April 14, 2014

Dibalik Alam Nyata Politik


Setelah heboh deklarasi Jokowi (jokowi effect) menjadi calon presiden dari Partai PDI-P, orang ramai membicarakan di surat kabar atau di jejaring media sosial yang berselisih paham atas masalah suksesi kepemimpinan Indonesia ke depan. Isu janji dan meninggalkan tugas di manfaatkan untuk menciptakan situasi politik bahwa setiap orang boleh melontarkan kritik sengit dan membangun. 


Sehingga situasi yang mulai memanas ini terus berlanjut pasca pemilihan umum anggota legislatif. Demokrasi sebagai wadah berekspresi semakin dikuatkan dayanya bagi setiap orang yang ingin memanifestasikan energi akal, nafsu dan amarahnya. Demikianlah adanya, politik hari ini telah menampilkan suatu pengetahuan yang majemuk bagi setiap warga negara yang berharap bangsa ini pulih dari penyakit kronisnya di tangan seorang pemimpin.   



Politik di alam nyata bagi para caleg adalah gagasan segar yang mampu melahirkan suatu jenis pengetahuan langsung melalui kemampuan akal dan inderawi. Dengan pengetahuan politiknya citra diri dibangun oleh para caleg melalui iklan-iklan memikat yang berada di setiap sudut atau tempat yang mudah dipandang setiap orang. 

Tidak ada pesan pesimis, semuanya menggelorakan spirit perubahan. Dari beberapa program unggulannya diformulasikan bahwa inilah pemimpin masa depan. Sementara, di alam nyata bagi para awam, mereka tidak memiliki banyak hubungan apalagi interaksi dengan para pemilih. Bahkan tidak mengenal sosok wajah caleg yang ditempel di sekitar lingkungan rumah mereka. Jika pun ada hanyalah tim kecil yang bergerak dari rumah ke rumah dengan pesan politiknya. 

Lantas, jika wajah politik itu sendiri adalah pemimpin yang dipilih sebagai wakil rakyat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, apakah keberadaanya statis atau dinamis? Seandainya di alam nyata, sejatinya pemimpin itu bersifat dinamis dan dapat dilihat daya inderawi. Kenyataannya, para calon pemimpin yang menebar pesona di mana-mana statis dengan mempertahankan identitasnya seiring berjalannya waktu hingga saat pencoblosan. 

Tampuk Kewenangan      
Pemilu pada hakikatnya adalah mencari tempat dimana sesungguhnya kewenangan itu berada. Di Indonesia kewenangan menjelma dalam suatu kata kekuasaan. Antara kewenangan dan kekuasaan merupakan dua kata berbeda. Kekuasaan dalam politik masa kini senantiasa hadir dalam suatu rekonstruksi politik merebut kursi kepemimpinan dan suara rakyat. Segala cara ditempuh atas nama ketidakpuasan (quwwat asy-syahwat) dengan perilaku politik menyimpang. 

Kekuatan materi terkonsentrasi untuk memperkuat legitimasi politik yang melupakan krisis kepemimpinan manusia modern. Korupsi merambah ke mana-mana seperti banyak terjadi belakangan ini menimpa aktor-aktor politik dan pejabat publik yang menanggalkan wibawa hukum. Kekuasaan terkait amat erat dengan atribusi seseorang yang sukses di jalur politik yang gila kehormatan serta ingin dipandang berhasil.  

Gelanggang kekuasaan adalah satu dasar episteme yang fundamental bagaimana politik dijalankan. Wacana dan kebenaran dibentuk oleh kuasa melalui suatu bentuk berpikir yang tidak disadari sebelumnya. Segala yang ada dalam objek politik disiapkan ke dalam suatu persepsi yang dikonsepsikan lewat pendekatan teoritis-kuantitatif. Lalu kekuasaan dibentuk dengan definisi sebagai suatu wacana politik yang diakui dan benar. 

Sulit membedakan mana partai Islam dan non-Islam. Secara tajam pembicaraan kekuasaan lebih bergema ketimbang kewenangan. Kewenangan menyangkut ide manusia sebagai pemimpin. Ia merupakan hikmah yang mewujud dalam kearifan praktis. Sayang, hikmah ini telah ditinggalkan di pangung politik. Padahal kewenangan dirumuskan untuk berbagi pendapat, sikap dan perbuatan bagaimana etika sosial berperan mencari jalan keluar bagi seorang pemimpin saat prahara datang.  

Hikmah inilah yang saat ini sulit ditemukan dalam arena politik modern. Suatu ide politik yang berada dibalik alam nyata. Kendati secara konseptual ada dalam alam ide para pemimpin kita semua. Karena masih berbentuk konsepsi ia tersingkirkan oleh ide kekuasaan yang lebih populis. Bertalian pada kewenangan yang pada dasarnya terkait dengan manusia sebagai pemimpin dimuka bumi. Manusialah yang memiliki wewanang untuk membawa hidup dan matinya suatu entitas manusia. 

Suatu ciri yang menonjol dari manusia adalah fitrah sucinya yang mewariskan jiwa kepemimpinan. Dengan jiwa manusia sebagai pemimpin berada dalam ranah ilmu dan amal. Begitupun dalam politik yang juga berada dalam ranah ilmu dan amal. Politik dapat dijiwai pada akal budi (intellectual) dan dapat dijiwai dengan perangkat indra (sensible soul). Teori hikmah yang diturunkan al-Kindi tersebut melalui sifat jiwa sesungguhnya berlaku bagi segenap ilmu pengetahuan praktis yang mencakup individu dan kelompok masyarakat. 

Karena itu, tujuan terakhir hikmah ini bagi pemimpin dan kewenangannya adalah moralitas luhur. Ilmu dan amal politik seperti apa yang nanti akan diwariskan para pemimpin untuk generasi selanjutnya. Bukankah ini merupakan bagian dari agenda politik masa depan yang persiapannya tentu dibalik alam nyata bagi insan politik yang memburu kekuasaan di alam nyata. Wallohu ‘alam    

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?