian mengundang banyak perhatian masyarakat seantero Indonesia untuk mengadu nasib di Jakarta. Sampai-sampai seorang tukang nasi goreng berseloroh bahwa apapun di Jakarta jika punya kemauan dan tidak gengsi akan menghasilkan duit. Rasional memang ungkapan pria yang bernada Jawa-Tegal tersebut. Wajar jika laron-laron daerah datang berbondong-bondong ke Jakarta yang menyimpan sinar cahaya kehidupan gemerlap.

Untuk urusan lalu lintas saja di Jakarta tidak terbayangkan semrawut-nya. Setiap ruas jalan di Jakarta tidak luput dari jebakan macet. Maklum para pegawai atau karyawan yang mencari nafkah di Jakarta berasal dari Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok dan daerah satelit lainnya yang mengubungkan dengan kota Jakarta. Alhasil, pencemaran lingkungan dan polusi cukup merisaukan. Meskipun sudah diberlakukan hari bebas kendaraan faktanya belum bisa menurunkan angka pencemaran udara.

Segala upaya dilakukan Pemkot DKI, sampai pembuatan jalur Bus Way dan kesadaran sebagian warga Jakarta pergi ke kantor menggunakan sepeda tetap belum menyita perhatian para pengguna kendaraan pribadi. Paradoks memang antara cita-cita hijau dengan realitas sesungguhnya di depan mata. Memiliki dan menikmati kendaraan pribadi sebagai hasil dari jerih payah dan buah kesuksesan adalah fenomena tersendiri. Di lain pihak, sebagian mengatakan bahwa hal ini adalah ekses dari buruknya manajemen moda transportasi di Jakarta dan lemahnya tata ruang kota yang tunduk pada kaum kapitalis.

Dalam arena rumah tangga pun pencemaran lingkungannya terbilang besar. Mulai dari limbah dapur, limbah air dan busa sabun menghiasi saluran air di perumahan penduduk Jakarta. Bisa dihitung jika setiap rumah di Jakarta tidak memiliki taman atau sisa tanah yang dapat dimanfaatkan untuk membantu menghijaukan Jakarta. Jikalau pun ada hanyalah pot-pot tanaman hias yang menggantung di halaman teras rumah dan terpajang berjejer di depan pagar rumah. Tidak lain hanya hobi musiman yang mengikuti tren tanaman hias yang nilai jualnya menggiurkan belakangan ini.

Kembali pada persoalan reproduksi perempuan dan lingkungan. Konon menurut beberapa pakar studi lingkungan dijelaskan bahwa kontribusi perempuan dalam hal pencemaran lingkungan tidak terbantahkan. Termasuk di dalamnya terhadap anak-anak. Maksudnya kebiasaan anak-anak untuk membeli makanan siap saji sangat dipengaruhi oleh keputusan ibunya. Tentu saja hal ini dibantah oleh kaum perempuan. Jikalau pun hal tersebut terbukti itu pun tidak lepas dari kekuasaan kaum pria sebagai pembuat keputusan di setiap lini kehidupan perempuan.

Adalah tidak masuk akal jika menyalahkan kaum perempuan sepenuhnya. Persoalan ini harus dilihat bukan hanya secara akademis tapi secara kultural peran serta kaum pria justeru paling dominan. Dalam perspektif pedagogis memang kita tidak bisa seenaknya menyalahkan kaum perempuan apalagi kaum laki-laki. Justeru hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kondisi yang sehat baik di lingkungan keluarga maupun tempat tinggal.

Pendidikan menjadi kata kunci utama bagaimana menunbuhkan kesadaran lingkungan yang sehat dan hijau. Kondisi ini setidaknya bisa dilihat dari sistem pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Baik yang bekerja di sektor publik dan rumah tangga. Keduanya antara laki-laki dan perempuan banyak menghabiskan waktu bekerja untuk keperluan kantor dan rumah tangga. Sehingga untuk memperhatikan hal yang kecil seperti lingkungan sekalipun boleh dibilang sangat terbatas. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk buah hati mereka mulai dari sekolah, makan, sampai hal-hal kecil lainnya. Mengingat anak-anak sekarang waktunya habis untuk bermain di luar rumah sehingga kecil kemungkinan untuk membantu orang tuanya di rumah, meskipun tidak bisa dipukul rata.

Harus diakui anak-anak kita dirumah saat ini lebih sering jajan makanan siap saji. Mengapa hal ini terjadi? Jawabanya sederhana. Yaitu terkait dengan pola asuh orang tuanya dan pengaruh budaya masyarakat yang lebih melihat sisi ekonomis dan kepraktisan ketimbang pola asuh yang kreatif. Gejala ini juga didukung oleh menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang dekat dengan rumah. Akhirnya masyarakat dimanjakan dengan berbagai macam pilhan produk makanan dan minuman yang disediakan oleh market sebagai bentuk persaingan sistem kapitalis kecil tapi merepotkan.

Di rumah kita sendiri, jarang sekali para ibu membuat makanan tradisional yang sehat tanpa harus meninggalkan limbah sampahnya. Kue cucur, gemblong, kelepon, timus, dan aneka macam makanan tradisonal lainnya seakan-akan hilang dari budaya khas kuliner Indonesia. Semuanya tergantikan oleh makanan dan minuman siap saji. Mungkin hal ini menjadi salah satu faktor mengapa anak-anak kita dirumah seringkali melahap makanan dan minuman siap saji. Begitu juga dengan Ayah yang kurang perhatian akibat lelah sepulang dari kantor wajar jika hal-hal kecil luput dari perhatiannya untuk keluarga.

Oleh karena itu, semua jalan keluarnya hanya ada dalam hati dan kesadaran kita semua. Itu pun jika kita tidak ingin tertimbun oleh tumpukan bujuk rayu globalisasi yang setiap saat berganti wajah. Baik wajah lingkungan, kesehatan, makanan, minuman dan lainnya dengan inisial memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal negara kita adalah negara kaya akan hasil alamnya. Sayang pemimpin kita lebih memihak para kaum investor yang memanfaatkan alam untuk kepentingan sesaat. Seandainya alam ini diberikan dan dimanfaatkan untuk warga negaranya mungkin ceritanya akan lain. Wallohu álam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?