December 1, 2009

Masyarakat Madani sebagai People Power

(Century Gate: Momentum Perlawanan Rakyat)



Oleh: Nazhori Author



Di tengah proses penyelesaian kasus Cicak dan Buaya yang akrab di telinga masyarakat dan menghebohkan itu, kini keprihatinan moral dan politik bangsa kembali terusik dengan santernya skandal Bank Century (Century Gate). Para pengamat dan masyarakat sebagai pendengar dan penonton tak henti-hentinya disuguhkan berita korupsi dan kejahatan dunia perbankan tersebut setiap hari oleh media cetak dan elektronik yang menyadarkan masyarakat menjadi melek politik serta menilai dua kasus memalukan itu saling berkelindan bagai cerita bersambung.

Tidak berhenti sampai kasus Antasari Azhar, Bibit-Candra, ibarat gayung bersambut aroma tak sedap skandal Bank Century perlahan-lahan mulai tercium setelah rasionalisasi misi penyelamatannya mengalami kejanggalan dan meninggalkan jejak yang penuh dengan misteri tanda tanya. Meski begitu, ada saja yang membela dan melawan. Entah dari mana datangnya barisan pembela Bank Century itu baik melalui aksi demo dan pencitraan melalui opini di media massa bahwa langkah bailout adalah keputusan alternatif yang harus tidak harus diputuskan untuk menyelamatkan kapal tanker perbankan yang mengalami kebocoran triliunan rupiah di laut lepas.

Lebih miris lagi, saat sosok Anggodo yang jumawa bermain kata di depan TIM 8 yang digagas Presiden, hal ini menceminkan bahwa institusi hukum yang diwakili Kepolisian dan Kejaksaan, di negeri ini mudah dikendalikan setelah drama percakapan yang konyol itu didendangkan di depan masyarakat Indonesia. Hukum ibarat properti rumah, yang dengan mudah tipe kasusnya diatur makelar kasus (Markus) sesuai dengan permintaan transaksi.

Bagi masyarakat, hukum dan keadilan sudah ternoda dan tidak memihak yang benar. Mencuri tiga buah Kakao lebih mudah keputusan hukumnya ketimbang uang negara yang hilang mencapai triliun sekian. Bagi masyarakat sesungguhnya kata kunci untuk melacak arus fulus Bank Century hanya satu kata yaitu keberanian sang pemimpin untuk sungguh-sungguh menuntaskannya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah membuka jalannya, dan keberanian Presiden dinanti masyarakat dalam hal ini hanya tinggal meneruskan tanpa ragu-ragu.

Jika dihitung, 6,7 triliun tidak sedikit jumlahnya. Lumayan untuk menambah jumlah anggaran pendidikan yang jumlahnya belum berhasil menembus angka 20 persen dari APBN. Masyarakat merasa heran, mengapa institusi keuangan milik pemerintah tidak tahu ke mana raibnya uang negara padahal saat merestui untuk mengucurkannya tinggal tancap gas tanpa rasa panik dan bersalah. Sementara masyarakat miskin terus meradang ketika angka dibelakang koma terus berubah dalam grafik dan statistiknya.

Dari Masyarakat Madani Menuju People Power
Klimaks dari kondisi moral semacam itu adalah persepsi kritis bahwa Negara Telah Mati. Maka aktualisasi yang lebih vulgar yang layak diungkapkan adalah gagasan people power. Dalam konteks ini bukan dalam pengertiannya yang klasik yaitu masifikasi massa untuk turun ke jalan. Melainkan dengan pendekatan pedagogis kepada seluruh elemen masyarakat. Membangun kesadaran kritis masyarakat tidak melulu dengan jalan masifikasi (konfrontasi) tapi bagaimana dengan cergas diterjemahkan dalam kerangka masyarakat madani yang siap melawan manipulasi dan kebohongan dengan konsepsi yang damai dan transformatif.

Alasan utama mengapa people power menjadi egenda mendesak dan diperlukan karena penilaian yang dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagai persona kreatif yang merasa terpanggil dan tergugah hatinya sebagai bentuk dari solidaritas sosial untuk menyelamatkan bangsa meski tidak sempurna. Karena nalar memiliki keterbatasan untuk memberikan penilaian yang sepenuhnya objektif. Dari sudut pandang pedagogis jelas bahwa manipulasi dan kebohongan publik dalam proses politik demokrasi merupakan pengkhianatan terhadap ide masyarakat yang mulai terbangun dalam landasan masyarakat madani.

Rakyatlah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan tidak bisa ditawar. Belajar dari sejarah Revolusi Bolshevik, Prancis, atau Revolusi Islam di Iran, dan Reformasi 98 di Indonesia, tidak lain adalah fakta keras jika kekuatan rakyat benar-benar nyata. Dengan kata lain, puncak kekuatan politik yang sejati adalah rakyat. Oleh karena itu, dalam format demokrasi sekarang ini, masyarakat madani berada di titik yang tepat. Apalagi ragam penyakit kronis yang telah melumpuhkan tatanan demokrasi bangsa merupakan momentum segar bagi masyarakat madani untuk singgah bersama mengeluarkan ide-ide yang kritis-transformatif.

Masyarakat Madani bukan sekadar masyarakat belajar dari berbagai macam latar belakangnya. Lebih dari itu sebagai sekumpulan umat (ummah) yang memiliki tujuan dan kesadaran aktual. Ali Syari’ati, revolusioner yang tercerahkan asal Iran mengemukakan ummah adalah kumpulan orang, di mana setiap individu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan, atas dasar kepemimpinan yang sama (Dawam Rahardjo: 2002).

Sebagaimana disebutkan di muka, yaitu mengenai beberapa kasus besar (tentunya merugikan) yang sangat merapuhkan tiang penyangga bangsa ini. Secara tidak langsung inilah kesalahan substansial kita termasuk para pemimpin bangsa ini. Seperti mengurai benang kusut yang tidak pernah berhasil menemukan ujungnya dan tidak pernah mau belajar dari keterbatasan. Senada dengan aksioma pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan akan lebih baik jika ditambahkan keterbatasan adalah guru yang terbaik.

Bangsa ini selalu merasa lebih dan tidak pernah sadar jika memiliki kelemahan. Purna keterbatasan itu semakin terlihat ketika mereka yang diberi amanat untuk menjaga negeri ini bermain mata dan bersekutu dengan kemungkaran yang sistematis. Satu persatu harta kekayaan bangsa ini lepas dari genggaman anak bangsa sebagai pewaris tunggal. Sangat sulit kita memastikan di mana sebenarnya sumber kemungkaran itu. Karena masyarakat terlalu mudah diberikan janji-janji manis dan laporan keberhasilan yang sesungguhnya itu adalah malapetaka. Kita terlanjur terlena dengan bahasanya yang lugas dan manis.

Oleh karena itu, tentunya kita tidak ingin kesalahan substansial itu terulang kembali. Saatnya masyarakat menyatakan dengan tegas bahwa niat tulus ada di dalam hati nurani kita masing-masing. Tentunya yang ditegaskan dengan tujuan yang sama yakni keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan kemakmuran yang didambakan bangsa ini. Cukup kita disadarkan oleh tontonan visual modern yang memilukan dan memalukan.

Kita yakin masyarakat madani sebagai people power akan segera terbentuk dan kekuatannya mengalir ke seluruh pelosok negeri ini untuk melawan kekuasaan yang congkak. Manipulasi dan kebohongan harus dihadapi dengan revolusi penalaran seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat madani adalah sarana pedagogis menuju people power yang berilmu, beramal dan berkelanjutan. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?