June 2, 2010

Meredam Etos Kapitalisme Pendidikan

Oleh: Nazhori Author



Setelah dampak psikologis Ujian Nasional (UN) melanda peserta didik di tingkat SMU, kini giliran peserta didik di tingkat SMP setelah lelah berjuang menghadapi UN harus dihadapkan pada beban ekonomi yang amat berat. Sebab biaya pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang SMU tergolong mahal. Kondisi ini dapat dilihat misalnya, dengan maraknya sekolah negeri berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).

Merupakan suatu gejala yang merisaukan. Hal itu, nyaris membuat posisi pendidikan semakin jauh dari masyarakat akar rumput (grass root). Peserta didik dari keluarga miskin sulit mendapatkan haknya mengkases pendidikan yang bermutu. Pendidikan telah terperangkap dalam kaidah ekonomi yang paling asas di zaman modern sekarang ini.

Harus diakui, ide dasar RSBI pada dasarnya merupakan ikhtiar pemerintah meningkatkan status dan mutu sekolah. Di mana konsep itu sebetulnya adalah sikap antisipatoris pemerintah untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dimulai sejak usia wajib belajar. Sayangnya kualitas yang direncanakan tidak sebanding dengan dampak sosial yang diakibatkan. Dengan kata lain, sekolah secara tersirat harus tidak harus mengikuti mekanisme yang sarat dengan muatan ekonomi.

Meskipun para pemangku kepentingan bersandar pada alasan dan tanggung jawab yang rasional tetap saja sekolah tak ubahnya sebagai bahan eksperimentasi raksasa yang menampilkan wajah dan etos kapitalis. Mestinya, sekolah melalui pendekatan sosiologis mampu menjembatani komunikasi sosial antara mereka yang berasal dari keluarga yang kaya dan lemah secara ekonomi.

Inersia Pendidikan
Peningkatan status dan mutu beserta penciptaan analogi sekolah alternatif pada hakikatnya merupakan cita-cita besar untuk mengembangkan pembaruan pendidikan. Melalui pendekatan analisa sistem kemelut pendidikan dibedah agar melahirkan konsep dan keputusan-keputusan pedagogis. Pendekatan inilah yang menginspirasi pendidikan nasional dengan dalih pembaruan. Alih-alih menemukan titik terang malah mewariskan keruwetan kepada masyarakat khususnya peserta didik.

Sistem pendidikan nasional sebagai satu kesatuan yang utuh (holistic) dalam praktiknya setiap berganti kebijakan tidak bertahan lama. Kondisi itu nampak jelas dalam aktualisasinya sampai saat ini di tingkat manajemen pendidikan dan metodologi pengajaran. Turunan dari kebijakan itu bisa dilihat salah satunya tentang UN dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) atau sekolah bertaraf internasional (SBI).

Bisa disaksikan dampaknya bahwa dari total peserta UN SMA/MA 2010 sebanyak 1.522.162 siswa terdapat 154.079 (10,12%) siswa yang mengulang. Sementara jumlah siswa yang tidak mengulang 1.368.083 (89,88%) siswa. Sedangkan untuk mendapatkan sekolah bermutu di tingkat SMU, para orang tua peserta didik keberatan karena harus merogoh kocek jutaan rupiah agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang diharapkan.

Isyarat itulah yang nampaknya tak banyak direspon perencana pedagogis. Persoalan pendidikan terus berputar-putar di sekitar manajemen pendidikan dan metodologi pengajaran yang belakangan ini belum menemukan benang merah. Sementara nilai-nilai pedagogis yang tersedia dan unik yang dimiliki Indonesia dengan kekayaan budaya dan sumber daya alam melimpah belum bisa dijadikan sebagai konsep pendidikan yang unggul serta strategis.

Sepertinya, sampai batas waktu yang tidak dapat diprediksi sulit bagi pendidikan agar dapat berperan sebagai garda depan menumbuhkan kesadaran pedagogis dan politik. Hambatan besar ini akan masih berlanjut selama keengganan masih menjangkiti mental kita meskipun desentralisasi politik dan pendidikan sedang berlangsung.

Dengan kata lain, pembaruan pendidikan yang bertumpu pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, terkecoh oleh istilah perkembangan (development) dan kemajuan (progress). Di sisi lain, pertumbuhan (growth) sesuai jumlah waktu yang dibutuhkan memerlukan jumlah biaya yang tidak sedikit. Pantas jika deru langkah meningkatkan kualitas pendidikan kita bertumpu pada asumsi kualitatif hanya bisa dicapai dengan pertumbuhan kuantitatif. Pendidikan pun mengalami gejala inersia. Sudah bengkak dan lebam, bergeraknya pun terlihat lamban (Roem Topatimasang, 1998).

Perlunya Platform Pendidikan
Globalisasi adalah sebuah realitas. Oleh karena itu untuk menjawab tantangan globalisasi disamping meningkatkan pengetahuan, secara khusus kualitas pendidikan mendesak diperlukan mengingat salah satu cara memperoleh pengetahuan adalah lewat jalan pedagogis. Dengan demikian, sebagai korban dan pelaku globalisasi, kapasitas kualitas pendidikan Indonesia layak ditingkatkan.

Dalam beberapa aspek kita meyakini bahwa pendidikan mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Namun, dalam kenyataannya distribusi kualitas pendidikan belum merata sampai ke masyarakat miskin di setiap daerah. Lembaga publik ini justru dinikmati oleh mereka yang secara ekonomi lebih baik. Kontroversinya mirip dampak globalisasi jika dilihat dari sisi ketergantungan, ketidakadilan dan muatan ideologisnya.

Sudah saatnya suara etos kapitalisme pendidikan diredam dengan mengedepankan etos kerja sehingga akuntabilitas pendidikan menjadi prinsip dalam proses transformasi pendidikan. Di samping itu, kualitas etos kerja perlu dipetik untuk mengoptimalkan pemanfaatan sarana dan prasrana pendidikan yang disediakan oleh kekayaan budaya dan alam Indonesia sebagai sumber belajar.

Dinamika pendidikan sangat dipengaruhi oleh dampak positif dan dampak negatif globalisasi, mengingat kebijakan pemerintah yang serba terbatas baik dari sisi perencanaan dan anggaran. Oleh karenanya pola dan tata kelola pendidikan saat ini belum memberikan suara yang memihak kepada mereka yang tersingkirkan secara sosial.

Pendidikan sebagai kebutuhan yang hakiki bagi generasi muda dalam kenyataannya masih terkonsentrasi pada kebutuhan masyarakat perkotaan. Sementara di daerah tertinggal kesenjangan begitu nyata ketika dihadapi dengan sepenuh energi tapi tanpa daya. Begitulah kenyataan yang dihadapi aktor-aktor pedagogis seperti guru di daerah tertinggal.

Satu hal yang perlu menjadi renungan bersama adalah bahwa diperlukan ikhtiar pedagogis untuk pengembangan platform pendidikan secara kolektif antara pemerintah dan aktor-aktor nonpemerintah misalnya, komunitas, individu, praktisi entrepreneur, yang akan menjadi tiang penyangga dalam merespon kesenjangan di bidang pendidikan.

Pekerjaan rumah yang melelahkan memang demi meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Diperlukan eksplorasi lebih lanjut untuk mengevaluasi profil pendidikan kita. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, situasi politik, dan dinamika sosial lainnya layak direspon dengan komitmen bersama. Hal penting yang perlu dicatat, begitu banyak anak-anak di usia wajib belajar bercengkrama tentang sekolah tapi sulit untuk memperoleh haknya. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?