August 12, 2015

Fikih Mitigasi, Ijtihad Kemanusiaan Muhammadiyah Di Abad Kedua






Judul buku    : Fikih Kebencanaan 
Penulis          : Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah
Tahun terbit  : Juni, 2015
Penerbit        : Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah
Halaman       : XXIV + 168 


Bencana dan musibah dalam bahasa agama senantiasa berkaitan dengan takdir Tuhan. Yang dengannya kita diajak untuk introspeksi diri (muhasabah) bahwa semua itu yang menimpa pada diri setiap manusia adalah ujian keimanan. Sedangkan yang lebih merangsang dari itu dan telah digariskan oleh al-Qur’an jika kerusakan bumi yang berbuah bencana dan musibah itu adalah ulah dari tangan manusia itu sendiri. 


Sejalan dengan itu, bukan berarti makna bencana dan musibah bebas berdiri sendiri. Apa yang dimengerti dan dialami masyarakat pada umumnya justeru sudut pandang tentangnya dimaknai secara berbeda-beda seiring dengan pengalamannya yang paling sederhana. Di luar tata pikirnya bencana secara emosional adalah musibah itu sendiri yang harus diterima manusia sebagai azab dari Tuhan karena mengabaikan perintah dan larangan-Nya.

Melalui bahasa agama pula, bencana diekspresikan sebagai kejadian luar biasa berupa kemurkaan Tuhan kepada manusia yang telah mengkufurkan segala nikmat yang diberikan kepadanya. Di luar makna teologisnya, bahkan bencana dipandang sebagai peristiwa adikodrati yang sulit dijangkau akal sehat manusia. Ada semacam kekuatan lain yang berkaitan dengan tempat di mana peristiwa bencana itu terjadi (local wisdom).

Berdasarkan uraian di atas, bagaimana cara pandang manusia terhadap kejadian bencana dan bagaimana menyikapinya. Untuk menjawabnya, Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui buku yang disusunnya, Fikih Kebencanaan berdasarkan keputusan musyawarah nasional tarjih ke-29 tahun 2015 di Yogyakarta, menyuguhkan pandangan-pandangannya terkait kebencanaan baik dari sisi manajemen bencana dan fikih sebagai ijtihad kolektif.
     
Untuk mengetahuinya, buku ini di bagian awal menjabarkan tentang konsep bencana. Dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana dimaknai sebagai sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian atau penderitaan, malapetaka, kecelakaan. Untuk itu, agar memperkuat pengertian bencana, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama LPB Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendefinisikan bencana sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun non-alam seperti faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi ini mengacu pada Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Sementara itu, menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bencana diartikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (halaman, 10).

Sesungguhnya inilah yang dialami Indonesia sekarang merujuk pada definisi bencana di atas. Pasca-gempa hebat yang diikuti tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu, Indonesia dikukuhkan sebagai negara yang rentan terhadap risiko bencana alam, di luar risiko bencana sosial-kemanusiaan. Hal ini dapat disaksikan bersama bagaimana situasi terkini dampak gunung api aktif seperti gunung Sinabung, gunung Raung dan beberapa gunung api aktif lainnya di Indonesia.

Adalah momentum yang tepat bagi Muhammadiyah menerbitkan buku ini. Memasuki usianya di abad yang kedua dan bertepatan dengan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, ijtihad kolektif tentang fikih kebencanaan yang sudah dikodifikasi mampu memperteguh identifikasi gerakannnya merambah krisis terbesar manusia sepanjang sejarah kebencanaan dalam bingkai Islam berkemajuan. 

Pandangan-pandangan Muhammadiyah dalam konteks menyikapi bencana sebagai rangkaian peristiwa menghasilkan suatu keputusan yang tidak hanya merespon pada saat tanggap darurat, di luar itu bersama LPB secara perlahan-lahan mampu mengatasi persoalan bencana yang sesungguhnya yaitu pasca terjadinya bencana dengan melakukan rehabilitasi bencana bersama sumber daya yang ada melalui komunitas siaga bencana. Sehingga bencana sebagai pengetahuan yang sudah ada dalam al-qur’an secara swabukti dapat memberikan informasi yang argumentatif (halaman, 26).

Dalam kesempatan berbeda, di bagian lainnya, buku ini ingin mengajak kita memandang bencana dari perspektif teologis dan perspektif sosiologis. Pada persoalan yang lebih partikular, menurut ijtihad kolektif terjadinya bencana bukanlah hukuman Allah atas dosa manusia, karena sesuci apapun manusia dalam hidupnya pernah melakukan perbuatan dosa. Dengan demikian, pada tingkat pemaknaan manusia atas segala peristiwa bencana itu akan menjadi nilai bagi manusia untuk merasakan nikmat dan kasih sayang Allah yang lebih besar (halaman, 52).

Dengan begitu manusia akan belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Sadar dan berpikir positif bahwa menjaga kesimbangan alam itu jauh lebih penting ketimbang nafsu dunia untuk mengeksplorasi alam tanpa perhitungan matang. Manusia akan berikhtiar mengurangi segala bentuk risiko bencana dengan mengolah alam secara arif bijakasana. Di samping itu, mempertimbangkan saat membangun tata kota yang modern dengan memperhatikan kandungan resapan air di dalam tanah agar terhindar dari risiko banjir serta memperhitungkan penebangan hutan agar tidak menimbulkan longsor.  

Bencana sebagai peristiwa yang sudah pasti ada (niscaya), menimpa keadaan dan situasi kita adalah peristiwa yang sulit dibantah. Menurut LPB, peristiwa bencana itu bukan persoalan yang utama untuk dihadapi. Adapun persoalan yang penting dihadapi situasi atau kondisi pasca-bencana itu sendiri. Untuk menyikapinya dibutuhkan kesadaran yang utuh apa itu bencana dari semua pihak terkait (stakeholders). Pihak-pihak tersebut harus memiliki sikap positif ketika bencana telah terjadi (halaman, 54).

Alih-alih ingin menetralisir pemahaman terhadap bencana yang bersentuhan dengan kearifan lokal (local wisdom), menurut putusan tarjih ini, musibah yang menimpa manusia baik melalui peristiwa alam maupun sosial dalam konteks tertentu tidak lain sebagai ujian dan cobaan bagi manusia. Karena itu, kearifan lokal dalam perspektif manajamen bencana adalah ikhtiar mengkombinasikan edukasi dan penyadaran bencana dengan tetap memperhatikan hak-hak manusia dan korban bencana.

Dalam konteks yang lebih popular, ijtihad fikih bencana tersebut berupaya untuk mencoba meletakan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keagamaan tanpa melupakan aspek ontologisnya sehingga esensi bencana sebagai pengalaman yang pernah dialami manusia dan hakikatnya secara substantif dapat dimaknai oleh segala lapisan umat Islam.

Uraian dalam buku ini  perihal fikih kebencanaan juga memberikan pandangan dan panduan bagaimana seharusnya bantuan kemanusiaan untuk para korban bencana bukan sekedar bantuan atas belas kasih semata, tapi yang perlu ditekankan adalah bantuan untuk korban bencana itu sebagai wujud kewajiban teologis bagaimana upaya memanusiakan manusia bagi korban bencana.

Untuk memenuhi hak-hak korban bencana, yang perlu disadari sepenuhnya adalah bahwa dalam situasi bencana ada prinsip yang menjadi sandaran jika pertolongan kepada para korban bencana adalah suatu kewajiban kelompok masyarakat yang berkelebihan sumber daya (harta, waktu, pikiran, manajemen, dsb) bukan sekedar karena kebutuhan mereka yang menjadi korban bencana (halaman, 107).

Berdasarkan al-Qur’an Surat al-Dzariyat  ayat 19,  ditafsirkan bahwa ada  hak hak yang harus dipenuhi bagi orang yang beruntung baik secara materi maupun non-materi untuk membantu memenuhi hak orang lain yang tidak mampu. Dengan teridentifikasinya makna tersebut yang bertalian dengan makna kesusahan atau tidak mampu bagi korban bencana pada ayat tersebut sebagai bagian dari al-mahrûm. Dengan demikian korban bencana dipandang mempunyai hak untuk menerima bantuan yang menjadi tanggung jawab pihak lain terhadap nasibnya.

Menurut kajian tarjih soal fikih bencana ini, karena berupa hak, maka bantuan kepada korban bencana harus memenuhi standar kelayakan minimal. Ini sama halnya dengan menunaikan zakat yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat ditunaikan. Karena itu, bantuan bencana tidak dapat diberikan ala kadarnya, namun harus memenuhi standar kelayakan berdasarkan suatu kerangka minimal yang ditetapkan.

Sesuai dengan prinsip kemaslahatan (Maqashid Syari’ah), fikih bencana ini dikaji khusus untuk memenuhi siklus mitigasi bencana, mulai dari tanggap darurat, rehabilitasi dan sampai pada tahap rekonstruksi dengan memperhatikan hak-hak dasar manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Di sisi lain, secara pedagogis ingin mengajak semua pihak bagaimana menjaga kerentanan para korban bencana dari bahaya penyakit, kemiskinan, hilangnya hak pendidikan, dan hak-hak lainnya yang dapat diakses untuk melanjutkan kehidupan mereka. (halaman 117).

Di saat keterbatasan fasilitas menjadi persoalan, di sini ada peluang bagi pendekatan filantopi untuk membantu para korban bencana mendapat penanganan yang semestinya. Seperti upaya memprioritaskan balita, perempuan, anak-anak dan lansia, hak-hak mereka dapat dipenuhi dengan menggalang bantuan dari semua pihak. Tidak terkecuali dengan kebutuhan para korban yang bersifat sangat personal.

Pada aras ini, masalah ibadah pada saat bencana juga menjadi perhatian penting. Di samping hak-hak ibadah para korban bencana, ada juga kesempatan bagi orang yang mampu untuk beribadah membantu orang lain yang kesusahan atau lemah (dhuafa). Dan para korban ini, secara fikih zakat masuk dalam kategori mustahik. Yaitu orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup ( new mustadz’afin) maka para korban ini berhak mendapat dana zakat.

Analoginya, dari perspektif fikih zakat mereka para korban bencana, sebagaimana delapan ashnaf mendapatkan bagian dari dana zakat sebagai golongan fakir dan miskin. Dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin (halaman 157-158).

Setelah membaca buku menarik ini, dari sisi isi, memiliki banyak informasi yang lengkap, baik secara fikih maupun manajemen kebencanaan. Ada banyak pendekatan yang selama ini tidak diketahui terkait dengan persoalan kebencanaan dan ke-Islaman di sisi lain. Umat Islam sangat membutuhkan informasi ini sehingga dapat dijadikan panduan untuk merespon kejadian bencana yang tidak dapat diprediksi sebelumnya maupun sesudah bencana ini terjadi.

Hanya saja kelemahan buku ini, tidak segera mendapatkan ISBN. Padahal buku ini sangat kaya informasi yang dibutuhkan masyarakat, terutama umat muslim. Sehingga buku bergizi ini mendapat standar kelayakan internasional yang dapat menjadi rujukan pertama di dunia terkait fikih kebencanaan. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?