December 5, 2014

Pedagogi Filantropi: Tuas Pengungkit Kesadaran Berbagi



Jangan pernah ragu untuk berbagi. Yakinlah bahwa berbagi itu kidung cinta yang menjelma dalam setiap kata yang keluar dari akal dan lubuk hati terdalam. Ia adalah simpul kesadaran yang pada saatnya akan menjadi aksi bagi insan yang mengalaminya. Filantropi adalah sebuah ajaran leluhur yang sampai saat ini dan seterusnya akan terus tumbuh dan berkembang. Ia ada dalam suatu tradisi, budaya, agama dan situasi lain yang tertanam begitu kuat.

Tak kalah penting, pemahaman mengenai ini dalam konsep kedermawanan yang sejauh ini ada dalam persepsi setiap orang bukanlah suatu yang final. Filantropi justeru akan terus berkembang dengan segenap isu yang menyertainya. Apalagi informasi tentang hal itu terus up to date terutama pada acara peluncuran (launching) hasil studi dan diskusi hangat dengan tema :“Lever for Change: Philanthropy in Select South East Asian Countries“ yang digelar lembaga yang fokus pada studi filantropi, gerakan dan penguatan masyarakat sipil (PIRAC) yang bekerja sama dengan Lien Center for Social Innovation serta Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI).

Acara yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta ini (03/12/2014) menampilkan peneliti utama yaitu Prapti Upadhyay dan Crystal Hayling, keduanya dari Singapore Management University melalui lembaga risetnya Lien Center for Social Innovation. Adapun pembicara lain adalah Hamid Abidin sebagai peniliti dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Hadir dalam acara tersebut lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa, Lazismu, Rumah Zakat, Pundi Amal SCTV, Pundi Perempuan, Non Profit Organization (NPO), Kementerian Agama, dan lembaga lain yang tidak dapat disebut satu persatu.   

Dipandu moderator Ratna Fitriani, aktivis dari Indonesia untuk Kemanusiaan diskusi ini dimulai di Asean Room. Dalam diskusi itu Ratna juga nantinya bertindak sebagai brief translastor untuk dua narasumber Prapti dan Crystal. Mengingat objek kajian yang dibeberkan adalah terkait filantropi di negara-negara Asia Tenggara, yang juga terkait dengan isu-isu filantropi di Indonesia, Hamid Abidin memaparkannya setelah Crystal dan Prapti, papar Ratna.

Diketahui bahwa pertumbuham ekonomi di Asia dalam tiga dekade terakhir ini menurut hasil studi Lien Center for Social Information telah mendorong terjadinya perubahan peta kemakmuran yang bertalian dengan kegiatan filantropi. Disebutkan dalam hasil studi oleh Bank Swiss UBS yang bersinergi dengan sekolah bisnis INSEAD serta sebuah laporan dari Economist Intelligence tentang filantropi keluarga di Asia (Family Philanthropy) ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan partisipasi di kalangan orang-orang kaya baru khususnya Asia dalam usaha-usaha filantropi.[1]

Lantas studi ini dalam kajiannya menuangkan empat karakteristik kunci sebagai temuannya yaitu: kekayaan mereka dihasilkan melalui perusahaan keluarga yang besar atau perusahaan yang berafiliasi dengan negara; sumbangan amal diarahkan oleh keluarga; dengan beberapa penasehat profesional; memberi terinspirasi dari keinginan untuk mentransfer nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya bersama dengan kekayaannya; dan berderma dimulai dengan keluarga, kemudian berkembang ke klan, selanjutnya ke masyarakat setempat.

Crystal mengatakan penelitian ini sudah ada sebelumnya di mana faktor intrinsik sangat terkait dengan pola memberi (charity) di masyarakat. Karena itu, di sini kami akan memberikan sudut pandang lain, yaitu dari sisi ekstrinsik, paparnya. Faktor ekstrinsik itu menurut Crystal adalah suatu kebijakan publik yang menjadi instrumen dalam mempola gaya dan takaran filantropi secara kelembagaan. Dengan kata lain, ada semacam aturan dan tata kelola yang dibuat oleh negara misalnya yang mendorong individu atau lembaga untuk berderma atau menghimpun dana sosial. Corporate Social Responcibility (CSR) sebagai contoh, ungkapnya.

Namun yang menjadi catatan adalah konsep filantropi yang dimaksud adalah filantropi strategis. Artinya di sana ada suatu rencana sistematis dan terukur sehingga tujuan dan capaiannya memberikan dampak sosial terhadap masyarakat. Dan, studi ini tentu tidak akan bermakna jika tidak ada respon dan kerjasama dari para semua pihak (stakeholders). Di negara-negara Asia Tenggara filantropi yang digerakan oleh swasta telah mengaktivasi suatu informasi berharga yang manfaatnnya dapat dirasakan publik.

Tanpa tindak lanjut, studi yang dilakukan secara personal maupun oleh lembaga-lembaga non-profit akan mengalami kegagalan yang berakhir pada kebuntuan. Setidaknya studi filantropi yang dibeberkan dapat menemukan konteksnya. Sejalan dengan itu, Crystal mengungkapkan maka perlu edukasi kembali kepada semua pihak sebetulnya apa itu filantropi dan charity di sisi lain. Hal ini untuk menunjukkan tentang persepsi semua orang mengenai konsep filantropi. Maka filantropi strategis mendesak dibutuhkan untuk menemukan hal-hal mendasar (context of discovery) yang selanjutnya dapat dijadikan rujukan (context of justification) untuk menilai makna filantropi yang bersentuhan dengan proses perubahan sosial di dalamnya.

Lalu, sejauh mana sesungguhnya filantropi institusi itu dalam makna strategisnya? Dan mengapa begitu penting? Dalam perspektif civic education diterangkan bahwa peran masyarakat sipil merupakan komponen utama dalam tegaknya pilar-pilar demokrasi. Di luar tembok negara, masyarakat sipil yang berbalut kain LSM dan nirlaba (NPO) secara sosilogis memiliki peran untuk mengedukasi, mengadvokasi dan menggerakan gagasannya dalam bentuk aksi. Apa yang tidak dilakukan oleh negara atau hilangnya hak-hak dasar masyarakat dapat dipotret oleh lembaga-lembaga ini sebagai pintu masuk menyuntikan kesadaran kritis ke tengah masyarakat.

Saat ini, telah banyak berkembang lembaga-lembaga non profit tadi yang pada dasarnya sebagai jawaban atas ideologi pembangunan yang berkembang di negara dunia ketiga. Globalisasi sebagai tatanan dunia yang tak kenal belas kasihan dalam kenyataannya telah banyak menceritakan ketimpangan, ketidakadilan dan kemiskinan akut. Terlebih lagi, panggung publik adalah medan kajiaan NPO ini, maka ikhtiar pemberdayaan dan penyadaran (awarness) merupakan keniscayaan yang harus didorong bagaimana akses masyarakat terhadap informasi dapat menemukan batu pijakannya.

Selain itu, dalam skala tertentu NPO tidak memiliki sumber kapital, yang dimiliki hanya gagasan dan semangat untuk mengoptimalkan sumber daya sosial yang bermanfaat untuk masyarakat. Karena itu, kajian agama, ekonomi, seni, pendidikan, sosial, budaya, humaniora, dan lainnya merupakan saluran untuk mengelola aktivitas filantropi yang strategis. Kendati demikian, di luar sana ada banyak lembaga filantropi (agama/ZIS) dan lembaga lain yang turut berkecimpung hal itu adalah tantangan bagaimana elemen-elemen masyarakat sipil tersebut dapat berkolaborasi.

Bagi Crystal, organisasi masyarakat sipil dan filantropi merupakan irisan dalam suatu elemen yang kesamaannya dalam aspek-aspek tertentu terdapat hubungan yang integral. Bahkan studi ini, dalam banyak kasus, menemukan bahwa filantropi merupakan sumber daya yang besar dari pendapatan bagi NPO dan usaha sosial, terutama bagi mereka yang baru tahap merintis. Peneliti ini menunjukkan bagaimana situasi itu, khususnya di Barat aktivitas filantropi begitu kuat terorganisir. Mereka bermain strategis dan mengakar kuat dalam panggung sosial.

Sementara dalam konteks Asia Tenggara, dari beberapa negara yang dipilih seperti Filipina, Singapura, dan Indonesia, antara charity dan filantropi memiliki pengalaman-pengalaman sendiri dalam suatu lembaga filantropi. Di Filipina, lembaga filantropi dalam lingkungan politik terentu mendapat kesempatan untuk bersinergi dengan NPO lainnya. Hal itu ditandai dengan adanya dukungan dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga filantropi.

Untuk itu, di Filipina  sumber dana dari korporasi merupakan hal penting bagaimana aktivasi filantropi dapat berjalan. Di lain pihak, yayasan-yayasan yang berdiri dan terpercaya turut andil sebagai penyandang dana. Sementara itu, pemerintah mendukung sektor non-provit yang perwujudan dari kebijakannya melayani biaya-biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti kontrak dan layanan publik. Dengan begitu, perkembangan itu tetap tidak mengganggu yayasan-yayasan lain yang sudah lama berdiri. Bahkan, di Filipina kultur hibrida lembaga filantropi strategis terus tumbuh dan menjadi kekuatan sosial domestik yang dalam perkembangannya nanti berperan sebagai filantropi domestik yang dananya tidak bersumber dari dana-dana dari negara luar.

Pengalaman lain berkenaan dengan filantropi strategis juga berlangsung di Singapura. Gambaran itu sangat menarik, di mana pemerintah melalui regulasinya secara pro-aktif ikut mengembangkan filantropi di negaranya. Bahkan menerapkan kebijakan khusus untuk memajukan sektor filantropi itu sendiri. Menurut Prapti Upadhyay, di Singapura filantropi strategis dapat digambarkan dengan beberapa hal di antaranya: kontribusi berderma sektor swasta pertumbuhannya menjadi lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, hal ini didorong oleh kemakmuran ekonomi, kerangka pajak progresif, dan insentif pemerintah seperti pencocokan program hibah.

Di kondisi yang lain, filantropi kelembagaan telah menjadi lebih umum dengan meningkatnya sumbangan amal dari perusahaan dan organisasi filantropi.  Sementara filantropi swasta telah berkembang dengan konstan, pemerintah (yang masih tetap penyandang dana terbesar dari non-profit sektor dan organisasi yang disponsori pemerintah terus dilakukan untuk memainkan peran yang dominan dalam memberikan sosial dan kesejahteraan jasa).

Hal ini kontras dengan banyak negara lain di kawasan Asia Tenggara, infrastruktur pendukung yang lebih besar justeru dari sektor non-profit dan sampai batas tertentu, filantropi di Singapura berkembang dengan baik. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap hal ini, termasuk investasi pemerintah yang signifikan dalam fasilitator dan kapasitas lembaga, jasa konsultasi perbankan diarahkan untuk penduduk Singapura. Dan adanya peluang dari non-profit internasional, beberapa di antaranya adalah penyedia layanan dukungan untuk filantropis dan organisasi non-profit. Seperti kebanyakan negara Asia, pendidikan merupakan fokus agenda strategis untuk sebagian filantropi swasta, diikuti oleh kesehatan dan pembangunan sosial.

Namun Prapti juga mencontohkan negara lain yang dapat dijadikan referensi, India misalnya. Diketahui bahwa India merupakan negara yang jumlah penduduknya termasuk besar. Tingkat kesejahteraan ekonomi dan sosial di negara itu juga mengalami ketimpangan karena penduduk miskin di India termasuk dalam situasi yang akut. Hanya saja di sana, lembaga filantropi strategis dapat berperan sehingga upaya edukasi dan pemberdayaan dapat teraktivasi dalam batas-batas tertentu.

Sekali lagi dalam penyampaiannya Prapti menekankan arti penting edukasi bagi masyarakat dan semua pihak tentang filantropi itu sendiri yang secara makna berbeda dengan charity yang bersifat jangka pendek. Sehingga ada semacam kesadaran untuk saling mengenal dan mengetahui yang muaranya terjalin kohesi sosial antar lembaga, komunitas dan lainnya untuk bersama-sama mengembangkan komunitas filantropi.

Uraian senada juga disampaikan Hamid Abidin, dalam konteks Indonesia filantropi tidak dapat dipisahkan dari latar historis bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya di Indonesia ruh filantropi tumbuh di awal 1990-an. Dalam perjalanannya di era 1995 lembaga-lembaga filantropi lain terus tumbuh dan tidak memengaruhi lembaga filantropi pertama yang sudah berdiri bahkan capaian penghimpuannya juga tidak berkurang, dan lembaga yang baru terus naik dalam ranah fundraising.

Barulah di tahun 2000 hingga saat ini lembaga-lembaga filantropi menunjukkan eksistensi. Filantropi perusahaan, yayasan keluarga, Lembaga ZIS, filantropi masyarakat, filantropi komunitas sampai dengan filantropi media tumbuh bak jamur di musim penghujan. Hal itu, disempurnakan dengan semakin tingginya angka kelas menengah dan akses informasi teknologi media (sosial media) yang membuat setiap orang saling bertukar informasi dan pengalaman. Dan di saat itu pula pola-pola berderma di masyarakat turut mengalami perubahan yang pada akhirnya terjadi ruang privasi dalam konteks berderma.

Misalnya orang yang berderma dalam lembaga filantropi tertentu tidak ingin disebutkan namanya. Padahal, dalam konteks filantropi strategis transpransi dan keterbukaan informasi menjadi sangat penting untuk saling bertukar informasi. Dalam konteks lain, hal itu untuk membuka nilai edukasi bahwa dalam memilih program filantropi memerlukan evaluasi sehingga antara lembaga filantropi dan orang yang berderma bisa saling berinteraksi.

Hamid menambahkan, mungkin doktrin teologis tentang “tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah“ tidak mendapatkan makna atau tafsir kontekstualnya yang pada akhirnya terjadi kegagalan dalam mempersepsi apa itu berbagi. Untuk itu, perlu ada edukasi kembali bahwa tafsir sosial tentang filantropi perlu ditinjau kembali. Jadi dalam situasi lain juga, jangan hanya soal ijtihad yang dapat merekonstruksi tafsir di ranah fundraising saja, melainkan sejauh mana ijtihad itu mampu menghasilkan makna baru dalam menafsirkan delapan asnaf yang menjadi fokus kajian pemberdayaan filantropi Islam.

Sementara itu, di ranah kebijakan publik juga perlu dikritisi. Karena ini menyangkut aturan main (role playing) di mana sesungguhnya posisi oraganisasi filantropi yang berbasis agama dan filantropi berbasis NPO. Rezim Orde Baru memang merupakan pengalaman yang pahit bagi NPO untuk merasakan udara segar dalam berserikat dan berkumpul. Namun dalam perkembagannya pasca reformasi kebijakan publik yang menjadi objek kajian penelitian ini dalam konteks faktor Ekstrinsik di Indonesia sepenuhnya tidak cukup menggembirakan.

Inovasi kebijakan yang tertuang dalam undang-undang, dewasa ini bagi filantropi dan sektor non-profit lebih besar tertuju pada UU No. 36/2008. Yang di dalamnya dalam UU itu menyediakan pembebasan pajak penghasilan, pada sumbangan keagamaan, pendapatan NPO yang bekerja di ranah pendidikan, riset, sepanjang sebagai laba yang diputar kembali dalam program tersebut untuk mendukung sektor publik. Hal ini termasuk dengan amal personal dan perusahaan untuk penanggulangan bencana, riset, pembinaan dan pelatihan, pembangunan sarana-prasarana publik, serta untuk keperluan publik dalam memenuhi syarat untuk pemotongan pajak dari pajak penghasilan.

Di samping, kajian penting lainnya adalah dari undang-undang yang berpotensi menguntungkan sektor non-profit dengan menciptakan sumber daya dukungan filantropi domestik yang berkelanjutan adalah UU No. 40 tahun 2007. Seperti disebutkan sebelumnya dalam bab ini, UU tersebut berusaha untuk mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab, khususnya di kalangan perusahaan pertambangan dan mereka yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia, dengan mewajibkan mereka menghabiskan setidaknya 2 persen dari keuntungan mereka pada program-program CSR.

Tampaknya, berdasarkan kajiajn PIRAC, Hamid membeberkan bahwa ada banyak informan kunci, percaya bahwa pedoman tata kelola yang jelas dari pemerintah terkait dikeluarkannya kewajiban CSR untuk pendidikan masa depan Indonesia, kesehatan, dan kebutuhan sumber daya manusia atau mekanisme untuk memastikan bahwa hal tersebut mengatasi tantangan sosial secara terus-menerus, akan berfungsi untuk meningkatkan potensi hukum yang berdampak sosial dan juga akan menciptakan aliran pendapatan yang berkelanjutan bagi NPO yang bekerja di daerah tersebut.

Selanjutnya, terkait aturan dan tata kelola ini, Hamid juga mengurai persoalan yang terjadi dalam lembaga ZIS yang bertalian dengan organisasi masyarakat. Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang merupakan pelaksana langsung ketentuan  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 telah diundangkan. UU tersebut menurut Hamid juga menjadi isu krusial yang pada praktiknya menyentuh lembaga pengelola zakat yang tidak berbasis ormas.

Satu hal lagi, terkait kreasi dan inovasi selama ini agenda program yang terjadi dan dialami lembaga-lembaga filantropi masih menjadi pekerjaan rumah. Karena bagi Hamid belum ada sesuatu yang baru dalam inovasi program filantropi. Hanya cara pandang dan pendekatannya yang baru. Sebetulnya hal ini pernah diungkap dalam penelitian Hilman Latief dalam karyanya Melayani Umat: Filantropi islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (2010) yang memotret dinamika gerakan filantropi Muhammadiyah: doktrin, wacana, kebijakan, praktik, proses mobilisasi, dan dilema pengorganisasiannya. Menurut Hamid, selama ini yang sedang dilakukan lembaga filantropi sudah pernah dilakukan Muhammadiyah. Jauh sebelum negara ini berdiri, filantropi kesehatan, pendidikan, sosial dan ekonomi telah tumbuh di tubuh organisasi modern ini, paparnya merujuk buku Hilman Latief. 

Pedagogi Filantropi
Dari uraian di atas, di sini penulis yang hadir dalam acara itu, tentu tidak dapat menyimpulkan atau mengurai secara lebih jauh karena keterbatasan data dan waktu. Namun, sejauh yang penulis cerna setidaknya dari tiga pembicara di atas ada titik temu yang menurut hemat penulis layak untuk diajukan yaitu terkait pedagogi filantropi.

Mengapa pedagogi filantropi, karena dalam konteks ini wacana dan kajian akan hal ini penting dikemukakan. Selain itu, jika terjadi kegagalan dalam mempersepsi filantropi tentu sangat memengaruhi cara pandang dan praktik filantopi itu sendiri di tengah publik terutama masyarakat yang meyakini bahwa filantropi adalah selain ajaran agama juga ajaran leluhur yang sampai saat ini masih terus berlangsung.

Pedagogi filantropi itu sendiri merupakan edukasi kedermawanan. Secara bahasa filantropi dari bahasa Yunani, yaitu philein, "cinta" dan anthropos, "manusia", adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama sehingga menyumbangkan uang, waktu, tenaga dan hal lain yang bermanfaat untuk menolong orang lain disebut filantropi. Dalam Islam ia dikenal dengan sedekah, infak, wakaf dan zakat. Intinya suatu tindakan berbagi untuk menolong, membantu dan memberdayakan orang yang lemah secara sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.

Filantropi sebetulnya tidak hanya ada dalam agama Islam saja, dalam agama lain filantropi juga menjadi ajaran dan etika bagi setiap pemeluknya. Hal ini dapat dilihat pada buku Miriam Frenkel dan Yaacov Lev (Ed) yang berjudul Charity and Giving in Monotheistic Religion (2009), dijelaskan disana bahwa tradisi memberi dan berbagi dalam agama monoteistik telah menjadi suatu inspirasi untuk menggambarkan dunia di mana ada suatu simbiosis mutualisme dalam mengatasi kesenjangan ekonomi anatara yang kaya dan miskin.

Untuk itu, filantropi sebagai ilmu dan gerakan sudah ada dalam sejarah agama di dunia hingga sampai saat ini. Dalam Islam sendiri, manusia sesungguhnya makhluk yang tidak memiliki apapun secara esensial. Karena secara fitri manusia ada potensi maka ia berusaha untuk melengkapi ketidaksempurnaannya itu. Karena itulah, dalam maknanya yang esensial saat manusia memiliki (property) disaat itulah ada hak orang lain. Seutuhnya kepemilikan itu bukan milik manusia, namun secara eksistensial makna milik sesungguhnya hanya milik Allah semata.

Dengan demikian, filantropi sebagai ilmu, secara epistemologi merupakan kebenaran yang  dalam konteks nilai pengetahuan memiliki kesesuaian dalam bentuk mental pengetahuan dan objek realitasnya. Bahkan secara keilmuan filantropi hadir dalam benak setiap orang tanpa perlu pembuktian (self evidence). Misalnya, saat kita memberi sesuatu kepada orang, tanpa perlu perantara kita langsung memberikan. Kendati secara empirik realitasnya ada disekitar kita. Hanya saja terkadang tidak valid karena hanya hasil pencerapan inderawi. Namun jika diketahui secara langsung dan ikut mengalami dalam realitas itu barulah kebenaran akannya terbukti tanpa keraguan.

Dengan kata lain, dalam suatu proposisi konsep filantropi ada pada konsep mental dan eksternal. Jadi, filantropi adalah objek yang dipahami dan manusia sebagai subjek yang memahami. Bersamaan dengan itu, karena filantropi merupakan konsep umum (universal) maka ia mencirikan (konsep memberi). Konsep yang hadir dalam benak. Ia ditemui dalam dan melalui pengalaman mental, tanpa menggunakan seperangkat indera atau perantara atau cerapan yang lain juga. Kita memahami bahwa konsep ‘filantropi’ tidak menunjukan memberi tertentu, melainkan berlaku pada memberi yang lain tak berhingga. Maka, proposisi konsep memberi adalah universal ia adalah benar secara keilmuan.

Barulah saat manusia mengetahui filantropi ini secara konseptual, filantropi dapat diterapkan dalam sesuatu yang lain dengan konsep yang berbeda, seperti sedekah, charity, infak, CSR, beasiswa, bantuan, hibah atau lainnya yang pada hakikatnya bermakna memberi. Selain sebagai tindakan rasional dan sadar, memberi juga merupakan dasar etis manusia untuk memahami dan mencintai orang lain. Di sinilah nilai aksiologis memberi (filantropi) sebagai pengetahuan amali.

Berpijak dari sinilah upaya meletakkan pedagogi filantropi semakin penting dikemukakan, untuk menjembatani keraguan dan ketaksesuaian saat memahami apa itu filantropi. Dus,bila telah memiliki persepsi yang sama akan definisi filantropi itu tidak mustahil setiap individu, kelompok, komunitas atau perusahaan dapat melakukan strategi filantropi yang fungsinya untuk memahami masalah sosial dilingkungannya. Sehingga mereka yang tersingkirkan secara sosial dapat berpartisipasi dalam hal pemberdayaan terhadap sesama. Wallohu ‚alam



     

            



   
                  






[1] Dalam ringkasan eksekutif, peneliti merujuk data dari UBS-INSEAD mengenai Study on Family Philanthropy in Asia yang diterbitkan UBS Philanthropy Service tahun 2011 di Singapura.   

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?