October 31, 2011




DALAM diskursus komunikasi disebutkan keunikan manusia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan pada kemampuannya berbahasa. Bahasa adalah instrumen manusia untuk menjalankan kehidupan. Begitulah petuah orang berilmu. Dengan ilmu manusia percaya kepada Tuhan. Dengan ilmu manusia menjadi terhormat. Dengan ilmu manusia mampu berbagi dan beramal.

Alkisah, di negeri yang kaya dan makmur, ada 10 panglima yang diberi tugas raja untuk menyejahterakan rakyatnya. Perintah itu bukan berisi kewajiban melatih keterampilan pasukan, melainkan untuk melayani masyarakat melalui programnya masing-masing.



Panglima pertama sampai terakhir memiliki tugas dan program berbeda. Di antaranya tugas perbaikan ekonomi, hukum, pendidikan, sumber daya energi, permukiman, tenaga kerja, pertanian, transportasi kereta kuda, dan pemberdayaan potensi pemuda. Hebatnya, setiap panglima memiliki delegasi di singgasana sang raja. Setiap delegasi berperan penting untuk mengomunikasikan segala hal terkait dengan program serta tugas panglimanya.

Singkat cerita, semua panglima yang diberi tugas raja mengalami persoalan. Raja kecewa karena mendapat kabar dari tim penilai para panglima tak serius menjalankan tugasnya. Raja berinisiatif mengganti panglima yang bermasalah. Para delegasi tercengang dengan keputusan raja. Kegaduhan politik terus terdengar. Sementara rakyat kecewa dengan ketidakpastian program tersebut, yang diwarnai debat kusir setiap delegasi.

Panggung ‘Sophistry’
Kekecewaan rakyat ini beralasan karena setiap hari para delegasi panglima mengeluarkan pernyataan saling menyudutkan. Mereka saling melindungi satu dengan yang lain. Di atas podium, mereka tanpa lelah menunjukkan yang terbaik. Bahkan, berani menilai lembaga pemberantas korupsi, korupsi, kolusi, dan nepotisme telah disusupi kepentingan politik.

Dengan lantang salah satu delegasi panglima mengatakan bubarkan lembaga itu. Karena sudah tidak layak dan terlihat superbody. Delegasi lain menolak atas dasar tidak sejalan dengan semangat panji-panji reformasi yang selama ini dijanjikan kepada rakyat. Dari luar, rakyat terus melihat kegaduhan demi kegaduhan yang makin meluap.

Aksi akrobatik delegasi dalam berdebat dan memainkan emosi ruang publik amat memikat. Namun, semua semakin samar-samar. Tak jelas matra mana yang hitam dan putih. Sama persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum sofis (sophistry) pada zaman Yunani kuno. Kaum sofis ingin menemukan asas atau prinsip semua gejala yang diamati dan dialami manusia.

Gejala itu dijadikan titik pangkal mereka berargumen. Mereka ingin mengajak khalayak menuju prinsip atau asas yang tidak kelihatan, yang dianggap sebagai sesuatu yang objektif (Verhaak dan Haryono Imam, 1991). Jika perlu saling memojokkan dengan cara secantik mungkin. Secara tak langsung, mereka ingin mengabarkan bahwa inilah panggung politik. Panggung politik yang selama ini dicita-citakan dan tak dapat diantisipasi sebelumnya.

Aspirasi rakyat di arena debat sama sekali tidak bermakna, kecuali selesai di kotak suara saat pemilu. Sebaliknya, setiap delegasi berusaha meyakinkan pemilih loyal bahwa dirinya tetap bersih dengan seribu satu cara.

Setiap hal yang diucapkan justeru kian menaikkan derajat statusnya. Panggung politik adalah komunikasi yang paling bermakna saat berhadapan dengan momentum yang menentukan serta kemampuan seni pencitraan. Tetapi, paling tidak di panggung politik ini tercatat sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Penjara Hati
Salah satu kesulitan negara yang kaya dan makmur seperti dialami sang raja di atas adalah mengelola demokrasi menjadi sistem politik yang ideal. Namun, dalam perjalanannya, demokrasi malah menjadi batu sandungan di tengah keragaman. Kerusuhan, ancaman kekerasan, dan kejahatan seperti sebuah tragedi demokrasi yang setiap saat muncul secara tidak terduga.

Kepercayaan rakyat terhadap politik semakin turun karena meragukan teladan pemimpin dan menjadi semakin yakin akan kebodohan bangsanya sendiri. Kebenaran telah dimanipulasi. Ego telah berubah dalam bentuk penjara-penjara yang mengurung hati nurani manusia. Mereka lebih mengedepankan kemasan dan prestise ketimbang pendidikan politik untuk rakyat.

Pandangan-pandangan kaum sofis tersebut antara lain tentang kecenderungan untuk lebih menampilkan seni debat dan segala yang berbau retoris (sophistry) memang menjadi sumber dan bahan kutipan politik populer saat ini.

Praktis mereka kini sudah kehilangan identitasnya yang khas dan mandiri. Menjadi serbatanggung karena terdesak keadaan. Persepsi masyarakat sudah terlanjur buruk akibat polah tingkah sophistry yang menciutkan arti politik itu sendiri.

Tradisi inilah yang dilakukan para kaum sofis yang hidup pada era filsafat prasokratik, mereka mengemas kebenaran untuk memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri. Para penganut sofisme meyakini bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, semua hal benar menurut ukaran masing-masing individu. Kaum awam melihat kaum sofis zaman sekarang tampak lurus dari sisi akal budi. Padahal, yang sesungguhnya retorika kosong belaka. (*)

Artikel ini dimuat pada Harian Lampung Post 27 Oktober 2011 Klik disini

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?