Pemuda yang selalu bertopi itu mencoba bertahan dari kesimpang-siuran informasi bencana yang mudah ditafsir-tafsirkan di jagad sosial media. Alih-alih menyikapi dengan kepedulian dan uluran tangan, justeru menanggapi bencana dengan tafsir bencana serampangan.
Berawal dari realitas tersebut, lelaki itu dengan lincah membaca ritme sosial yang mengemuka di tengah masyarakat. Kendati berat tantangannya, Irfan Amalee adalah satu dari segelintir anak muda yang meluangkan waktunya untuk mengurai fenemona pascabencana dari sudut pandang yang berbeda.
Minatnya pada studi perdamaian selama sepuluh tahun terakhir ini membawa dirinya pada suatu gagasan sederhana membentuk wadah kumpul-kumpul generasi damai Indonesia (Peace Generation Indonesia). Beragam kesumpekan yang mengemuka membuatnya selalu ingin belajar dalam alam pikir sekolah cerdas.
Puncak kerisauannya adalah saat peristiwa meninggalnya salah seorang suporter sepakbola di Bandung beberapa waktu lalu. Tak berselang lama, peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
Menurutnya ada sekian banyak narasi besar yang menyertai peristiwa bencana sesudahnya. Dalam amatannya, Irfan mengidentifikasi tiga narasi yang beredar. Pertama, narasi menghukum korban, contohnya jelasnya soal azab dan kecerobohan Haringga Sirila sebagai narasi bencana yang dipertontonkan sebagian khalayak.
Kedua, menghubungkan bencana dengan narasi sosial dan politik. Bak seorang penafsir, khalayak tanpa merasa bersalah dengan mudah menjustifikasi bencana sebagai akibat dari seorang pemimpin yang jauh dari kualitas iman agama tertentu.
Terakhir, lanjut Irfan, ada narasi kehendak tersembunyi dibalik menafsirkan niat kerja kemanusiaan. Selalu ada kejutan yang membumbui kisah-kisah membanggakan sekelompok relawan. Tak jarang ada cerita atau tafsiran menyelipkan kepentingan agama tertentu di dalamnya.
Irfan menilai, untuk menghadapinya tidak cukup cara pandang sosiologis, teologis, dan fikih bencana. Lebih dari itu adalah menyuguhkan visi sekolah cerdas agar tercipta budaya dan kebijakan sekolah yang aman dari bencana alam dan sosial melalui pendidikan perdamaian, dan pendidikan kebencanaan yang aplikatif serta menyenangkan (fun learning).
Berawal dari realitas tersebut, lelaki itu dengan lincah membaca ritme sosial yang mengemuka di tengah masyarakat. Kendati berat tantangannya, Irfan Amalee adalah satu dari segelintir anak muda yang meluangkan waktunya untuk mengurai fenemona pascabencana dari sudut pandang yang berbeda.
Minatnya pada studi perdamaian selama sepuluh tahun terakhir ini membawa dirinya pada suatu gagasan sederhana membentuk wadah kumpul-kumpul generasi damai Indonesia (Peace Generation Indonesia). Beragam kesumpekan yang mengemuka membuatnya selalu ingin belajar dalam alam pikir sekolah cerdas.
Puncak kerisauannya adalah saat peristiwa meninggalnya salah seorang suporter sepakbola di Bandung beberapa waktu lalu. Tak berselang lama, peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
Menurutnya ada sekian banyak narasi besar yang menyertai peristiwa bencana sesudahnya. Dalam amatannya, Irfan mengidentifikasi tiga narasi yang beredar. Pertama, narasi menghukum korban, contohnya jelasnya soal azab dan kecerobohan Haringga Sirila sebagai narasi bencana yang dipertontonkan sebagian khalayak.
Kedua, menghubungkan bencana dengan narasi sosial dan politik. Bak seorang penafsir, khalayak tanpa merasa bersalah dengan mudah menjustifikasi bencana sebagai akibat dari seorang pemimpin yang jauh dari kualitas iman agama tertentu.
Terakhir, lanjut Irfan, ada narasi kehendak tersembunyi dibalik menafsirkan niat kerja kemanusiaan. Selalu ada kejutan yang membumbui kisah-kisah membanggakan sekelompok relawan. Tak jarang ada cerita atau tafsiran menyelipkan kepentingan agama tertentu di dalamnya.
Irfan menilai, untuk menghadapinya tidak cukup cara pandang sosiologis, teologis, dan fikih bencana. Lebih dari itu adalah menyuguhkan visi sekolah cerdas agar tercipta budaya dan kebijakan sekolah yang aman dari bencana alam dan sosial melalui pendidikan perdamaian, dan pendidikan kebencanaan yang aplikatif serta menyenangkan (fun learning).
Indonesia selalu ada sisi menariknya, gagasan Irfan menemukan titik terangnya. Melalui Sekolah Cerdas, yang diperkenalkan pada 2017, ia menawarkan solusi terintegrasi dengan melakukan sinergi ke beberapa sekolah untuk bersama-sama mengajak membedah risiko bencana alam dan bencana sosial.
Impiannya membangun basis pengetahuan dan keterampilan sekolah serta peserta didik dalam menghadapi risiko bencana alam dan sosial. Misi lainnya mengupayakan 100 sekolah di Indonesia berkomitmen menciptakan sekolah aman yang tertuang dalam kebijakan budaya sekolah.
Di 2018 ini, Sekolah Cerdas sesuai agenda dibagi menjadi tiga batch. Diselenggarakan di Villa Damar, Kota Bandung, program ini digelar hasil sinergi Peace Generation Indonesia, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre), dan Lazismu yang berlangsung selama 10 hari (24 Oktober – 1 November 2018).
Dengan seleksi yang ketat, sejumlah peserta yang semuanya diberi nama Kakak Cerdas, mengikuti kegiatan ini dengan konsekuensi siap di karantina. Mereka yang berhasil menyisihkan 200 orang lainnya selama sepuluh hari dapat kesempatan melenggang untuk dibekali bermacam ilmu tentang kebencanaan alam dan sosial.
Acara ini dihadiri Ketua MDMC Indonesia, Budi Setiawan, Co-Founder Peace Generation Indonesia, Eric Lincoln. Dalam kesempatan itu, Budi mengatakan, merasa gembira karena telah bersinergi dengan Lazismu dan Peace Generation Indonesia. Ajang program Sekolah Cerdas merupakan alternatif pemberdayaan agar bisa menghasilkan pelopor kesiapsiagaan bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Eric menyampaikan pengalamannya menjalin dengan Muhammadiyah dan Peacegen Indonesia begitu kuat. Keberadaannya salah satu mitra yang menyenangkan. “Semoga dalam kegiatan ini melahirkan lebih banyak agen perdamaian di beberapa daerah di Indonesia yang siap siaga terhadap bencana alam dan sosial,” ujarnya, demikian dilansir Suara Muhammadiyah dalam laman resminya (26/10/2018).
Direktur Peace Generation Indonesia, Irfan Amalee, megatakan, Sekolah Cerdas adalah program pendampingan sekolah yang mengintegrasikan kesiapsiagaan terhadap bencana alam dan bencana sosial seperti kekerasan.
“Program ini sangat strategis karena Indonesia adalah ring of fire yang rawan bencana alam. juga memiliki potensi bencana sosial seperti kekerasan, bully, konflik sosial bahkan kekerasan ekstrem,” jelasnya.
Tujuan sekolah cerdas melatih Kakak Cerdas yang akan mendampingi sekolah selama tiga bulan dengan meningkatkan kapasitas sekolah sehingga mampu mengurangi risiko bencana alam dan sosial. “Sekolah cerdas ini akan menjdi proyek percontohan pertama di Muhammadiyah bahkan di Indonesia yang pendekatannya holistik terhadap risiko bencana alam dan sosial,” pungkasnya.
Impiannya membangun basis pengetahuan dan keterampilan sekolah serta peserta didik dalam menghadapi risiko bencana alam dan sosial. Misi lainnya mengupayakan 100 sekolah di Indonesia berkomitmen menciptakan sekolah aman yang tertuang dalam kebijakan budaya sekolah.
Di 2018 ini, Sekolah Cerdas sesuai agenda dibagi menjadi tiga batch. Diselenggarakan di Villa Damar, Kota Bandung, program ini digelar hasil sinergi Peace Generation Indonesia, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre), dan Lazismu yang berlangsung selama 10 hari (24 Oktober – 1 November 2018).
Dengan seleksi yang ketat, sejumlah peserta yang semuanya diberi nama Kakak Cerdas, mengikuti kegiatan ini dengan konsekuensi siap di karantina. Mereka yang berhasil menyisihkan 200 orang lainnya selama sepuluh hari dapat kesempatan melenggang untuk dibekali bermacam ilmu tentang kebencanaan alam dan sosial.
Acara ini dihadiri Ketua MDMC Indonesia, Budi Setiawan, Co-Founder Peace Generation Indonesia, Eric Lincoln. Dalam kesempatan itu, Budi mengatakan, merasa gembira karena telah bersinergi dengan Lazismu dan Peace Generation Indonesia. Ajang program Sekolah Cerdas merupakan alternatif pemberdayaan agar bisa menghasilkan pelopor kesiapsiagaan bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Eric menyampaikan pengalamannya menjalin dengan Muhammadiyah dan Peacegen Indonesia begitu kuat. Keberadaannya salah satu mitra yang menyenangkan. “Semoga dalam kegiatan ini melahirkan lebih banyak agen perdamaian di beberapa daerah di Indonesia yang siap siaga terhadap bencana alam dan sosial,” ujarnya, demikian dilansir Suara Muhammadiyah dalam laman resminya (26/10/2018).
Direktur Peace Generation Indonesia, Irfan Amalee, megatakan, Sekolah Cerdas adalah program pendampingan sekolah yang mengintegrasikan kesiapsiagaan terhadap bencana alam dan bencana sosial seperti kekerasan.
“Program ini sangat strategis karena Indonesia adalah ring of fire yang rawan bencana alam. juga memiliki potensi bencana sosial seperti kekerasan, bully, konflik sosial bahkan kekerasan ekstrem,” jelasnya.
Tujuan sekolah cerdas melatih Kakak Cerdas yang akan mendampingi sekolah selama tiga bulan dengan meningkatkan kapasitas sekolah sehingga mampu mengurangi risiko bencana alam dan sosial. “Sekolah cerdas ini akan menjdi proyek percontohan pertama di Muhammadiyah bahkan di Indonesia yang pendekatannya holistik terhadap risiko bencana alam dan sosial,” pungkasnya.
Kegiatan selama sepuluh hari ini memberikan pengalaman yang bermakna bagi para peserta. Adalah Jawad Mughofar Kakak Cerdas asal kota Bandung. Menurutnya, bersama Sekolah Cerdas, ada pengalaman berharga. Pengetahuan dan keterampilan yang disuguhkan memang diarahkan untuk mengurangi risiko kebencanaan.
“Tidak hanya bencana alam, juga bencana sosial seperti konflik, diskriminasi hingga kekerasan,” kisahnya. Jawad mengungkapkan terdapat banyak lembaga-lembaga kemanusiaan, terutama non-pemerintahan yang hanya fokus bergerak di saat bencana itu telah terjadi.
Ia menilai, kesiapsiagaannya masih belum terlalu diperhatikan, padahal sudah diketahui bersama, peristiwa alam merupakan keniscayaan. Sejak awal mula bumi ini diciptakan dan selanjutnya masih akan tetap terjadi, sebab ini bagian dari keseimbangan alam.
Merupakan satu keberuntungan bagi saya bisa tergabung menjadi salah satu bagian dari program Sekolah Cerdas. Menjadi Kakak Cerdas selanjutnya dapat mengambil bagian dalam menebarkan kebermanfaatan, tambahnya.
Pengalaman yang sama dikisahkan Weti Artika, asal Palembang. Setelah dinobatkan sebagai peserta Kakak Cerdas, salah satu manfaat yang saya rasakan dari program Lazismu bertambahnya informasi yang sebelumnya tidak saya ketahui. Meminimalisir resiko bencana alam dan bencana sosial yang seringkali terjadi tidak menutup kemungkinan bisa melanda di sekolah-sekolah.
Kesempatan ini, bagi saya dan Sembilan rekan lainnya akan sangat membantu para pegiat pendidikan di sekolah. “Misinya mewujudkan sekolah yang damai dan aman dengan siaga bencana,” bebernya. Sehingga, setelah dilakukan pendampingan selama tiga bulan di sekolah-sekolah, diharapkan dapat meminimalisir resiko kebencanaan yang membuat proses belajar-mengajar menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Tidak hanya itu, bagi Qorry Aina selaku Program Assistan Peace Generation, kegiatan pembekalan pemahaman dan keterampilan yang diberikan kepada sepuluh relawan terpilih dari seluruh Indonesia tidak berhenti di tantangan karantinanya. Kegiatan ini dilakukan setelah sebelumnya relawan melalui tahap seleksi dokumen dan seleksi wawancara mendalam.
Dengan mengikuti Karantina ini, kata Aina, Kakak Cerdas memiliki minat dan komitmen untuk memajukan dunia pendidikan. Siap mengabdikan diri untuk membantu sekolah menjadi tempat yang ceria, damai dan siaga bencana.
Di samping itu, memiliki pemahaman dan kesadaran tentang risiko bencana. Memahami dan mampu mengajarkan nilai-nilai perdamaian. Sebagai pengetahuan kognitif, Kakak Cerdas akan diasah kemampuan keterampilan kesiapsiagaan bencana dan mampu mengajarkannya. Lebih jauh lagi, memiliki keterampilan pendampingan sekolah untuk membangun budaya dan kebijakan damai dan siaga bencana. (zul/na)
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?