January 21, 2010

Ke Jalan Raya Mencari Cermin Sosial

Ke Jalan Raya Mencari Cermin Sosial

Di sela-sela kemacetan lalu lintas Jakarta, tepatnya di Jl. Kartini, Jakarta Selatan menuju Jl. TB. Simatupang, Jakarta Timur, hujan mengguyur meski tidak terlalu deras, namun membuat jalan raya menjadi licin. Rabu sore, minggu kedua bulan Desember 2009, suasana itu masih teringat jelas di kepala saya. Seperti biasa, waktu itu jam pulang kerja lalu lintas padat merayap. Saya tetap konsentrasi mengatur jarak dan laju kecepatan motor saya dengan pengendara motor di depan saya.

Tiba-tiba, pengendara motor yang berada persis di depan saya menabrak pengendara motor yang ada di depannya lagi. Kontan saja, pemilik kendaraan itu berhenti dan marah, seraya ngomel-ngomel dan berkata: “Mas punya mata apa enggak”. Si penabrak pun menjawab: “Punya Pak, maaf...maklum pak tidak sengaja, karena Bapak juga berhenti (ngerem) mendadak.

Situasi normal kembali, dan pengendara lain pun termasuk saya memaklumi itu. Tapi, posisi tetap sedia kala, antara yang nabrak dan ditabrak berjalan tanpa ada sisa kejadian apapun. Persis di depan saya. Tidak lama kemudian, praaakk, kejadian itu terulang lagi. Keadaannya berubah, pengendara yang ditabrak turun dari kendaraannya. Langsung naik pitam. Sang pemuda, dengan sabar menerima caci- maki yang kedua kali. Dan, langsung minta maaf. Untungnya, otot tidak ketemu otot.

Keduanya saling adu argumentasi untuk menjelaskan duduk perkara yang telah terjadi. Sekali lagi, jalan macet. Anehnya, karena budaya masyarakat kita masyarakat tontonan, kejadian itu ibarat tontonan gratis tanpa pernah peduli bahwa kejadian itu bisa menimpa siapa saja. Itulah fakta yang terjadi di lapangan yang menghiasi situasi sumpek kota Jakarta.

Semuanya serba ada, ibarat toko. Dari situasi konyol, serius, bercanda, hati-hati, sampai menangis tersedu-sedu. Bayangkan saja, seorang anak menjerit kesakitan, setelah jatuh dari sepeda motor yang dikendarai ayahnya terpeleset karena licinnya jalan raya yang baru saja diguyur hujan. Tapi, masih untung kepekaan sosial pengendara yang lain tertuju kepada kejadian itu dan lekas menolongnya. Jika tidak, entah apa yang terjadi!

Tapi, yang lebih tragis kejadian di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Situasi jalan raya masih macet. Hanya saja, ini dalam perjalanan menuju kantor. Tak dinyana, pemuda yang mengendarai motor persis di samping saya tiba-tiba jatuh membentur trotoar yang ada di sebelah kanan. Seribu pasang mata tertuju haru melihat kejadian itu. Setelah diamati dengan seksama, pemuda itu jatuh bukan karena tabrakan atau kecelakaan tunggal. Melainkan pengendara itu jatuh karena mengidap penyakit maaf, Ayan. Untung saja, kepekaan sosial masyarakat kembali diuji untuk menolongnya.

Hal itu dibuktikan dengan kejang-kejang dan mulut berbusa. Saya berpikir, mengapa orang tuanya memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengendarai motor, padahal anaknya memiliki penyakit yang tidak bisa disepelekan. Di mata praktisi manajemen risiko, mungkin orang tuanya boleh dikatakan tidak antisipatoris. Membiarkan anak dihadapkan pada suatu risiko yang sulit dibayangkan. Terlepas dari penilaian itu, mestinya antara anak dan orang tua sama-sama mengerti dan bijak, tukas saya, dengan nada emosional. Bayangkan kalau terjadi apa-apa, demikian hati kecil berbicara tanpa melanjutkan untuk bicara. Ahh...tidak, mungkin saya terlalu imajiner, gumam saya.

Dalam kesempatan yang lain, ada perubahan pada pola dan ritme para pengendara motor. Bisa dikatakan lebih arif, lucu, emosional bahkan sekadar mengingatkan dan mengandung unsur narsis. Namun, itulah buah kreativitas seseorang yang cerdas membaca peluang pasar dengan menciptakan ide-ide segar melalui sticker yang kerap kali ditemui pada salah satu bagian body sepeda motor, khususnya di spartboard bagian belakang.

Sejak motor matic membanjiri jalan raya, sejak itu pula persaingan ketat antara produsen sepeda motor dimulai. Genderang persaingan ditabuh. Intinya untuk memikat masyarakat yang mengalami gangguan pola konsumsi terhadap kebutuhan sekunder dan tersier. Setiap ada barang baru, keinginan untuk memiliki muncul sebagai wujud ketertarikan tanpa melupakan aspek nilai guna.

Perubahan ritme ini ditandai dengan produsen motor yang memanjakan konsumen dengan motor matic tanpa harus oper gigi. Tinggal tarik gas, motor melaju kencang, demikian gambarannya. Dari sinilah ide kreatif muncul para pembuat sticker untuk berburu laba. Menariknya, ide kreatif itu disambut hangat pengendara motor.

Hari gini oper gigi, demikian tertulis jelas di sebuah motor matic yang pada waktu itu dikendarai gadis cantik. Tidak mau ketinggalan seorang biker yang gagah dengan mantap mendahului dari sisi kanan saya, lagi-lagi dibelakang motornya tertulis kalimat hari gini ompong di sticker konyol itu. Saya hanya tertawa geli diiringi perut sakit karena tidak tahan melihatnya pertama kali. Ternyata, dalam dunia industri sepeda motor dikotomi antara laki-laki dan perempuan begitu jelas terlihat, demikian saya tidak menyangka.

Padahal persoalan gender sedang marak dibicarakan dalam kacamata politik, sosiologi, budaya, agama dan urusan domestik rumah tangga. Faktanya, itulah yang terjadi. Sementara itu, sebagai penghibur para pengendara motor di Jakarta, sticker itu juga menyajikan kalimat yang humor, konyol, dan menyentuh hati. Setidaknya untuk mengusir kepenatan, rasa emosi dan jengkel para pengendara motor di tengah kemacetan.

Kalimat itu banyak ditemui di ruas-ruas jalan raya Jakarta, menempel di sejumlah kendaraan bermotor dengan rapi. Misalnya, dengan gaya narsis dan primordial kalimat itu bertuliskan: Motor aing, kumaha aing. Ada lagi dengan kalimat konyol dan lugas berbunyi: Motor kredit dilarang nyalip. Di samping itu, dengan ungkapan spiritual ada yang berhaluan teologis, yaitu, Ya Tuhan, berkahi motor ini. Atau sekadar mengingatkan pengendara yang lain dengan kalimat: Jaga jarak Mas. Sampai yang mengundang emosi: Lho nyenggol gue embat.

Masih banyak kalimat-kalimat lain yang tidak bisa diuraikan di blog ini. Tak hanya itu, tulisan sederhana ini sekadar berbagi pengalaman dalam konteks melihat situasi sosial yang terjadi di masyarakat yang metropolis. Dengan kata lain, reality show seribu aura kendaraan di Jakarta.

Dari sini, setidaknya kita bisa menilai bahwa dalam dunia teks, kalimat-kalimat tak terduga bukan hanya milik media massa. Di luar sana, ada tangan-tangan dingin yang berusaha memposisikan kalimat sebagai kritik sosial lewat sepotong kertas sticker. Dengan demikian, dari sudut pandang analisis teks media, sticker-sticker tersebut tidak lain sebagai tanda dan penanda realitas sosial yang diwakili para pengendara motor di jalan raya.

Sebagaimana diketahui, teks tidak hadir dalam ruang hampa, teks hadir bersama dengan perubahan sosial yang terus terjadi di tengah masyarakat. Apalagi jika kita cermati kalimat-kalimat di sticker itu secara tidak langsung melukiskan pencitraan bagi si pengendara motor itu baik untuk dirinya dan orang lain. Yang penting adalah bagaimana menyikapi kalimat di sticker-sticker itu sebagai cermin sosial di tengah masyarakat Jakarta yang pluralis dan konsumtif. Wallohu ‘alam.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?