Sebagai
pelopor gerakan pembaruan di Indonesia, Muhammadiyah di abad pertamanya sukses melakukan gerakan reformasi keagamaan. Menurut kajian Alfian dalam Politik Kaum Modernis (2010), masa-masa
kejayaannya berlangsung 1934-1942. Di tengah pusaran politik itu,
Muhammadiyah dibalik kekuatannya menyambut modernisme Islam. Organisasi ini
mendapat tempat begitu penting dengan caranya yang unik. Masih dalam catatan
Alfian (2010: 4) terutama dalam politik Indonesia, walaupun dengan karakter
non politiknya yang nyata sebagai gerakan sosio-relijius, Muhammadiyah
tidak mampu menghindar terlibat dalam politik.
Sejauh
itu, transformasi gerakan modern yang diusungnya menampilkan wajah
gerakan Islam puritan yang ditandai dengan ikhtiar memperkuat majelis tarjih
yang intens mengupas soal fikih dan bertalian dengan responnya terhadap gejala
TBC yang meradang dalam tradisi, adat dan budaya Jawa.
Menurut
Ahmad Najib Burhani, strategi gerakan dakwah yang dilancarkan Muhammadiyah
tidak bisa dilepaskan dari identitas Jawa. Dicatat dalam bukunya Muhammadiyah
Jawa (2010) bahwa selain melancarkan agenda pembaruan, upaya
penolakan praktik-praktik mistis dengan virus TBC semakin melapangkan
Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah dan lembaga-lembaga sosial termasuk PKO
dalam mengikis penyakit itu.
Dengan
ditopang oleh perilaku kedermawanan (filantropi)
lembaga pendidikan, sosial dan kesehatan berdiri mengiringi masa kejayaannya
hingga 1 abad perjalanannya. Muhammadiyah tumbuh di pelosok nusantara dengan amal
usaha yang terus berkembang. Manfaatnnya telah dirasakan hingga detik ini.
Tentu masing-masing daerah memiliki tantangan dakwah yang berbeda-beda, tidak
sama saat Kiai Haji Ahmad Dahlan pertama kali dakwah di Kauman, Yogyakarta.
Pada
abad pertama itu, lembaga pendidikan, kesehatan dan tabligh dalam aspek
sosiologis sukses mencuri perhatian. Hajriyanto Y Thohari, menyebut gerakan
awal itu sebagai trisula lama yang perlu dipertahankan. Hanya saja di jaman
yang sudah begitu cepat berubah ini, Muhammadiyah sejatinya dapat mereproduksi
makna gerakannya yang lebih segar.
Kendati
demikian, di awal gerakannya Muhammadiyah memberikan perhatian penuh kepada
kelompok miskin-dhuafa. Aksi-aksi pelayanan Muhammadiyah dicurahkan untuk memberikan pemberdayaan kepada masyarakat miskin dan membutuhkan. Bedirinya rumah sakit,
panti asuhan, sekolah lebih banyak didedikasikan untuk menolong mereka yang mustadz’afin.
Bahkan
perhatian kepada orang miskin dan dhuafa menjadi prioritas gerakan Muhammadiyah.
Dalam perkembangannya, muhammadiyah tumbuh menjadi besar. Tidak hanya lembaga
sosial, pendidikan dan tabligh yang berdiri kokoh. Saat ini, Muhammadiyah
memiliki lembaga zakat, infak dan sedekah (filantropi),
majelis pemberdayaan masyarakat dan lembaga penanggulangan bencana. Hajriyanto
Y. Thohari menyebutnya sebagai trisula baru gerakan Muhammadiyah. Artinya
potensi gerakan sosial dan dakwah Muhammadiyah ke depan akan semakin besar di
luar isu-isu strategis dan ke-Islaman (kalam
jadid).
Dalam
konteks ini, masih segar ingatan kita terutama Muktamar Muhammadiyah di
Makassar kemarin, Lazismu bersama bersama Program Studi Muamalah-Ekonomi dan
Perbankan Islam (EPI)-Fakultas Agama Islam
UMY, Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengembangan Pendidikan (LP3M)
UMY dalam paparan publiknya (public
expose) perihal Perilaku dan Potensi
Filantropi Warga Muhammadiyah yang berlangsung 4 Agustus 2015, merilis hasil surveinya di 11 kota besar di
Indonesia, yaitu Padang, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta,
Surabaya, Mataram, Makasar, Pontianak, dan Balikpapan.
Berdasarkan
hasil temuannya, Hilman Latief, mengtaakan, perilaku umum berderma dari warga
Muhammadiyah sebagai warga kelas menengah Muslim Indonesia menunjukkan bahwa
mayoritas pengeluaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) sebanding dengan tingkat
pendapatan mereka. Donasi ZIS yang dikeluarkan pada kisaran 2,5 % dari
pendapatan.
Kendati
demikian, penelitian ini juga mencatat bahwa pendapatan yang tinggi itu tidak menjamin
berdermanya juga tinggi, begitu sebaliknya. Yang berpendapatan rendah nominal
berdermanya ada yang di atas 10 % dari total pendapatannya, kata Hilman.
Dalam
temuan yang lain, Hilman memaparkan sekitar 41,2 % warga muhammadiyah
menyalurkan ZIS melalui dua lembaga. Dan sekitar 22,3 % saja hanya melalui satu
lembaga. Di luar itu, ada warga yang menyalurkan donasinya langsung kepada
mustahiq. Jumlah orangnya tergolong cukup besar sekitar 30,8 %. Sementara itu, 81
% warga muhammadiyah mengaku menyalurkan ZIS dengan cara tunai. Selebihnya,
memanfaatkan layanan jemput zakat dan cara transfer belum dimanfaatkan secara
optimal oleh warga Muhammadiyah.
Selain itu,
kecenderungan mayoritas warga lebih suka menyalurkan ZIS-nya dengan datang
langsung ke lembaga amil zakat. Tidak sedikit pula warga menyalurkan sendiri zakatnya
kepada mustahik, sekitar 28,44 %. Yang menarik dari hasil temuan Hilman Latief bersama
Tim Survei adalah jumlah potensi filantropi dari AUM. Seperti sekolah mampu menyisihkan
dana sosialnya kurang dari 50 juta per tahun, sedangkan sebagian lainnya 250-500 juta. Bahkan ada
yang di atas 1-2 miliyar pe rtahun seperti rumah sakit dan perguruan tinggi
Muhammadiyah yang besar. Berdasarkan kapasitas yang dimiliki AUM, setidaknya
terdapat potensi dana filantropi yang jika dihimpun lebih dari 365 miliyar
rupiah dan dapat dimanfaatkan setiap tahunnya.
Bila
mampu disinergikan dengan majelis dan lembaga yang ada di Muhammadiyah, tidak
mustahil gelombang baru gerakan Muhammadiyah dapat segera terwujud dengan dukungan penuh kekuatan filantropi. Melalui
paparan publiknya (public expose) perihal
Peran MPM dan Lazismu Mengentaskan Kemiskinan,
Rabu 5 Agustus, 2015 di Makassar, Bachtiar Dwi Kurniawan., mengatakan orientasi
gerakan Muhammadiyah yang selama ini banyak menyisir kelas menengah terdidik,
dapat dengan segera menoleh ke akar rumput (grass
root) yang membutuhkan pertolongan secara nyata.
Dengan
demikian ada upaya dari kelas menengah terdidik ini untuk memberdayakan
masyarakat yang ada di desa-desa. Misalnya, majelis bersinergi dengan Lazismu
dengan program pemberdayaan, baik untuk petani, peternak maupun lainnya.
Bachtiar menambahkan, warga Muhammadiyah tidak boleh lemah, jika lemah warga
Muhammadiyah tidak dapat menunaikan zakat, infak dan sedekah. “Padahal, zakat,
infak dan sedekah adalah perilaku berderma warga Muhammadiyah yang sampai saat
ini masih terus terjaga dengan baik,” katanya.
Dalam
kesempatan itu, Syahril Syah, mengatakan, tugas pemberdayaan adalah tugas
kemanusiaan. Oleh Karena itu, sebagai gelombang baru gerakan Muhammadiyah
pemberdayaan warga atau masyarakat penting dilakukan untuk menjalin kekuatan
komunikasi dan memupuk kesadaran kritis sesama warga Muhammadiyah dan masyarakat
sekitarnya.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?