Judul buku : Fikih Kebencanaan
Penulis : Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah
Tahun terbit : Juni, 2015
Penerbit : Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah
Halaman : XXIV + 168
Bencana
dan musibah dalam bahasa agama senantiasa berkaitan dengan takdir Tuhan. Yang
dengannya kita diajak untuk introspeksi diri (muhasabah) bahwa semua itu yang menimpa pada diri setiap manusia
adalah ujian keimanan. Sedangkan yang lebih merangsang dari itu dan telah
digariskan oleh al-Qur’an jika kerusakan bumi yang berbuah bencana dan musibah
itu adalah ulah dari tangan manusia itu sendiri.
Sejalan
dengan itu, bukan berarti makna bencana dan musibah bebas berdiri sendiri. Apa
yang dimengerti dan dialami masyarakat pada umumnya justeru sudut pandang
tentangnya dimaknai secara berbeda-beda seiring dengan pengalamannya yang
paling sederhana. Di luar tata pikirnya bencana secara emosional adalah musibah
itu sendiri yang harus diterima manusia sebagai azab dari Tuhan karena
mengabaikan perintah dan larangan-Nya.
Melalui
bahasa agama pula, bencana diekspresikan sebagai kejadian luar biasa berupa
kemurkaan Tuhan kepada manusia yang telah mengkufurkan segala nikmat yang
diberikan kepadanya. Di luar makna teologisnya, bahkan bencana dipandang
sebagai peristiwa adikodrati yang sulit dijangkau akal sehat manusia. Ada
semacam kekuatan lain yang berkaitan dengan tempat di mana peristiwa bencana
itu terjadi (local wisdom).
Berdasarkan
uraian di atas, bagaimana cara pandang manusia terhadap kejadian bencana dan
bagaimana menyikapinya. Untuk menjawabnya, Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah melalui buku yang disusunnya, Fikih
Kebencanaan berdasarkan keputusan musyawarah nasional tarjih ke-29 tahun
2015 di Yogyakarta, menyuguhkan pandangan-pandangannya terkait kebencanaan baik
dari sisi manajemen bencana dan fikih sebagai ijtihad kolektif.
Untuk
mengetahuinya, buku ini di bagian awal menjabarkan tentang konsep bencana.
Dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana dimaknai sebagai
sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian atau penderitaan, malapetaka,
kecelakaan. Untuk itu, agar memperkuat pengertian bencana, Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama LPB Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendefinisikan
bencana sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun non-alam
seperti faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi ini
mengacu pada Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sementara
itu, menurut United Nations International
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bencana diartikan sebagai suatu
gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas atau masyarakat yang
mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan yang meluas
yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk
mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (halaman, 10).
Sesungguhnya
inilah yang dialami Indonesia sekarang merujuk pada definisi bencana di atas.
Pasca-gempa hebat yang diikuti tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu,
Indonesia dikukuhkan sebagai negara yang rentan terhadap risiko bencana alam,
di luar risiko bencana sosial-kemanusiaan. Hal ini dapat disaksikan bersama
bagaimana situasi terkini dampak gunung api aktif seperti gunung Sinabung,
gunung Raung dan beberapa gunung api aktif lainnya di Indonesia.
Adalah
momentum yang tepat bagi Muhammadiyah menerbitkan buku ini. Memasuki usianya di
abad yang kedua dan bertepatan dengan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar,
ijtihad kolektif tentang fikih kebencanaan yang sudah dikodifikasi mampu memperteguh
identifikasi gerakannnya merambah krisis terbesar manusia sepanjang sejarah
kebencanaan dalam bingkai Islam berkemajuan.
Pandangan-pandangan
Muhammadiyah dalam konteks menyikapi bencana sebagai rangkaian peristiwa
menghasilkan suatu keputusan yang tidak hanya merespon pada saat tanggap
darurat, di luar itu bersama LPB secara perlahan-lahan mampu mengatasi
persoalan bencana yang sesungguhnya yaitu pasca terjadinya bencana dengan
melakukan rehabilitasi bencana bersama sumber daya yang ada melalui komunitas
siaga bencana. Sehingga bencana sebagai pengetahuan yang sudah ada dalam
al-qur’an secara swabukti dapat memberikan informasi yang argumentatif (halaman,
26).
Dalam
kesempatan berbeda, di bagian lainnya, buku ini ingin mengajak kita memandang
bencana dari perspektif teologis dan perspektif sosiologis. Pada persoalan yang
lebih partikular, menurut ijtihad kolektif terjadinya bencana bukanlah hukuman
Allah atas dosa manusia, karena sesuci apapun manusia dalam hidupnya pernah
melakukan perbuatan dosa. Dengan demikian, pada tingkat pemaknaan manusia atas
segala peristiwa bencana itu akan menjadi nilai bagi manusia untuk merasakan
nikmat dan kasih sayang Allah yang lebih besar (halaman, 52).
Dengan
begitu manusia akan belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Sadar dan
berpikir positif bahwa menjaga kesimbangan alam itu jauh lebih penting
ketimbang nafsu dunia untuk mengeksplorasi alam tanpa perhitungan matang.
Manusia akan berikhtiar mengurangi segala bentuk risiko bencana dengan mengolah
alam secara arif bijakasana. Di samping itu, mempertimbangkan saat membangun
tata kota yang modern dengan memperhatikan kandungan resapan air di dalam tanah
agar terhindar dari risiko banjir serta memperhitungkan penebangan hutan agar
tidak menimbulkan longsor.
Bencana
sebagai peristiwa yang sudah pasti ada (niscaya), menimpa keadaan dan situasi
kita adalah peristiwa yang sulit dibantah. Menurut LPB, peristiwa bencana itu
bukan persoalan yang utama untuk dihadapi. Adapun persoalan yang penting
dihadapi situasi atau kondisi pasca-bencana itu sendiri. Untuk menyikapinya
dibutuhkan kesadaran yang utuh apa itu bencana dari semua pihak terkait (stakeholders). Pihak-pihak tersebut
harus memiliki sikap positif ketika bencana telah terjadi (halaman, 54).
Alih-alih
ingin menetralisir pemahaman terhadap bencana yang bersentuhan dengan kearifan
lokal (local wisdom), menurut putusan
tarjih ini, musibah yang menimpa manusia baik melalui peristiwa alam maupun
sosial dalam konteks tertentu tidak lain sebagai ujian dan cobaan bagi manusia.
Karena itu, kearifan lokal dalam perspektif manajamen bencana adalah ikhtiar
mengkombinasikan edukasi dan penyadaran bencana dengan tetap memperhatikan
hak-hak manusia dan korban bencana.
Dalam
konteks yang lebih popular, ijtihad fikih bencana tersebut berupaya untuk
mencoba meletakan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keagamaan tanpa
melupakan aspek ontologisnya sehingga esensi bencana sebagai pengalaman yang
pernah dialami manusia dan hakikatnya secara substantif dapat dimaknai oleh
segala lapisan umat Islam.
Uraian
dalam buku ini perihal fikih kebencanaan juga
memberikan pandangan dan panduan bagaimana seharusnya bantuan kemanusiaan untuk para korban bencana
bukan sekedar bantuan
atas belas kasih semata, tapi yang perlu ditekankan adalah bantuan untuk korban bencana itu sebagai wujud kewajiban teologis
bagaimana upaya memanusiakan manusia bagi korban bencana.
Untuk
memenuhi hak-hak korban bencana, yang perlu disadari sepenuhnya adalah bahwa
dalam situasi bencana ada prinsip yang menjadi sandaran jika pertolongan kepada
para korban bencana adalah suatu kewajiban kelompok masyarakat yang
berkelebihan sumber daya (harta, waktu, pikiran, manajemen, dsb) bukan sekedar
karena kebutuhan mereka yang menjadi korban bencana (halaman, 107).
Berdasarkan al-Qur’an Surat al-Dzariyat
ayat 19, ditafsirkan bahwa ada hak hak yang harus dipenuhi
bagi orang yang beruntung baik secara materi maupun non-materi untuk membantu memenuhi hak orang lain yang tidak mampu. Dengan teridentifikasinya makna tersebut yang
bertalian dengan makna kesusahan atau tidak mampu bagi korban bencana pada
ayat tersebut sebagai bagian dari al-mahrûm. Dengan demikian korban bencana
dipandang mempunyai
hak untuk menerima bantuan yang menjadi tanggung jawab pihak lain terhadap nasibnya.
Menurut
kajian tarjih soal fikih bencana ini, karena berupa
hak, maka bantuan kepada korban bencana harus memenuhi standar kelayakan minimal. Ini sama halnya dengan menunaikan zakat
yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat ditunaikan. Karena itu,
bantuan bencana tidak dapat diberikan ala kadarnya, namun harus memenuhi
standar kelayakan berdasarkan suatu kerangka minimal yang ditetapkan.
Sesuai
dengan prinsip kemaslahatan (Maqashid Syari’ah), fikih bencana ini dikaji khusus untuk
memenuhi siklus mitigasi bencana, mulai dari tanggap darurat, rehabilitasi dan
sampai pada tahap rekonstruksi dengan memperhatikan hak-hak dasar manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Di sisi lain, secara pedagogis
ingin mengajak semua pihak bagaimana menjaga kerentanan para korban bencana
dari bahaya penyakit, kemiskinan, hilangnya hak pendidikan, dan hak-hak lainnya
yang dapat diakses untuk melanjutkan kehidupan mereka. (halaman 117).
Di
saat keterbatasan fasilitas menjadi persoalan, di sini ada peluang bagi
pendekatan filantopi untuk membantu para korban bencana mendapat penanganan
yang semestinya. Seperti upaya memprioritaskan balita, perempuan, anak-anak dan
lansia, hak-hak mereka dapat dipenuhi dengan menggalang bantuan dari semua
pihak. Tidak terkecuali dengan kebutuhan para korban yang bersifat sangat
personal.
Pada
aras ini, masalah ibadah pada saat bencana juga menjadi perhatian penting. Di
samping hak-hak ibadah para korban bencana, ada juga kesempatan bagi orang yang
mampu untuk beribadah membantu orang lain yang kesusahan atau lemah (dhuafa). Dan para korban ini, secara
fikih zakat masuk dalam kategori mustahik. Yaitu orang-orang yang sedang mengalami
kesulitan hidup ( new mustadz’afin)
maka para korban ini berhak mendapat dana zakat.
Analoginya,
dari perspektif fikih zakat mereka para korban bencana, sebagaimana delapan ashnaf mendapatkan bagian dari dana zakat sebagai golongan fakir dan
miskin. Dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat
membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin (halaman 157-158).
Setelah
membaca buku menarik ini, dari sisi isi, memiliki banyak informasi yang
lengkap, baik secara fikih maupun manajemen kebencanaan. Ada banyak pendekatan
yang selama ini tidak diketahui terkait dengan persoalan kebencanaan dan
ke-Islaman di sisi lain. Umat Islam sangat membutuhkan informasi ini sehingga
dapat dijadikan panduan untuk merespon kejadian bencana yang tidak dapat
diprediksi sebelumnya maupun sesudah bencana ini terjadi.
Hanya
saja kelemahan buku ini, tidak segera mendapatkan ISBN. Padahal buku ini sangat
kaya informasi yang dibutuhkan masyarakat, terutama umat muslim. Sehingga buku
bergizi ini mendapat standar kelayakan internasional yang dapat menjadi rujukan
pertama di dunia terkait fikih kebencanaan. Wallohu
‘alam
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?