December 11, 2014

Selokan Itu Sumber Rejeki



Berjumlah 6 orang, usia mereka relatif muda, tetapi keuletan untuk berikhtiar masih tersimpan dalam kesehariannya untuk bertahan hidup. Tak seperti kebanyakan orang pada umumnya, yang bekerja ditempat layak, bersih dan berpenampilan necis. Enam orang tersebut klop menelusuri lorong gang satu ke lorong gang lain. Yang dituju bukan rumah ke rumah untuk meminta-minta atau mengamen. Namun, selokan air yang ada disepanjang depan rumah pemukiman padat. Tak hanya selokan di sisi kiri, selokan di sisi kanan tak luput dari pencarian mereka.

Siang itu, panas matahari menyengat tubuh pemuda yang berada dalam selokan. Peluh membasahi baju yang menutupi badannya. Setiap jengkal selokan yang kotor dan bau itu dikaisnya mencari sesuatu yang bernilai ekonomi. Hanya berbekal magnet dan sebilah kayu para pemuda itu terus mencari. Kantong tas lusuh selalu berada disampingnnya untuk memasukan benda-benda yang mereka temukan dari selokan yang airnya mengalir bercampur limbah rumah tangga.

Sayapun terusik, aktivitas apa yang sedang dilakukan para pemuda itu. Penasaran, hanya itu yang terlintas dalam benakku. Dari jauh saya mendekati, berharap tidak menganggu atau menyinggung aktivitasnya. Sementara mereka terus berjalan perlahan disepanjang selokan. Seiring waktu, saya terus mendekat dan memerhatikan apa gerangan yang dilakukan pemuda-pemuda itu. Dengan memberanikan diri, akhirnya saya semakin mendekat dan bertanya. Bang, boleh saya tahu, apa isi dalam tas, tanyaku. Boleh, silakan jawab pemuda itu.

Yang Ku peroleh dari isi dalam tas lusuh itu ternyata sendok, logam besi seperti paku, kawat, baut, dan lainnya yang berkarat. Selain itu, ada beberapa keping uang logam yang berhasil mereka kumpulkan. Rasa penasaran pun hilang, komunikasi itu telah mengobati rasa ingin tahuku yang begitu kuat. Sebagai manusia yang sama seperti apa yang mereka pikirkan, saya berpikir ternyata kuasa Tuhan telah memberikan banyak jalan setiap orang untuk mencari rejeki. Rejeki akan datang bagi manusia yang mau berusaha, itu janji Tuhan.


Hal itu luar biasa. Di saat sebagian orang mencari rejeki, menganggur bahkan tak sanggup melakukan apa pun 6 pemuda itu tanpa rasa malu fokus menggali rejeki dari selokan yang berpasir hitam. Selokan berpasir inilah yang menjadi tantangan bagi mereka untuk dikeruk lalu dikais dengan sorot mata tajam. Jika Tuhan menghendaki mungkin ada barang berharga yang diperolehnya. Ibarat sebuah tim mereka saling mengingatkan apakah selokan yang lain sudah ditelusuri.

Seingatku, pekerjaan seperti itu sebetulnya saat 15 tahun yang lalu pernah dijumpai di Jakarta yang dekat dengan aliran kali. Biasanya mereka membawa semacam tampah besi berlubang (berbentuk wajan) sebagai penyaring dan memisahkan antara pasir, kerikil, dan logam yang terbawa didalam wajan penyaring. Dalam perjalanannya, mungkin sudah jarang atau tidak pernah dijumpai lagi pekerjaan-pekerjaan ini, hilang dari pandangan mata.

Dalam kesempatan yang lain, beruntung saya menemukan kembali situasi itu. Sekarang kondisinya berbeda, ekspansi mereka tidak lagi berada dikali untuk mengeksplorasi logam, melainkan mereka menemukan lahan baru dan tempat yang lebih banyak. Meminjam istilah Hermawan Kertajaya, mereka telah melakukan inovasi target dalam eksplorasinya, candaku seraya tersenyum. Lagi-lagi, di sini saya mendapat pelajaran berharga berkenaan dengan rejeki dan manusia.

Orang lain boleh mempersepsikan pekerjaan yang dilakukan para pemuda itu jauh dari layak. Tapi bagiku, pekerjaan-pekerjaan itu sebagaimana dikatakan Kiyai “Cak Nun” Mbeling adalah pekerjaan agama. Alasannya, mereka telah berikhtiar untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami atau bahkan seorang individu dewasa yang harus memenuhi kebutuhan hidup dengan cara dan jalan yang halal.

Mati, jodoh dan rejeki wajib ada dalam kuasa Tuhan. Selanjutnya, logika manusia berbeda dengan logika alam maupun klenik. Karena manusia diberi kebebasan (freedom), untuk itulah manusia wajib berusaha. Ikhtiar mengoptimalkan segenap potensinya untuk diaktualkan. Kita sebagai manusia, sepakat secara teologis memiliki kadar potensi yang sama. Namun secara filosofis, gerak potensi itu hasilnya akan berbeda dalam sisi aktualitasnya. 

Rasulullah saw, tidak menyukai orang muslim kuat yang putus asa. Apalagi takut akan nasib dan kegagalan. Kegagalan diperoleh karena kesuksesan tidak diraihnya. Kesuksesan ada karena kegagalan tidak diinginkan oleh setiap manusia. Selama ini, mungkin kita sering mencibir pekerjaan yang dilakukan orang karena memang kita tidak mengetahuinya secara lebih detail. Hidup itu memilih, ketika tak terpilih bukan berarti tidak ada. Tapi aktualitas yang belum optimal. Bertahan atau mundur bukan jawaban.

Jauh sebelumnya, mungkin ada pekerjaan-pekerjaan lain yang dilakukan setiap orang yang barangkali lebih buruk dari 6 pemuda itu. Namun jangan sampai kita tidak bersyukur apa yang telah kita miliki dan nikmati sampai saat ini. Hikmah tidak sekadar diperoleh dari apa yang telah kita lakukan, melainkan datang dari situasi lain yang barangkali orang lain sudah melakukannya. Perlu disadari bahwa kondisi apapun merupakan media pembelajaran yang sangat berharga. Wallohu ´alam      

          
                  

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?