March 24, 2015

Jurnalistik Filantropi



Setelah menunggu selama 1 jam dengan secangkir kopi, Imam Prihadiyoko datang bersama adiknya, lalu duduk bersama Adi Rosadi, Nazhori Author dan Nanang Q el-Ghazal dari pegiat filantropi. Sejenak melepas penat, dan seketika itu obrolan panjang bermula. “Berbagi dan komunitas menjadi topik menarik,” kata Imam mengawali saat secangkir teh hangat ada dihadapannya dari tangan pramusaji.

Bersamaan dengan itu, Imam bercerita tentang Muhammadiyah sejauh yang ia ketahui selama menekuni surat kabar di Batavia. Muhammadiyah  telah menyita perhatiannya sebagai pewarta, dari sana pula Imam mengikuti perkembangan Muhammadiyah dari gerakan pemikiran, ekonomi, pendidikan, dakwah, budaya dan filantropi. 

Syahdan, Imam tepat sedang bersama awak Lazismu, tentu saja potret filantropi menjadi tema kunci bincang-bincang sore itu, tak jauh dari pohon rindang, di halaman gedung plaza Senayan, Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. Imam mengatakan, sebetulnya ketika menyimak filantropi di organisasi sebesar Muhammadiyah, “Ada banyak cerita yang dapat digali dari sana,” katanya. Apalagi dengan keberadaan Muhammadiyah di seluruh Indonesia, hal-hal kecil dapat memicu aktivitas menarik, demikian ungkapnya lugas.

Hanya saja menurut Imam, dari kelebihan yang ada di filantropi Muhammadiyah informasi tentang jejaring masih belum banyak terungkap. Padahal, ada banyak warta yang dapat disajikan ke masyarakat dan warga Muhammadiyah khususnya. “Karena itu, kekuatan jejaring perlu disiapkan sehingga ada semacam jurnalistik warga (citizen journalism) berbasis filantropi,” terangnya.

Hatta, Nanang menyambut pembicaraan itu. Saya pikir, apa yang ada dalam benak Mas Imam, sama dengan apa yang saya pikirkan selama ini. “Ketika melihat Muhammadiyah dengan sumber daya yang ada, sesungguhnya ada banyak perspektif yang dapat ditelisik terkait filantropi,” katanya. Filantropi itu, bisa dilihat sebagai peluang komunikasi dan pesan dakwah yang kaya akan konten, sambungnya.

Sayangnya, masih ada jejaring yang mengalami kesulitan bagaimana aktivitasnya selama ini dapat diceritakan ke masyarakat. “Sekali lagi, bahasa lisan masih terpapar sementara bahasa tulis tersingkir,” ungkapnya. Untuk itu, dibutuhkan keterpaduan informasi antar jejaring sehingga dapat saling belajar dengan memanfaatkan media teknologi informasi, jelasnya.

Ibarat penulis sejarah, bagaimana sejarah itu dibuat dan diceritakan. Ingatan adalah instrument bagaimana sejarah dapat diceritakan dari generasi ke generasi secara turun menurun. “Kendati ingatan tak pernah kuat dan mapan, maka menuliskan dengan pena di atas kertas adalah cara lain merawat ingatan yang tidak stabil itu, tandas Nanang.

Nanang mengakui, dalam waktu dekat ini, sebelum muktamar Muhammadiyah di Makassar, ada semacam bongkahan informasi yang dapat dikantongi oleh jejaring dalam bentuk serpihan kiat bagaimana mengolah jurnalistik filantropi. Hal ini penting diungkap sebagai signifikansi penguatan informasi antar jejaring yang telah berbagi aktivitas dan akan disiarkan ke masyarakat. 

Tentu saja hal itu mengundang ketertarikan, Imam mengatakan, siapa lagi yang akan mencatat sejarah Muhammadiyah, selain orang Muhammadiyah sendiri. Sekecil apapun aktivitas itu, ketika ditulis, “Kelak dalam hitungan waktu akan menjadi cerita sejarah yang akan dibaca generasi selanjutnya,” tutur Imam. Sama dengan penelitian tentang Muhammadiyah, kendati karya akademis, isinya dapat menjadi informasi berharga sebagai sejarah, katanya.

Kemungkinan yang paling mendesak pelatihan Jurnalistik. Adi mengatakan, ada beberapa hal yang bisa disajikan untuk aktivasi jurnalistik filantropi. Pertama, terkait peserta dan perguruan tinggi umum atau Muhammadiyah. “Untuk peserta bisa mengajak kawan-kawan ortom yang aktif di kampus, atau mahasiswa yang tertarik dengan jurnalistik. Terkait perguruan tinggi ini hanya sebagai tempat kegiatan pelatihan itu diselenggerakan,” jelasnya.

Adi berharap, dengan pelatihan ini dapat mengakomodir kebutuhan jejaring berkenaan dengan kegiatan pemberitaan. “Para peserta yang lolos ikut pelatihan ini, dapat bergabung atau menjadi koresponden jejaring Lazismu yang ada di Indonesia, pungkasnya.

Hal senada diungkapkan Author, para peserta yang sudah mendapat pelatihan tersebut juga bisa langsung bergabung dengan jejaring Lazismu yang ada. Apalagi sebagai kontributor atau relawan tentu jejaring akan sangat antusias menerima kehadiran para contributor berita dan relawan berita, terangnya.

Untuk ke depannya, pelatihan jurnalistik filantropi bisa di adakan di kota-kota yang lain dengan harapan dapat menjaring peserta. Imam menambahkan, dengan pelatihan yang nanti akan diaktivasi Lazismu, programnya dapat dikembangkan bisa melalui teknik fotografi dan teknik pengambilan gambar (video) untuk melengkapi kegiatan jurnalistik filantropi.

Selain itu, data tren media sosial juga menunjukkan bahwa selain informasi digital yang berkembang, jurnalistik warga begitu gencar menguat. Situasi itu, dapat dimanfaatkan jejaring untuk bertukar informasi baik lewat blog atau media lainnya terkait kegiatan filantropi yang dilakukan oleh komunitas belakangan ini.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?