August 14, 2015

Filantropi dan Gelombang Baru Gerakan Muhammadiyah



Sebagai pelopor gerakan pembaruan di Indonesia, Muhammadiyah di abad pertamanya sukses melakukan gerakan reformasi keagamaan. Menurut kajian Alfian dalam Politik Kaum Modernis (2010), masa-masa kejayaannya berlangsung 1934-1942. Di tengah pusaran politik itu, Muhammadiyah dibalik kekuatannya menyambut modernisme Islam. Organisasi ini mendapat tempat begitu penting dengan caranya yang unik. Masih dalam catatan Alfian (2010: 4) terutama dalam politik Indonesia, walaupun dengan karakter non politiknya yang nyata sebagai gerakan sosio-relijius, Muhammadiyah tidak mampu menghindar terlibat dalam politik.

Sejauh itu, transformasi gerakan modern yang diusungnya  menampilkan wajah gerakan Islam puritan yang ditandai dengan ikhtiar memperkuat majelis tarjih yang intens mengupas soal fikih dan bertalian dengan responnya terhadap gejala TBC yang meradang dalam tradisi, adat dan budaya Jawa. 


Menurut Ahmad Najib Burhani, strategi gerakan dakwah yang dilancarkan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari identitas Jawa. Dicatat dalam bukunya Muhammadiyah Jawa (2010) bahwa selain melancarkan agenda pembaruan,    upaya penolakan praktik-praktik mistis dengan virus TBC semakin melapangkan Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah dan lembaga-lembaga sosial termasuk PKO dalam mengikis penyakit itu.

Dengan ditopang oleh perilaku kedermawanan (filantropi) lembaga pendidikan, sosial dan kesehatan berdiri mengiringi masa kejayaannya hingga 1 abad perjalanannya. Muhammadiyah tumbuh di pelosok nusantara dengan amal usaha yang terus berkembang. Manfaatnnya telah dirasakan hingga detik ini. Tentu masing-masing daerah memiliki tantangan dakwah yang berbeda-beda, tidak sama saat Kiai Haji Ahmad Dahlan pertama kali dakwah di Kauman, Yogyakarta.

Pada abad pertama itu, lembaga pendidikan, kesehatan dan tabligh dalam aspek sosiologis sukses mencuri perhatian. Hajriyanto Y Thohari, menyebut gerakan awal itu sebagai trisula lama yang perlu dipertahankan. Hanya saja di jaman yang sudah begitu cepat berubah ini, Muhammadiyah sejatinya dapat mereproduksi makna gerakannya yang lebih segar.

Kendati demikian, di awal gerakannya Muhammadiyah memberikan perhatian penuh kepada kelompok miskin-dhuafa. Aksi-aksi pelayanan Muhammadiyah dicurahkan untuk memberikan pemberdayaan kepada masyarakat miskin dan membutuhkan. Bedirinya rumah sakit, panti asuhan, sekolah lebih banyak didedikasikan untuk menolong mereka yang mustadz’afin.

Bahkan perhatian kepada orang miskin dan dhuafa menjadi prioritas gerakan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, muhammadiyah tumbuh menjadi besar. Tidak hanya lembaga sosial, pendidikan dan tabligh yang berdiri kokoh. Saat ini, Muhammadiyah memiliki lembaga zakat, infak dan sedekah (filantropi), majelis pemberdayaan masyarakat dan lembaga penanggulangan bencana. Hajriyanto Y. Thohari menyebutnya sebagai trisula baru gerakan Muhammadiyah. Artinya potensi gerakan sosial dan dakwah Muhammadiyah ke depan akan semakin besar di luar isu-isu strategis dan ke-Islaman (kalam jadid).   

Dalam konteks ini, masih segar ingatan kita terutama Muktamar Muhammadiyah di Makassar kemarin, Lazismu bersama bersama Program Studi Muamalah-Ekonomi dan Perbankan Islam (EPI)-Fakultas Agama Islam  UMY, Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengembangan Pendidikan (LP3M) UMY dalam paparan publiknya (public expose) perihal Perilaku dan Potensi Filantropi Warga Muhammadiyah yang berlangsung 4 Agustus 2015,  merilis hasil surveinya di 11 kota besar di Indonesia, yaitu Padang, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Mataram, Makasar, Pontianak, dan Balikpapan.

Berdasarkan hasil temuannya, Hilman Latief, mengtaakan, perilaku umum berderma dari warga Muhammadiyah sebagai warga kelas menengah Muslim Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengeluaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) sebanding dengan tingkat pendapatan mereka. Donasi ZIS yang dikeluarkan pada kisaran 2,5 % dari pendapatan.

Kendati demikian, penelitian ini juga mencatat bahwa pendapatan yang tinggi itu tidak menjamin berdermanya juga tinggi, begitu sebaliknya. Yang berpendapatan rendah nominal berdermanya ada yang di atas 10 % dari total pendapatannya, kata Hilman.

Dalam temuan yang lain, Hilman memaparkan sekitar 41,2 % warga muhammadiyah menyalurkan ZIS melalui dua lembaga. Dan sekitar 22,3 % saja hanya melalui satu lembaga. Di luar itu, ada warga yang menyalurkan donasinya langsung kepada mustahiq. Jumlah orangnya tergolong cukup besar sekitar 30,8 %. Sementara itu, 81 % warga muhammadiyah mengaku menyalurkan ZIS dengan cara tunai. Selebihnya, memanfaatkan layanan jemput zakat dan cara transfer belum dimanfaatkan secara optimal oleh warga Muhammadiyah.

Selain itu, kecenderungan mayoritas warga lebih suka menyalurkan ZIS-nya dengan datang langsung ke lembaga amil zakat. Tidak sedikit pula warga menyalurkan sendiri zakatnya kepada mustahik, sekitar 28,44 %. Yang menarik dari hasil temuan Hilman Latief bersama Tim Survei adalah jumlah potensi filantropi dari AUM. Seperti sekolah mampu menyisihkan dana sosialnya kurang dari 50 juta per tahun, sedangkan  sebagian lainnya 250-500 juta. Bahkan ada yang di atas 1-2 miliyar pe rtahun seperti rumah sakit dan perguruan tinggi Muhammadiyah yang besar. Berdasarkan kapasitas yang dimiliki AUM, setidaknya terdapat potensi dana filantropi yang jika dihimpun lebih dari 365 miliyar rupiah dan dapat dimanfaatkan setiap tahunnya. 

Bila mampu disinergikan dengan majelis dan lembaga yang ada di Muhammadiyah, tidak mustahil gelombang baru gerakan Muhammadiyah dapat segera terwujud dengan dukungan penuh kekuatan filantropi. Melalui paparan publiknya (public expose) perihal Peran MPM dan Lazismu Mengentaskan Kemiskinan, Rabu 5 Agustus, 2015 di Makassar, Bachtiar Dwi Kurniawan., mengatakan orientasi gerakan Muhammadiyah yang selama ini banyak menyisir kelas menengah terdidik, dapat dengan segera menoleh ke akar rumput (grass root) yang membutuhkan pertolongan secara nyata.

Dengan demikian ada upaya dari kelas menengah terdidik ini untuk memberdayakan masyarakat yang ada di desa-desa. Misalnya, majelis bersinergi dengan Lazismu dengan program pemberdayaan, baik untuk petani, peternak maupun lainnya. Bachtiar menambahkan, warga Muhammadiyah tidak boleh lemah, jika lemah warga Muhammadiyah tidak dapat menunaikan zakat, infak dan sedekah. “Padahal, zakat, infak dan sedekah adalah perilaku berderma warga Muhammadiyah yang sampai saat ini masih terus terjaga dengan baik,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Syahril Syah, mengatakan, tugas pemberdayaan adalah tugas kemanusiaan. Oleh Karena itu, sebagai gelombang baru gerakan Muhammadiyah pemberdayaan warga atau masyarakat penting dilakukan untuk menjalin kekuatan komunikasi dan memupuk kesadaran kritis sesama warga Muhammadiyah dan masyarakat sekitarnya. 

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?