January 28, 2015

Charlie Hebdo, Tersandung Perkara Karikatur Satire


 ”Freedom of Speech and Expression is Not Without Limit?”


Pasca-penyerangan kantor redaksi majalah Charlie Hebdo, pemerintah Perancis mengumumkan darurat keamanan. Pihak kepolisian diinstruksikan untuk siaga tingkat tinggi mengamankan fasilitas umum, pusat perbelanjaan, kantor-kantor media dan tempat lainnya.

Peristiwa terjadi saat majalah menampilkan kartun satire yang memicu kemarahan. Digambarkan majalah itu menghina Nabi Muhammad di halaman sampulnya. Seperti dikutip laman Times, Jumat (9/1) umat Muslim Perancis murka karena surat kabar itu menampilkan kartun sosok Nabi Muhammad SAW. Kartun itu dinilai sudah kelewat batas.

Dikabarkan 12 awak redaksi ditembak saat rapat redaksi. Stephane Charbonnier, sebagai pimpinan redaksi serta tiga kartunis “nakal“, Jean Cabut, Bernad Velhac, dan Georges Wolinski terkapar meregang nyawa ditangan 2 pria bertopeng hitam lengkap dengan senapan laras panjang. 


Dunia dibuat heboh, aksi solidaritas, dukungan dan kecaman meluas menanti respon. Masyarakat dibuat terperangah, media online dan sosial media ramai-riuh dikunjungi netizen. Situs web berbagi video seperti Youtube terus diburu, penikmat video di seluruh dunia seakan dahaga mengenai kabar berita itu.

Kendati demikian, seminggu setelah peristiwa itu, Charlie Hebdo tetap terbit, seperti biasa menampilkan kartun lagi. Seperti diberitakan Kompas mengutip AFP, Selasa, (13/01/2015) Charlie Hebdo menampilkan “figur suci“ Nabi Muhammad dengan mimik sedih dan air mata menetes jatuh dipipinya. Dalam kartun itu tangan Nabi memegang tulisan  Je Suis Charlie“ (Kami adalah Charlie). Slogan itu ditampilkan sebagai langkah menolak aksi kekerasan untuk menanggapi kartun yang dibuat Charlie Hebdo. Sementara di atas sorban tertulis ’’Tout Est Pardonne’’, yang artinya semua telah dimaafkan.

Majalah Cahrlie Hebdo laris manis, edisi baru itu mendapat suntikan dana dari pemerintah. Bahkan, majalah itu akan diterjemahkan ke dalam 16 bahasa di seluruh dunia atas permintaan pembaca. Bagaimana respon selanjutnya bagi umat Islam di seluruh dunia? Apakah kebebasan berbicara dan berekspresi tanpa batas ?

***

Charlie Hebdo memang kontroversial. Di Perancis sendiri, polah-tingkah majalah itu tak mampu membuat orang bergeming. Tak hanya agama, politikus dan situasi sosial pun menjadi sasaran empuk redaksi. Baru belakangan ini, Charlie Hebdo merasakan tamparan langsung yang membuat majalah terkapar oleh aksi heboh Kouachi bersaudara.

Beruntung majalah ini masih bisa bernafas lega, sistem hukum sipil yang diterapkan dapat tumbuh diatas tanah sekularisme yang kaya akan gagasan mode fashion. Demokrasi dan kebebasan, pasaca-revolusi Perancis 1789, terus tumbuh kembang. Hal ini, sejalan dengan carut marutnya dan kontroversialnya postmodernisme yang lahir di Perancis dari gagasan liar Jean. F Lyotard. Dengan kata lain, aksi kontroversialnya setimpal dengan dampak postmodernisme sebagai mode intelektual yang disambut dengan reaksioner.      

Tidak ada gagasan atau narasi besar, yang ada serpihan-serpihan narasi yang berserak sebagai kreativitas lokal. Mungkin narasi kecil ini yang mengilhami Charlie Hebdo. Bahasa dan ruang tanpa makna hadir dalam dapur redaksi yang pada akhirnya, karikatur satire itu sendiri adalah permainan bahasa (penumpang gelap) yang duduk di kursi kebebasan pers.

Dalam perspektif ini, postmodernisme adalah instrumen pamungkas bagi Charlie Hebdo dan awaknya. Melalui pengetahuan sekalipun, apapun termasuk komunikasi media mau tidak mau harus berubah seiring dengan transformasi yang bernama postmodernisme. Charlie Hebdo pun bebas melantai di bursa saham ide yang berupaya menolak dan tidak percaya terhadap segala narasi besar yang ada termasuk agama.

Peristiwa itu, dari sudut pandang etika jurnalistik, mengacu pada sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach tentu dalam posisi tumpang tindih. Di satu sisi, ia harus independen dan bebas dari kepentingan siapapun, di sisi lain terkait etika jurnalistik dan kesiapan untuk menerima kritik yang berujung pada maut sulit untuk ditempatkan mengingat ia bertentangan dengan hati nurani orang lain.

Charlie adalah satu dari sekian media yang lantang melakukan satirisme. Namun, dengan hati nurani yang paling dalam kita semua menolak segala bentuk kekerasan. Kekerasan yang dilakukan Kouachi bersaudara tentu tidak dibenarkan, dalam situasi lain, kekerasan verbal-grafis Charlie meski dalam bentuk karikatur juga tidak bisa ditolerir karena beraroma rasis.

Sudut pandang berbeda saat melihat Charlie Hebdo tentu bisa dipetik dari panggung yang lain. Seperti disajikan dalam diksusi publik yang di gelar di gedung PP Muhammadiyah pada Senin, (26/1/2015). Dalam diskusi yang dimoderatori Alpha Amirrachman itu menampilkan pembicara yang diantaranya adalah Abdurrahman Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri RI, Hidayat Nurwahid Wakil Ketua MPR, Esti Handayani (menggantikan A. Fachir) dan Andar Nubowo kandidat Doktor Ehess Perancis, dan Direktur IndoStrategy.

Dalam sambutannya, Abdurrahman Fachri mengatakan peristiwa Charlie Hebdo telah membuat ketegangan. Dan sampai hari ini telah memunculkan berbagai sudut pandang. Semoga dalam diskusi ini akan ada informasi yang menarik, katanya saat mengucapkan terima kasih. Fachri sendiri hanya berbicara sebentar karena ada tugas lain, Ia digantikan Esti Handayani.

Hal senada disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, kepada umat Islam diseluruh dunia, terutama di Indonesia agar tidak terpancing dan bereaksi berlebihan. Hal itu, sebetulnya juga pernah dilontarkan saat CDCC, sebagai pusat studi dialog dan kerjasama antar peradaban mengadakan diskusi pertengahan Januari yang lalu.

“Sikap dan reaksi berlebihan akan hanya akan menambah kekacauan di dunia“, kata Din. Dibelahan dunia lain, khususnya negara Islam muncul reaksi serupa. Hal ini buruk bagi kehidupan global. Sementara Charlie Hebdo tidak menyadari apa yang telah diperbuatnya, bahkan sangat merugikan umat Islam, katanya.  Makna kebebasan dan berekspresi perlu ditinjau kembali, dalam deklarasi universal pun hak-hak manusia memiliki batasan, apalagi dalam agama Islam, tandasnya.

Kebebasan berbicara yang tumbuh di Barat dan menjadi budaya di sana dalam takaran tertentu tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Karena itu, harus ada kesepakatan global baik pada skala negara-negara di PBB maupun dalam konteks masyarakat untuk membuat  aturan main berupa kode etik agar mencapai tatanan hidup bersama yang baik dan menjaga kerukunannya“, tegasnya dalam diskusi itu yang bertajuk Freedom of Speech and Expression is Not Without Limit?

Dalam konteks sehari-hari, Din menambahkan kebebasan berbicara dan ekspresi seakan tidak ada batasnya. “Padahal semua itu ada batasnya. Semua telah diatur, hanya saja ada etika dalam melaksanakannya“, papar Din yang banyak makan garam dalam wacana dialog antar agama-iman di pentas global. Semua tidak ada yang absolut, ada sesuatu yang memang layak diperjuangkan, yang perlu disepakati dan itu ada sebagai batasan, ujarnya. 

Sementara itu, Esti Handayani sebagai pembicara pertama mengatakan, masyarakat Indonesia yang plural dan sebagian besar umat Islam mengutuk kekerasan yang terjadi dalam kasus Charlie Hebdo. Namun masyarakat juga sadar dan tahu bahwa ada sesuatu yang salah dari satire yang sesungguhnya  merupakan kultur dari Prancis itu sendiri. “Seyogianya Charlie sadar bahwa  konteksnya satire tersebut ketika disebarkan secara global dapat menimbulkan kontrovesi,” kata Esti.

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sudah menunjukkan kebesarannya dalam toleransi sebab tidak bereaksi secara berlebihan, namun lebih dapat mengkondisikan situasi secara lebih jernih, elegan setelah peristiwa itu terjadi. Dalam diskusi itu, Esti menampilkan beberapa pandangan-pandangannya terkait provokasi yang menimbulkan respon positif dan negatif. “Kita tahu dalam isu ini ada perbedaabn cara pandang dan reaksi. Tapi dalam konteks lain, itu adalah suatu cara melumpuhkan yang menggunakan atas nama Tuhan, itu salah,“ kata Esti.

Esti mengatakan, Hak Asasi Manusia melindungi kebebasan berbicara dan berekspresi. Dalam Islam pun kita dapat berkaca pada Nabi saat berbicara dan berekspresi. Ada semacam etika yang perlu diperhatikan saat berbicara dan berekspresi, katanya. Esti mencontohkan beberapa aktivasi kebebasan berbicara dan berekspresi, Sumpah Pemuda misalnya, yang merupakan bagian kebebasan bereskpresi dan berbicara dalam sejarah Indonesia.   

Kebebasan berbicara dan berekspresi yang diatur negara juga diatur setiap negara yang menghormati agama dan kepercayaan. Misalnya tertuang dalam deklarasi universal hak asasi manusia. Pandangan ini juga bisa merujuk pada International Covenant on Civil and Political Rights dengan bersandar pada artikel 19, terang Esti memastikan.

Selain itu, Indonesia memiliki prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi yang sesuai dengan kebhinekaan dan menghormati para pendiri bangsa ini. Indonesia telah melakukan dialog bersama dalam forum-forum dialog internasional, kata Esti menjelaskan. Indonesia sebagai negara plural dan harmoni dalam komunitas internasional maupun dialog intermedia global telah mempromosikan dialog antar agama dan dialog antar budaya. Ini dilaksanakan pada acara Focus Discussion Group yang digelar Kementerian Luar Negeri, 19 Januari yang lalu.

Dari kacamata hubungan internasional, Esti telah memberikan penjelasan bagaimana kebebasan berekspresi dan berbicara diteropong dalam konvensi internasional. Sejauh ini, Esti mengabarkan bahwa batasan dalam kebebasan berbicara dan berekpsresi di kancah internasional dapat dilihat untuk membedah Charlie Hebdo. Untuk konteks Indonesia, masyarakat bisa membandingkan dengan situasi dalam negeri di mana umat Islam turut merespon positif dan negatif.    

Pandangan berbeda disampaikan Hidayat Nurwahid. Menurutnya, kebebasan berbicara dan berekspresi dalam kesadaran manusiawi. “Sesuatu yang tanpa batas itu tidak ada,“ katanya. Ia mengibaratkan kebebasan berbicara dan berekspresi dengan olahraga sepakbola, itu contoh gampang, bebernya.
       
Dalam sepakbola, kebebasan dan ekspresi dapat dilihat. Tapi dalam kenyataannya terbatas. Padahal dalam dunia sepakbola menjunjung tinggi sportivitas, terangnya. Pemain sekelas Christiano Ronaldo dalam hal lain telah menyuguhkan tontonan sepakbola yang berkualitas, namun di kondisi yang berbeda ia telah melakukan kesalahan saat bermain tidak fairplay, ungkapnya.  

Di panggung politik, demokrasi dipandang sebagai sistem yang terbaik. Dalam aplikasinya demokrasi tetap ada batasnya, sambung pentolan partai berlogo padi dan kapas itu. “Tentu ada mekanisme yang dibatasi juga jadi ada aturan yang membatasi semua harus diikuti, tuturnya. Limitasi ada nyatanya, karena begitulah kehidupan yang berperadaban, kata Hidayat menambahkan.

Untuk itu, dalam konteks Charlie Heboh, canda Hidayat, pemaknaaan terhadap realita yang berhubungan dengan limitasi, dan bagaimana mendudukan masalah tersebut setidaknya diletakan secara proporsional. Sekali lagi, semua itu ada batasnya. Dalam konteks media juga mengapa kebebasan berekspresi sesungguhnya tidak memotong aturan yang berlaku, tutur Hidayat.

Hidayat mengatakan, peradaban dibangun dalam dialog yang santun. Maka dalam menyikapi dunia internasional seperti di Perancis juga diatur dengan adanya batasan dan bagaimana melindungi warga negaranya. Orang muslim di Perancis hanya ingin Nabinya dihormati, tandasnya.

Perilaku ketidakadilan di Perancis sangat nyata terlihat, yang pada akhirnya memicu tindakan radikalis. Pada dasarnya tidak perlu menggunakan cara radikal. Islam menghormati semua orang dari mana saja latar belakangnya maupun negaranya. Negara manapun tidak menginginkan kekerasan atau konflik. Deklarasi internasional dan Islam menginginkan harmoni. Poin terakhir UUD 45 juga memberi landasan soal berbicara dan berekspresi yang diikuti tanggung jawab. Inilah jatidiri peradaban dan keunggulannya.

Berangkat dari kekisruhan Charlie Hebdo, Direktur IndoStrategy, Andar Nubuwo, mengajukan pertanyaan yang menggelitik. Apakah karikatur itu Nabi Muhammad, seperti yang dipersepsikan selama ini. “Bisa jadi karikatur satire itu, mengggambarkan Muhammmad yang lain. Atau Muhammad Andar Nubowo,“ imbuhnya tersenyum. Ada banyak nama Muhammad. Dan, pada taraf ini ada perbedaan pemahaman di Perancis soal satirisme, paparnya.

Pertama, Andar mengatakan, di Perancis  itu satire merupakan suatu hal yang lumrah. Namun bagi kalangan muslim, kristen yahudi, dan pemeluk agama yang merasa terhina, satire mengundang persoalan, bebernya. Di ketahui, Inggris dan Perancis sama-sama sebagai negara yang menerapkan demokrasi. Negara itu memisahkan agama dan demokrasi. Tapi dalam praktiknya berbeda. Di Perancis saat melakukan satire tidak ada hubungannya dengan agama, apalagi figur-figur suci, kata Andar.

Kedua, tragedi ini puncak gunung es dari diskusi publik berkenaan dengan kehadiran muslim di Eropa. Dalam sejarah misalnya, Andar mengungkapkan, jika kekuatan Islam tidak dibendung di Perancis kemungkinan besar Eropa dikuasai Islam. Kemudian ada sejarah kolonialisme, di mana orang Islam dijadikan serdadu untuk perang. Kaum muslim di Perancis ini adalah buah imigrasi di Eropa pasca perang dunia kedua. Andar menambahkan, muslim hadir untuk merekonstruksi Perancis dan Eropa yang hancur. Pada 1960-an, imigran muslim bekerja jadi buruh mereka tidak berpendidikan, mereka hidp dan menetap di sana, katanya.

Selanjutnya, generasi kedua pasca imigran mereka hadir dengan sebagai orang Islam Perancis yang terdidik. “Mereka melek hukum dan mengerti bagaimana hak-hak mereka juga harus diperhatikan negara, kupas kandidat Doktor Ehess, Perancis itu.

Andar menceritakan, dulu saat perdana menteri Perancis, Nicholas Sarkozi menjabat, ada semacam banalitas di mana simbol-simbol Islam lebih menonjol. Wajar jika terjadi perdebatan, terutama bagi kalangan politik berhaluan ultra-nasionalis yang tidak menginginkan Islam hadir diEropa. Pada 2004, Nicholas melarang simbol-simbol agama tidak boleh dipasang dalam lembaga pendidikan.

Pasca-terjadinya serangan 11 September, ada isu gerakan radikalisasi agama, terutama imigran-imigran yang tidak terdidik merasa terdiskriminasi yang akhirnya melakukan gerakan radikalisasi. Demokrasi, sekulerisme dan sejenisnya adalah omong kosong bagi imigran Islam radikal, ungkap Andar membeberkan. Tak hanya itu, ada juga warga Perancis yang masuk Islam dan menikah dengan orang Islam yang belajar Islam dengan cara konservatif.

Pemerintah Perancis saat itu terkejut. Mereka kaget mengapa ada hijab, burkah, jilbab. Tradisi burkah tidak ada dalam Islam, itu tradisi gurun pasir, kata Andar menceritakan pengalamannya belajar saat bergaul dengan orang-orang Perancis. Andar mengatakan, Charlie Hebdo merupakan isu yang sekian kalinya setelah aksi memakai burkah warga Perancis yang mengendarai mobil dan diberhentikan polisi.

Selanjutnya, Andar mengatakan bagaimana posisi kita melihat Charlie Hebdo. Padahal di Perancis, satirisme merupakan karya seni. Bagi orang yang tidak memiliki selera humor tinggi, tentu berbeda saat mempersepsi suatu karya seni. Dengan kecerdasan yang tinggi, sebetulnya kita bisa melihat kartun itu, sebagai karya seni atau karya lain sebagai hasil kreasi yang menciptakannya.

Kendatipun demikian, Andar juga melihat Charlie Hebdo dalam sudut pandang globalisasi. Merujuk Olivier Roy dalam Globalised Islam, gerakan Islam maupun gerakan Islam transnasional saat ini melihat globalisasi selain sebagai ancaman, juga sebagai peluang bagaimana nilai-nilai Islam dapat mendunia melalui gerakan maupun pengetahuan yang disebar lewat teknologi informasi.

Pandangan Olivier Roy itu ada benarnya. Sebab salah satu prasyarat demokrasi adalah bagaimana globalisasi dan impresinya pada tatanan dunia saat ini, dan benturan peradaban di sisi lain saling bertemu, dan tak satu orang pun dapat membendung atau menghentikannya. (Author).        

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?