Lebih
dari 2.600 rumah warga etnis minoritas Rohingya dibakar habis awal September
kemarin, seperti dilansir Reuters, Minggu (3/9/2017). Mereka tak mampu berbuat
banyak setelah wilayah Rakhine, Myanmar dikuasai militer. Badan pengungsi PBB
UNHCR masih terus melaporkan berkenaan dengan nasib pengungsi Rohingya yang
melarikan diri dari Myanmar termasuk ke Bangladesh.
Dunia internasional mengecam, termasuk media yang memberikan perhatian tersendiri
untuk mengupas kejadian di Rakhine. Dalam laporannya, Persyarikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui laman resminya (8/9/2017), menyatakan, diperkirakan
130.000 pendatang baru tinggal di kamp pengungsi yang terdaftar dan tiga
permukiman darurat di Kutupalong, Leda dan Balukhali.
Sebanyak
90.000 orang lainnya berlindung di shelter pengungsian, dan hampir 50.000 orang
telah menetap di pemukiman pengungsian baru dan akan terus bertambah. Sementara
itu, dalam laporan Reuters (3/9/2017), sebanyak 16.000 pengungsi adalah
anak-anak usia sekolah, sedangkan 5.000 lainnya adalah usia balita yang
memerlukan nutrisi sehat. Dalam peristiwa itu, 400 orang dinyatakan meninggal.
Turki
adalah salah satu Negara yang mengapresiasi Indonesia. Menteri Luar Negeri
Turki Mevlut Cavusoglu, berbicara dengan Menlu, Retno Marsudi, dan
mengapresiasi langkah Indonesia dalam mengatasi krisis di Myanmar, katanya
lewat sambungan telepon akhir Agustus lalu.
Merespon
hal itu, Menteri Luar negeri (Menlu), Retno Marsudi menjejakkan langkah
diplomatisnya, mengunjungi pemimpin negara Myanmar Aung San Suu Kyi, untuk
menyelesaikan masalah Rohingya. Kepergiannya mengundang perhatian dunia internasional.
Retno
mengatakan, kerja sama yang sudah dilakukan Indonesia dengan Myanmar cukup
banyak, dan bukan berarti cukup. Kita akan terus berusaha, tambahnya ketika meresmikan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk
Myanmar (AKIM), pada Kamis (31/8/2017).
Kebijakan Politik
Raut
wajah pilu para pengungsi Rohingya yang menyelamatkan diri dari Rakhine
sesungguhnya telah bercerita banyak hal tentang manusia yang kehilangan hak-hak
dasarnya. Foto dan video yang berhasil diunggah relawan kemanusiaan yang berhasil
sampai di Rohingya adalah fakta bahwa peristiwa itu jauh dari rasa kemanusiaan.
Kendati
masih memerlukan alat bukti yang valid tentang pelanggaran HAM di sana, kebijakan
politik juga menjadi instrumen penting bagaimana suara-suara keadilan dan
perdamaian dunia layak disuarakan.
Ketua
PP Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari, mengungkapkan adalah wajar reaksi yang
muncul terhadap krisis kemanusiaan di Rohingya. Solidaritas umat Islam di
Indonesia juga merupakan bukti solidaritas kemanusiaan. Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan gamblang dijelaskan.
“Terutama
dalam alinea keempat, meski tanpa spirit ke-Islaman, kita dengan sendirinya memiliki
rasa kemanusiaan terhadap Rohingya,” terangnya. Krisis kemanusiaan ini bukan
persoalan agama semata, ada persoalan politik, ekonomi, dan persoalan HAM di
dalamnya yang salah satu pemecahannya melalui kebijakan politik, tambahnya di
Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta (8/9/2017).
Peran
Indonesia dengan langkah kebijakan politik bisa dilakukan melalui tiga
lingkaran. Pertama, kata Hajriyanto lewat ASEAN di mana Indonesia bisa mengajak
anggota-anggota Negara ASEAN, yang di dalamnya ada Myanmar.
Kedua,
menggunakan jalur Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia merupakan salah
satu negara anggota dari OKI. “Sayangnya OKI belum ada respon nyata terkait hal
ini,” paparnya. Terakhir, melalui jalur Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dalam
perkembangannya PBB sudah mulai membentuk tim pencari fakta.
Untuk
menemukan fakta-fakta itu, PBB telah membentuk tim pencari fakta bagaimana
krisis kemanusiaan di Myanmar bisa terjadi. Tim ini terdiri dari Marzuki Darusman
(Indonesia), Radhika Coomaraswamy, (Sri Lanka) dan Christopher Dominic Sidoti
(Australia). Mereka akan bekerja di negara bagian Rakhine, tempat pemukiman
bagi minoritas Muslim Rohingya yang keberadaannya terancam.
Sebagai
tim pencari fakta, Marzuki mengatakan sedang berkomunikasi dengan mantan Sekjen
PBB, yang diminta oleh pemerintah Myanmar. “Tim akan menilai keadaan dan status
yang terjadi,” katanya di Menteng, Jakarta, (8/9/2017). Perihal terjadi adanya genosida,
fakta-fakta yang diperoleh nanti yang akan membuktikan, imbuhnya.
Di
sisi lain, apa yang terjadi di Myanmar memiliki sejarah yang panjang. Untuk
itu, langkah yang dilakukan Menlu Indonesia, menurut Wakil Ketua MPR, Hidayat
Nur Wahid merupakan langkah diplomasi yang diperankan kaum Ibu. Menlu
Indonesia, pimpinan Myanmar Aung San Suu Kyi dan Perdana Menteri Bangladesh,
Sheikh Hasina adalah sosok ibu. “Kehadiran tiga sosok ibu ini diharapkan
menjadi langkah terobosan untuk mengatasi krisis Myanmar. Tidak ada satu orang
pun ibu bangsa yang ingin melihat anak-anaknya hidup dalam penderitaan,” kata
Nur Wahid.
Sekretaris
Direktorat Jenderal kerja sama ASEAN, Ashariyadi mengungkapkan tragedi di Rohingya
merupakan ujian bagi negara-negara di kawasan ASEAN. Setiap negara ASEAN
dihormati kedaulatannya dan berbeda dengan Eropa. “Yang terjadi saat ini adalah
ujian sehingga tidak ada campur tangan negera lain,” tuturnya.
Meski
belum ada mekanisme khusus dalam merespon tragedi kemanusiaan di Rohingya,
namun upayanya naik kelas dengan memberikan tanggapan dan desakan keras.
“Indonesia telah melakukan diplomasi strategis ketimbang megaphone diplomacy.
Itu langkah nyata yang dampaknya mengerek semangat integrasi masyarakat ASEAN
melalui pilar politik, ekonomi, kebudayaan dan keamanan,” jelasnya.
Puisi Cinta dan
Bantuan Kemanusiaan
Ada
banyak jalan bagaimana merespon krisis kemanusiaan di Rohingya, salah satunya
lewat puisi cinta sebagai wujud solidaritas kemanusiaan. Seperti yang dilakukan
Aliansi Kemanusiaan Untuk Rohingya (AKUR), yang terdiri dari Baznas, Dompet
Dhuafa, Rumah Zakat, Lazismu, dan lembaga-lembaga lainnya serta didukung oleh harian
umum Republika.
Acara
Puisi Cinta untuk Rohingya yang digelar di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta
(10/9/2017), menurut Pemred Republika, Irfan Junaidi, sebagai bentuk perhatian
kepada Muslim Rohingya dan protes kepada Pemerintah Myanmar.
Aksi
protes yang digelar secara lebih lembut ini dihadiri penyair dan sastrawan
kondang Taufiq Ismail dan senator DPR RI Fadli Zon. Lewat pembacaan puisi itu
diharapkan tumbuh solidaritas kemanusiaan yang semakin kuat sehingga didengar
Pemerintah Myanmar agar bersikap lunak setelah bait puisi dibacakan.
Hadir
dalam acara itu, Muhammad Juber (27) seorang warga Rohingya. Ia mengatakan
etnis Rohingya tidak mempermasalahkan perbedaan. Ia mengatakan, ingin
melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar. Ada kabar penting yang perlu
diketahui dunia. Bahwa Mayoritas di sana mempermasalahkan keberadaannya, meski
Rohingya tidak mau mempermasalahkan perbedaan.
Sejak
konflik kali pertama terjadi pada 2012, ia berpisah dengan orangtuanya. Sampai
saat ini Ia tidak tahu keberadaanya. “Ia berharap bantuan yang dihimpun dari
Indonesia langsung diberikan kepada warga Rohingya, bukan melalui kota Myanmar.
Ia khawatir bantuan itu tidak sampai,” katanya.
Sementara itu, untuk
bantuan kemanusiaan yang dihimpun Lazismu secara nasional, menurut Direktur
Utama Lazismu, Andar Nubowo, jumlahnya akan terus bertambah. Dana tersebut
rencananya akan disalurkan melalui Muhammadiyah Aid, sebagai bagian dari
Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang telah dikoordinasikan
dengan Kementerian Luar Negeri.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?