Menu
nusantara selalu disajikan sedap di warung sederhana sampai rumah makan
berkelas, seperti rendang misalnya yang menggugah selera makan saat nafsu makan
tak lagi memantik. Di tengah kebisingan lalu lintas informasi dan pemuja kuasa,
hidangan berselera nusantara tak pernah absen di sekitar kita.
Di
bilangan Menteng, hidangan bersantan tak sementereng dulu. Selepas lelah para
tukang ojek mengubur rasa lapar dengan nikmat. Peluh membasahi dahinya,
bersamaan dengan city car mewah yang
berhenti tepat di depan kedai minang itu. Wanita bersepatu high heels dan berkacamata hitam itu masuk kedai, duduk manis seraya
memesan rendang otentik itu
Menyebut
rendang seperti klise. Nyatanya resep
asal minang ini telah melebur dalam keseharian kita meski ada menu makanan yang
lain. Bagi penikmat selera nusantara yang berkemajuan tentu bukan suatu yang
sakral justeru menjadi menu eksistensial berpijak dari keragaman budaya yang
ada.
Jika
membuka lembaran eksistensi ruang dan waktunya Martin Heidegger, rendang tidak
fenomena semata, kekuatan magisnya sulit ditolak penikmatnya padahal rendang
sebagaimana adanya telah membuka pintu kesadaran mengapa keberadaanya begitu
objektif untuk disantap dengan catatan bagaimana ia dihayati oleh penikmatnya.
Baru-baru
ini rendang terlihat ekspresif, bahkan dilibatkan sebagai titik-balik
berteologi untuk pembacaan sosial yang berkelindan dengan spirit filantropi. Awal
Juli 2017, di bilangan Kramat - Jakarta, dua lembaga filantropi Islam terbesar
NU dan Muhammadiyah berdiskusi soal rendang.
Ini
bukan kebetulan, sejak 2012 rendang diakui UNESCO sebagai kuliner asli
Indonesia dan mendunia. Perihal justifikasi ini bukan alasan utamanya bagi dua
lembaga filantropi tersebut apalagi ketika dinikmati sambil melepas sarung. Sejak
Indonesianis datang ke Indonesia, bahwa NU dan Muhammadiyah tak luput dari
fokus penelitian mereka sambil menikmati menu nusantara untuk mengupas struktur
sosial kaum abangan, santri dan priayi.
Kembali
ke ulasan ini, mengapa ada rendang dalam filantropi modern? Bukankah NU dan
Muhammadiyah telah menampakkan dirinya sendiri. Mungkin di jagad media sosial,
netizen berbicara penuh kerumitan dengan penafsiran dan persepsi yang berbeda.
Namun tidak bagi gerakan filantropi di dalam dua organisasi besar ini. Rendang
adalah sentuhan kolaborasi untuk memperkuat kohesi sosial.
Berdasarkan
agenda besarnya, dua lembaga filantropi terbesar itu akan menghelat program
akbar bertajuk Nusantara Berkurban untuk
Indonesia Berkemajuan (NBIB) bertepatan dengan hari besar Idul Adha. Agenda
besar ini bukan pesta rendang. Ini adalah sebuah gerakan kolaborasi untuk
menciptakan sesuatu yang istimewa.
Hal
itu diutarakan Andar Nubowo selaku Direktur Utama Lazismu yang mengajak
kawan-kawan Lazisnu yang diwakili Syamsul Huda selaku Direktur Utama NU Care-LAZISNU. Menerima tawaran itu, Lazisnu menyambut
baik, Syamsul mengatakan akan menarik jika melibat komunitas filantropi
Indonesia yang fokus dalam tujuan dan pencapaian tema-tema Sustainable Development Goals (SDGs).
Filantropi dan SDGs
Di sini rendang tidak menampakan diri. Yang ada
adalah bagaimana pada hari raya Idul Adha nanti ibadah kurban mampu mengakses
kawasan-kawasan di Indonesia yang tertinggal, terluar dan terdepan yang jauh
dari akses informasi. Kedua lembaga filantropi ini ingin membiarkan
kawasan-kawasan itu menampakan diri, terlihat. Rendang tidak sebatas
konseptualisasi, melainkan mengarahkan kesadaran kurban konvensional menuju
kurban nusantara yang berkemajuan.
Intensionalitas kurban dan kesadaran ini
diharapkan menjadi perspesi baru untuk melihat Indonesia sebagai sesuatu yang
lain. Bukan suatu fenomena sosial yang meriuhkan banalitas politik apalagi
egosistem yang merusak keragaman nusantara. Berkurban adalah ketajaman matahati
melihat ketimpangan sosial dan ikatan sosial yang belakangan retak.
Secara teologis berkurban adalah ibadah sosial
dan bukan ibadah pasif. Kurban sebagai gagasan sosial dalam makna artistiknya
adalah penyebab efektif dari sisi pelaku filantropi. Dari perspektif
filantropis kurban ingin memberikan sesuatu yang bermakna. Kurban dalam aspek
transenden adalah pewahyuan. Sementara inisiatif sosial kurban oleh manusia
melalui gerakan filantropi adalah membuka partisipasi kolaboratif sehingga
melampaui sekat-sekat sosial yang partikular.
Nusantara sebagai konstelasi gerakan filantropi
mendorong setiap insan untuk menyadari identitas unik dari dirinya berdasarkan
kekeliruannnya selama ini yang mementingkan hasrat. Agama dan politik memang
tidak bisa dipisahkan, namun dalam pembacaan filantropis ada hal-hal lain yang
perlu diketengahkan dan dilupakan banyak orang yaitu kedermawanan sosial.
Kedermanwan sosial bagi lembaga filantropi
memiliki irisan strategis dengan SDGs. Selama ini keterlibatan lembaga filantropi dalam pencapaian
SDGs, dianggap dapat mendorong program dan tujuan pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Agenda besar kolaborasi kurban nasional ini
juga berupaya mendorong kepekaaan sosial (sense
of crisis) dan pentingnya kesadaran akan perbedaan sosial.
Karena itu, dua lembaga filantropi tersebut
ingin berkontribusi pada peningkatan pendapatan mayarakat, penyadaran perilaku
hidup sehat dan mengatasi masalah gizi buruk dan ketahanan pangan di kawasan minim
akses dan menggerakkan nilai ekonomi kurban yang produktif. Diharapkan agenda ini
bisa membantu pemerintah terutama mengenai jaminan hidup tanpa kemiskinan,
tanpa kelaparan, dan kehidupan yang sehat dan sejahtera.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?