August 12, 2011

Dua Kehidupan dalam Satu Bulan Suci


Momentum berpuasa telah menempa kita dengan berbagai ujian, kenyataannya orang yang berpuasa menjadi tahan banting jika ia senantiasa memagari diri dari hawa nafsu. Berpuasa merupakan modal pendidikan spiritual yang mampu mengalahkan penderitaan dan memberikan rasa pahit terhadap manisnya kenikmatan duniawi.

Berbeda dengan orang yang menganggap dirinya perkasa, dia akan merasa sia-sia dalam berpuasa kalau tidak memiliki pedoman agama. Hatinya menjadi bimbang, memandang dunia dengan sebelah mata yang membuat pikiran jernih kembali keruh tanpa rasa optimis. Sikap ini jelas dipandang lemah oleh Islam sebab keperkasaan tidak membuatnya kuat dalam arena spiritual malah sebaliknya terkungkung dalam jurang nestapa.



Tragedi spiritual tersebut tengah terjadi di negara-negara modern dan industri, tidak terkecuali negeri yang makmur ini, sehingga akibat-akibatnya terasa lebih langsung dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, krisis moral yang terjadi dipanggung kekuasaan belakangan ini. Kapal pecah politik telah menimbulkan kegaduhan serta keberantakan mental dan fisik yang menjauhkan manusia dari pusat lingkaran eksistensi-Nya.

Sehubungan dengan kapal pecah itu, realitas material dan mental Cartesian memang sulit dibedakan. Walaupun bukan domain non-material mereka lupa membedakan spirit dan jiwa, yang di dalam tradisi sufisme dinyatakan sebagai ruh dan nafs. Dengan demikian, menurut Seyyed Hossein Nasr (1983) bagi orang-orang yang tidak menyadari perbedaan penting ini, fenomena psikis dipandang sebagai fenomena spiritual dan religius.

Dua Kehidupan
Puasa pada hakikatnya mengandung muatan pedagogis yang mengajarkan manusia dalam menemukan kesadaran makna hidup. Dalam aspek ini, terkandung makna bahwa selain hidup yang sementara di dunia, manusia akan menghadapi kehidupan kekal abadi di alam akhirat yang membuatnya termotivasi menggapai keduanya sesuai kemampuan manusia itu sendiri.

Dalam berpuasa sebulan penuh secara tidak langsung manusia diajak bertamasya seakan-akan kehidupan abadi akan dapat memperkuat keteguhan jiwa, sehingga manusia tidak serakah dan bersikap seperti Fir'aun atau Qorun. Sebaliknya, menuntun manusia untuk tidak lekas putus asa. Penuh ketulusan hati untuk mengabdi dan berbagi.

Di bulan yang penuh rahmat ini manusia berlomba-lomba berbakti, melakukan yang terbaik menghimpun pahala. Meninggalkan segala hal yang mengundang keburukan agar berpuasa dengan ikhlas dan hikmad. Meski sibuk mencari nafkah, berpuasa mengingatkan manusia agar tidak menyia-nyiakan keluarga yang ditinggalkan ketika bekerja.

Dalam menghimpun pahala puasa melalui dimensi ibadah yang khusus menyeimbangkan manusia untuk kehidupannya di dunia. Sama halnya dalam berikhtiar menempuh perjalanan mencari harta serta prestasi, ia juga tidak melalaikan kewajibannya terhadap perintah Allah merenda amal shaleh sebagai bekal kehidupan di akhirat.

Puasa bagi setiap muslim adalah kecerdasan mengolah kehidupan dunia dan akhirat. Minimal menjaga diri dari godaan hawa nafsu. Sementara untuk level maksimalnya bersama-sama menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran pada setiap jengkal kehidupan. Argumen teologis yang hendak diajukan adalah berangkat dari suri tauladan beliau Rasullulah yang membuktikan sesuatu tidak hanya dengan kata tapi dengan contoh nyata.

Di bulan ramadhan ini, kecemasan manusia membuktikan ada semacam hubungan antara agama dan fakta sosial bahwa semakin tajam atau terjal jalan menikung yang dilalui manusia maka agama akan selalu hadir dalam jiwa manusia yang takut dan gelisah seraya penuh harap kembali ke arah yang lebih baik. Seperti ditegaskan Willian James “selama manusia masih memiliki naluri kecemasan dan berpengharapan, maka selama itu pula ia beragama” (Djohan Effendi, 2004).

Sungguh pun demikian, manusia ingin memperoleh perlindungan dan kedamaian dalam hidupnya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Jika perlindungan dunia dan akhirat merupakan kebutuhan instrinsik manusia yang paling menentukan, maka menurut Djohan mau tidak mau manusia harus membentangkan kembali tali yang menghubungkan dirinya dengan Sang Pencipta.

Kelezatan Berbagi
Salah satu keistimewaan bulan ramadhan di samping kekuatan energinya menangguhkan kesenangan untuk memperoleh kenikmatan, kesempatan untuk saling berbagi terhadap sesama juga melengkapi ibadah ini selain perintah utama mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang membutuhkan adalah momentum yang tak akan terlewatkan.

Oleh karena itu, interpretasi puasa tidak selalu dimaknai sebagai tirakat sosial yang mengejar donasi pahala dari Tuhan, lebih dalam lagi puasa merupakan sarana untuk mengungkap kesenjangan dan ketidakadilan sosial sehingga makna ritusnya tidak berhenti pada wilayah normatif namun hidup dalam perspektif sosialnya. Barangkali puasa akan menjadi kekuatan di saat kepekaan kolektif mengalir menjadi semangat untuk saling berbagi.

Sekarang ini, kaum muslim hidup di jaman yang sangat berubah. Inilah jaman yang sering disebut era kapitalisme mutakhir (the leath of capitalism). Ada juga yang menyebut kita sedang hidup dalam postmodernisme. Berbagai istilah seperti itu menunjukkan bahwa ada jaman di mana umat manusia hidup dengan penuh risiko. Lingkungan hunian manusia tidak lagi sehat (Moeslim Abdurrahman, 2005).

Kapitalisme telah melahirkan individualisme yang bercorak gaya hidup pasar. Harus diakui, ekonomi berbasis modal telah ikut menyemarakkan ramadhan dengan menampilkan prosesi buka bersama yang mewah. Sementara gaya hidup yang shaleh seperti itu berhadapan dengan garis sosial yang amat timpang di saat politik ekonomi mengganggu rasa lapar mereka yang lemah secara sosial ekonomi.

Agenda puasa semacam ini, tentu saja, tidak akan terasa nikmat jika hanya mengandalkan sisi materi dan gengsi. Berpuasa bukan merupakan laku simbolik untuk melepas dahaga spiritual. Puasa adalah instrumen menalikan komitmen memperjuangkan keadilan sebagai jalan spiritual yang membebaskan belenggu kesenjangan sosial.

Itulah sebabnya, mengapa Islam menganjurkan setiap muslim untuk memposisikan tangan berada di atas, tujuannya adalah untuk melatih orang menjadi dermawan. Sehingga menyatukan umat yang terkotak-kotak dalam sekat sosial yang bisa menyebabkan kemiskinan menjadi ladang kekufuran. Idealnya, semangat berbagi ini intinya harus mampu menjadikan umat tangan di atas agar ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Wallohu 'alam

2 comments:

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?