July 30, 2012




Anak dan Marjinalisasi Sosial




Di awal ramadhan ini, khususnya di bulan Juli ada tanggal penting yaitu terkait anak-anak. Tanggal, 23 Juli diperingati sebagai hari anak nasional. Kegembiraan anak-anak terus memancar di wajahnya sambil menjalankan ibadah puasa. Kesabaran dan keceriaan anak-anak sedang diuji, apakah bertahan sampai waktu buka puasa tiba atau berbuka di siang hari pada saat bedug zuhur. Puasa terasa nikmat bagi anak-anak   sambil bermain mengisi liburan ramadhan.

Bagi anak-anak yang tak biasa berpuasa, bertahan sampai maghrib biasanya merupakan keistimewaan tersendiri. Jika perjuangannya terwujud menahan lapar dan haus, kemenangan itu pengalaman menyenangkan. Meskipun berhasil menahan haus dan lapar tetapi niat tulusnya berpuasa merupakan pelajaran berharga bahwa ini sebagai langkah awal memahami hakikat puasa bagi seorang anak.
Setidaknya ibadah puasa memiliki tujuan sosial di samping tujuan pribadi seorang anak. Pertama, tujuan yang intrinsik, yaitu tujuan dalam diri pribadinya yang sangat personal. Misalnya selain mendekatkan diri kepada Tuhan juga bentuk manifestasi pendidikan agama yang dipelajari di sekolah. Kedua, tujuan yang bersifat konsekuensi logis, yaitu dengan berpuasa berarti siap menahan lapar dan haus. Implikasi sosialnya seorang anak belajar bercermin bahwa menahan lapar dan haus ini sering dialami orang-orang yang miskin, fakir, anak-anak jalanan, dan mereka yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
Puasa adalah salah satu sarana mendidik anak bagaimana cara bersikap dan memahami orang lain yang tidak berpuasa. Anak dapat mempelajari penderitaan yang dirasakan orang lain. Dengan berpuasa anak dilatih bersyukur bahwa berbuat dan beramal baik kepada orang lain merupakan bukti cinta kepada Tuhan dan orang yang ada disekitarnya.
Panggilan Ontologis
Dalam wacana pendidikan islam, dengan pendekatan pembelajaran kritis tidaklah cukup menerima suatu pengetahuan agama hanya mengandalkan aspek kognitif dan afektif saja. Aspek prikomotorik perlu diasah untuk mengukur sejauh mana refleksi kritis dapat dituangkan menjadi aksi sosial. Dengan demikian, pada pembejalaran kritis, yang diajarkan bukan belajar tentang sesuatu, tapi bagaimana seorang anak dapat mengamalkan nilai-nilai agama secara kritis-reflektif.
Berpuasa dalam pendidikan Islam merupakan ibadah yang harus dijalankan bagi setiap kaum muslimin. Sebagai panggilan ontologis pada dasarnya setiap orang Islam dimuka bumi bertugas memperjuangkan hidupnya sesuai dengan porsinya masing-masing sebagai seorang manusia. Karena itu, panggilan ontologis semacam ini perlu ditanamkan kepada anak-anak dengan bahasa lain yang mudah dipahami.
Menjalankan puasa bagi seorang anak ialah pengalaman langsung yang dihasilkan lewat knowing menuju kesadaran diri. Bagaimana mentransfer pengatahuan tentang puasa kepada anak dengan sebuah teori (knowledge) bahwa puasa itu wajib dan puasa itu pasti merasakan haus dan lapar yang hebat. Padahal dengan mengajak anak langsung belajar berpuasa pelajaran tentang lapar dan haus dengan sendirinya dapat diderita anak. Kondisi semacam ini dengan sendirinya dapat dibuktikan (swabukti) kepada anak.   
Atau dengan kata lain jika seorang anak ingin mengetahui lapar dan haus dalam konteks yang lebih sosial meraka dapat diajak ke tempat-tempat di mana fakir-miskin hidup dalam jurang sosial yang kian terang mengemuka. Penajaman bakat dan kompetensi model ini dapat diberikan kepada anak jika kita mau mengajarkan anak untuk saling berbagi.
Melalui panggilan ontologis anak belajar untuk berdialog dengan realitas sosial. Siapa diri pribadi sesungguhnya dan dari mana ia berasal. Mengapa perbedaan sosial itu ada di saat manusia terlahir ke dunia dengan status setara dihadapan Tuhan. Situasi ini sering kali dipertanyakan anak saat anak mencoba memotret kondisi sosial yang ditemuinya.
  Di Yogyakarta ada sekolah swasta unik yang melakukan kegiatan bertema Jembatan Hati Pelajar. Kegiatan didedikasikan bagi pelajar itu sendiri untuk saling berbagi. Di usia mereka yang tergolong masih anak-anak, sikap kedermawanan mulai ditanamkan dengan cara membantu teman yang lemah secara ekonomi dilingkungan sekolahnya sendiri dengan menyisihkan uang sakunya.
Jadi, makna berbagi itu sudah mulai diajarkan bahwa tindakan memberi tidak harus diwujudkan dengan materi atau uang. Bisa dengan kepedulian sosial dalam bentuknya yang lain, misalnya karya-karya kreatif seperti membuat tas atau keperluan sekolah yang bermanfaat bagi orang lain. Secara pedagogis anak belum memiliki kemampuan ekonomis untuk dapat membantu. Namun dengan kegitan seperti ini panggilan hatinya dapat membuka mata bahwa marginalisasi sosial itu jelas-jelas ada di depan matanya.
Marjinalisasi Anak
Sekarang ini di Indonesia proses marjinalisasi sosial begitu mudah terlihat dengan mata telanjang. Hal itu semakin banyak melahirkan jenis the new mustadzafin yaitu beragamnya orang-orang yang tertinggal dan terpinggirkan. Tidak hanya kaum fakir dan miskin, tetapi juga anak-anak jalanan, kaum buruh dan kaum lemah lainnya yang tak terlindungi dan berisiko sangat tinggi (Moeslim Abdurrahman, 2009).
Sesunguhnya banyak sekali media untuk mendeskripsikan orang-orang yang lemah semacam ini dan siapa jatidiri mereka. Namun, yang lebih berbahaya adalah dari lapisan usia yang masih belia. Anak-anak yang rentan secara sosial ini kebanyakan gagal memperoleh pendidikan di sekolah. Di bulan suci ramadhan, kehadiran mereka sering kali muncul di jalanan atau tempat-tempat lain untuk mengais rejeki berharap ada uluran tangan kaum dermawan. 
Dalam perspektif humanisme, anak-anak di usia sekolah itu memiliki harapan untuk memberdayakan diri seperti anak-anak lainnya. Jika terus terbaikan dan terpinggirkan kerisauan akan eksistensinya semakin hari terus menguat lantaran kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak-anak begitu banyak modusnya. Karena itu, dibutuhkan reorientasi konsep filantropi yang mampu membaca marginalisasi anak yang fakir dan miskin. Kiranya momentum ramadhan adalah panggilan spiritual yang  tepat waktu untuk menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan sosial.



 

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?