November 24, 2014

Adi Mengajarkan Sekolah Kehidupan



Musim layangan bagi anak-anak merupakan situasi yang menyenangkan. Selepas pulang sekolah, sehabis ashar adalah waktu yang pas untuk bermain layangan. Udara di sore hari tidak terlalu panas sehingga mata tidak terlalu silau saat menatap layangan di udara. Ke mana pun angin berhembus layangan siap diulur dengan benang setingi-tingginya. Tak jarang di antara mereka saling adu kuat di udara. Siapa yang putus dari benang saat itu juga layangan terhempas di udara terbang jauh sampai jatuh tiba saatnya. 

Untuk memeroleh layangan anak-anak cukup membeli di sekitar tempat tinggal mereka. Tentu saja layangan yang diperoleh berikut benang dan benang tajam khusus untuk adu kuat di udara. Sore itu, di tepi perlintasan kereta api di daerah Klender anak-anak ramai bermain layangan. Namun ada situasi berbeda saat itu. Dari jauh terdengar suara seperti memanggil. Lalu semakin dekat suara itu. Ternyata seorang anak sedang menjajakan layangan.

Adi, begitu anak itu disapa oleh anak-anak yang biasa membeli layangan darinya. Yang menarik dari Adi, ia menjajakan layangan tidak menetap di suatu lapak atau tempat yang biasa dilakukan oleh para pedagang. Ia berjualan layangan keliling di sekitar Penggilingan, dari gang satu ke gang lainnya. Layangan, layangan......layangan.....suara itu yang sering saya dengar di sore hari.


Suatu waktu, saya momong anak untuk jalan-jalan di sore hari. Seperti biasa bersama anak saya ini jalan-jalan sore sambil melihat kereta api yang melintas. Kebetulan, mungkin sama seperti anak balita lainnya, Asfar nama anak saya, sangat antusias jika diajak melihat kereta api yang panjang melintas dihadapannya. 

Adi si penjual layangan keliling terlihat duduk di antara bantalan kereta api yang sampai saat ini dalam proses pembuatan proyek DDT (double-double track) PT. KAI. Dengan topi yang dibalik ke belakang, Adi begitu semangat menawarkan layangan kepada anak-anak di sekitarnya. Layangan 1000 rupiah, ayo siapa beli, siapa beli, teriaknya mengundang agar didekati. 

Lantas, saya pun penasaran untuk mendekati, tapi bukan untuk membeli layangan. Yang membuat saya bergegas untuk menghampiri Adi adalah kerdus yang dibawanya sebagai teman setia menjual layangannya saat berkeliling. Langkah saya pun untuk mendekatinya terhenti. Di antara barisan bantalan kereta api itu saya duduk bersama Asfar. Melihat layangan dan benang yang ada di dalam kardus itu. 

Tak berhenti sampai di situ, rasa penasaran saya terhadap kerdus itu usai dihadapannya. Tapi mata tetap tertuju ke arah kerdus yang bertempel kertas putih. Di kertas itu tertulis print cetak yang membuat saya takjub. Tulisan itu berbunyi: Bersaing Sehat Dalam Berusaha, Belajar Jujur Dari Hal Kecil. Entah apa yang terlintas dalam pikiran saya. Yang pasti, saya mendapat pelajaran berharga dari sosok anak kecil bersahaja itu. 

Saya tidak tahu apa maksud Adi dengan tulisan itu. Dan apa yang ada dalam benak Adi, masih terus menggelayuti isi kepala saya. Atau Adi sedang belajar memaknai ikhtiarnya selama ini dengan berjualan layangan keliling. Bisa juga Adi sedang “berdakwah” atau mengajarkan kita untuk bersikap jujur dalam melakukan sesuatu. Yang jelas, Adi sendiri telah memulai berupaya untuk belajar dari hal kecil tentang apa yang telah dilakukannya saat ini. 

Adi adalah sosok anak yang tidak sekolah. Belum ada informasi sedikut pun yang berhasil ku kantongi kenapa ia tidak bersekolah. Itu pun jujur dari pengakuannya saat saya tanya, kamu sekolah kelas berapa? Apakah ada sesuatu yang membuatnya harus berhenti sekolah saya pun tak mengerti. Kendati Adi tidak bersekolah layaknya anak-anak seusianya, bagi saya Adi sedang bersekolah dalam konteks kehidupan yang nyata. 

Ia secara tidak langsung mengajarkan sesuatu yang lain berupa pesan positif dari tulisan yang dibuatnya di kerdus itu. Ia menjadi anak yang berbeda di tengah anak-anak lain yang sedang asyik bermain layangan. Tak ada alasan malu (apalagi takut dihina) oleh anak-anak yang lain, begitu saat saya melihat wajahnya yang polos. Sesekali ia bercanda dan ceplas-ceplos berbicara yang mengundang tawa anak-anak yang lain. 

Namun, pada saat bersamaan, mungkin tanpa kita sadari, kita tidak mampu melakukan apa yang telah Adi lakukan saat ini. Adi bagiku ibarat cermin sosial yang telah menampilkan wajah seorang anak yang mencoba memuliakan kehidupan dengan keberanian dan apa adanya. Terima kasih Adi, Kamu telah menjadi guru di sekolah kehidupan.                     

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?