Manusia adalah makhluk sosial (zoon
politicon), demikian Aristoteles mengatakan. Identitas ini yang membedakan
manusia dengan makhluk yang lain karena adanya interaksi rasional (homo homini socius). Sejalan dengan
premis logika bahwa sebagian bagian dari keseluruhan. Individu bagian dari
suatu komunitas. Realitas ini ada dalam kehidupan kita yang tak terbantahkan (niscaya).
Hal ini pula yang menandakan jika Google dengan segala bentuk piranti
onlinenya menjalin hubungan mutualisme. Ada interaksi virtual saling memberi
dan menerima antara Google dan penggunanya. Entah berapa banyak jumlah
komunitas yang melakukan aktivasi dengan layanan mesin pencari handal ini dan
menghasilkan benefit yang fantastis.
Di Indonesia saja, komunitas sosial media yang aktif mencapai ratusan.
Menurut data festival sosial media pada 2013, di Indonesia ada 100 lebih
komunitas yang melakukan aktivasi dalam bertukar pengalaman dan berbagi
pengetahuan. Mungkin tahun ini jumlahnya terus bertambah. Kehadiran komunitas mayoritas
kaum muda yang telah banyak berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya,
pendidikan dan aktivitas lainnya. Di luar itu, komunitas lain semakin tumbuh membentuk
serangkaian gerakan sosial yang memikat.
Belakangan ini, sesungguhnya telah terjadi transformasi dalam nalar
pedagogis para generasi muda Indonesia. Dari nalar personal menjadi suatu nalar
kolektif yang memiliki kekuatan untuk bernarasi dalam setiap bentuk komunikasi.
Interaksi yang terjalin di antara komunitas tersebut merupakan refleksi diri
dan refleksi bersama terhadap suatu realitas sosial yang berkembang di sekitar
mereka.
Kenyataan itu setidaknya dipengaruhi situasi politik yang berkembang
kian menjemukan. Pudarnya semangat kaum muda dalam mengakses saluran-saluran
ekonomi yang tidak berpihak terhadap kaum muda. Dan faktor lain yang tetap
bertahan adalah praktik budaya massa yang terus mereproduksi suguhan-suguhan
konsumeristik sehingga terjadi pola-pola komunikasi yang bersifat satu arah
sesuai dengan selera pasar.
Beruntung,
kekuatan spiritual masih ada dalam diri kaum muda. Pakar pendidikan kritis
seperti Henry Giroux memandang kaum muda (youth) dalam aspek pendidikan
dan sosial berada dalam rentang usia produktif. Mereka-mereka ini menurut Giroux
adalah kaum muda yang berada dalam lingkaran pasar kapitalis dan didominasi
budaya pasar, ungkapnya dalam buku Youth in a Suspect Society: Democracy or
Disposability (2009).
Sebagian dari
kaum muda adalah pegiat komunitas. Kendati jumlahnya kecil, mereka hadir dalam
suatu wadah kebersamaan. Komunitas adalah tempat merawat hubungan timbal-balik
melalui komunikasi. Interaksi yang tumbuh bukan atas nama kekuasaan melainkan
kesamaan persepsi yang saling mengakui keabsahannya dan saling percaya. Secara
sosial komunitas ideal yang dikonstruksi kaum muda sebagai “sekolah sosial’’
yang merajut gagasan-gagasan dari beragam pengetahuan yang disaring dalam suatu
konsep dan gerakan.
Karakter kuat
komunitas adalah bagaimana menafsirkan praksis dalam bentuk interaksi yang
melalui media dan bahasa mampu melahirkan dialog antar lintas komunitas. Dari
proses ini komunitas-komunitas tumbuh sesuai dengan keinginan bersama yang
akhirnya diikuti oleh kemunculan-kemunculan komunitas lain untuk saling berbagi
pengalaman dan informasi. Sejauh ini mereka saling membuka diri menjawab
tantangan zaman dengan segudang mimpi kemajuan.
Literasi berbagi
Literasi dalam maknanya yang umum dipahami sebagai kemelekan terhadap
suatu informasi. Dalam makna yang lain literasi diyakini sebagai kemampuan
mengenal aksara agar dapat dirangkai menjadi bahasa lisan. Keberaksaraan dalam
prosesnya mengalami perluasan yaitu bagaimana mencari dan mengolah informasi
sebagai sumber pengetahuan. Informasi itu dibutuhkan untuk dimanfaatkan secara
efektif dalam konteks budaya dan sosial.
Dalam skala komunitas literasi diperlukan untuk mengasah keterampilan di
era digital. Komunitas mencari bentuk atau format informasi dalam rentang waktu
yang tidak terbatas. Titik-titik informasi dikumpulkan untuk memeroleh
sumber-sumber informasi dalam jaringan informasi yang terus tumbuh dan
berkembang. Hal itu diikuti pula oleh kemampuan menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknologi secara kritis.
Dalam literasi sosial dan keagaman, relevansi komunitas begitu kuat
mengemuka. Artikulasi serta komitmen moral-sosial melebur dalam konteks berbagi
(charity). Satu hal yang utama untuk
disinggung adalah di kalangan komunitas gerakan-gerakannya beroreintasi
kemanusiaan. Demikian pula komunitas yang tumbuh dalam korporat, di luar
profesinya kemampuan membaca situasi sosial telah mencairkan ikatan-katan
primordial yang sempit saat kesamaan hobi menyatukan.
Hal tersebut pada gilirannya membuat perkembangan komunitas dalam masyarakat
sipil (civil society) mendorong lahirnya masyarakat belajar
yang menghidupkan literasi dalam solidaritas sosial. Menurut Jurgen Habermas
kesadaran berliterasi model ini tumbuh dari adanya kesepakatan sosial (lifeworld) yang mencakup khazanah
pengetahuan, sosial, budaya, tradisi yang digunakan dalam anggota
komunitas.
Karena itu, bukanlah tanpa alasan untuk mendudukkan bahwa komunitas
merupakan bagian dari elemen kekuatan masyarakat sipil yang masih akan terus
tumbuh. Dengan kerja-kerja sosial komunitas, teologi sosial kritis diluar
panggung akademis akan terus hidup. Karena telah menumukan lahan transformasi
di mana kelas menengah tumbuh dengan komitmen spiritualnya yang berbaur antar
komunitas tanpa melupakan entitas yang lain.
Momentum sosial adalah alternatif pembongkaran kebisuan-kebisuan sosial
yang hampa dari spirit berbagi. Dalam teologi sosial, eksistensi manusia tidak
akan memiliki arti apapun tanpa upaya untuk mendekati wujud sejati. Dengan
berteologi manusia terbebas dari segala macam ketamakan yang membuat diri lupa
terhadap realitas sosial.
Saat menyatakan niat untuk berbagi, kendati dalam hati kecil terdalam,
seseorang berkeyakinan bahwa perhatiannya akan tertuju pada pengabdian yang
termanifestasi dalam transformasi diri menjadi totalitas umat manusia. Di sini
dalam pandangan Ali Syariati (2002) setiap persona menjadi kita bersama (ummah) yang mengemuka dengan tujuan
mengabdi kepada-Nya.
Untuk kita yang sehari-hari berada dalam perkembangan situasi sosial, berkomunikasi
dengan komunitas tertentu sangatlah membantu untuk mengasah pengetahuan dan
pengalaman yang sebelumnya tidak pernah diperoleh. Lingkungan komunitas ini terdiri dari orang-orang
beragam latar belakang yang siap berbagi untuk mengembangkan kemampuan berupa
kecerdasan sosial.
Teras Filantropi
Dalam hermeneutika, Heidegger menyatakan bahwa
eksistensi manusia selalu berpaut dengan eksistensi ontologisnya. Pengalaman langsung
manusia dalam membaca realitas sosial telah membuka dimensi terdalam manusia dan
kehidupannya. Sebagai makhluk yang berbahasa dan simbolis, manusia berkumpul
dalam suatu komunitas berdasarkan realitas yang telah teramati.
Dalam konteks filantropi, komunitas merupakan
ikhtiar hermenetis untuk menafsirkan suatu hubungan sosial dari rangkaian keseluruhan
pengalaman langsung manusia dengan dunia di sekitarnya. Ciri fundamentalnya
adalah komunitas dapat membebaskan diri dari ego individualisme yang palsu.
Untuk itu, teras filantopi adalah ruang makna yang tepat untuk menghidupkan
literasi berbagi dari pengalaman kita tentang dunia sosial kita dengan penuh
cinta.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?