August 28, 2013

Politik Kaki Lima dan Nalar Sophie




Sumber: www.merdeka.com
Dalam panggung politik setiap orang dapat menjadi aktor penting ketika melakukan komunikasi politik dan masing-masing partai politik memiliki tokoh atau “ikon” penting. Gaya komunikasi yang dibangun juga berbeda-beda saat menyapa akar rumput. Saat ini gaya blusukan yang dipopulerkan Jokowi adalah pilihan segar sehingga banyak elite-politik mereplikanya dengan suasana bebas dan cair.

Namun gaya politik semacam ini di Jakarta mendapat tantangan tersendiri yang tidak hanya mengandalkan nama besar partai tapi kelincahan manajemen kepemimpinan (blusukan) yang dikemas sang tokoh. Jakarta dengan seribu satu persoalan yang menumpuk perlu disikapi aktor politik seperti Jokowi dengan kepala dingin. Aspirasi bawahan tidak dimaknai sebagai kritik menghujam melainkan peluang bertemu serta berbagi kepada masyarakat yang majemuk.
Di antara persoalan besar yang dihadapi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta salah satunya adalah bagaimana menata pedagang kaki lima (PKL) yang terus tumbuh di pasar dan pusat-pusat keramaian yang ada disetiap ruas jalan di ibukota. Para PKL liar dinilai telah merusak pemandangan kota Jakarta. Tata kota terlihat semrawut terutama dengan wajah PKL yag kian solid terorganisir.

Dalam pentas pasar tradisional pedagang dan pembeli sebagai aktor memiliki peran penting pada perputaran arus ekonomi. Dua aktor itu di luar pasar berskala modern telah menjadi jembatan penghubung pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah. Kini pasar tradisional kian merana tergilas pasar modern yang terus berkembang pesat.

Kendati mengalami revitalisasi dalam praktiknya pasar tradisional semakin sepi ditinggalkan pembeli. Memang diilihat dari sejarahnya istilah PKL sudah dikenal sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Berdasarkan peraturan saat itu ditetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun menyediakan sarana untuk pedestrian (pejalan kaki) yang saat ini dikenal dengan nama trotoar (Herman Malano, Selamatkan Pasar Tradisonal, 2011).

Cerita politik ala Jokowi-Ahok membuat tokoh politik lain panas. Suhu politik yang kian tinggi membuat beberapa partai politik menyusun strategi dari konvensi, kampanye media, dan riset internal untuk mengevaluasi segenap kekuatan di kantong-kantong politik mereka masing-masing. Tak jarang beberapa lembaga riset mengeluarkan temuan mutakhirnya di panggung politik.  

Nalar Sophie
Di tengah persiapan pemilu 2014 isu kepemimpinan nasional mulai ramai dibicarakan siapa pasangan pilihan utama dari partai politik yang menjadi peserta pemilu mendatang. Meski sudah beberapa nama yang ada itu pun masih prediksi sementara. Seperti rilis yang dikeluarkan Prapancha Research (PR) di beberapa media berdasarkan riset terbaru mendapati ada lima idola tokoh politik terpopuler.

Di antaranya adalah Jokowi, Ahok, Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan Gita Wirjawan. Data ini muncul ke tengah publik di saat dunia politik berada dalam kondisi yang buruk. Kelima tokoh itu dipilih sesuai dengan data akhir yang diolah terutama menurut selera kaum muda menurut analis PR, Rendy Mahesa.

Tanpa menafikan temuan riset yang akan datang makna pentingnya adalah apakah dari tokoh-tokoh politik popular itu mampu menuangkan pengalamannya dalam menyikapi aspirasi masyarakat. Pencitraan parta politik ibarat retorika sophie dalam maknanya yang sempit. Turun ke bawah sekadar melemparkan kata-kata manis dan tahu akan pokok persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.

Nalar Sophie dikalangan politikus adalah “pecinta ilmu” yang berkaitan dengan kepedulian terhadap nasib masyarakat. Politik sebagai jalan mencari hakikat pengetahuan merupakan wejangan yang ditempuh untuk bernegosiasi bagaimana memengaruhi orang lain. Cinta kebijakan yang dimaknai adalah kebijakan politik pragmatis bukan ilmu politik yang selama ini dipahami filsuf seperti Al-Farabi dengan konsep kota utama (al-madinah al-fadilah) melalaui tata kelola pemerintahannya yang memukau.

Berkaca dari riset dan realitas politik yang ada saat ini, setidaknya demokrasi sebagai pilihan yang masih relevan dapat dimaknai secara arif bijaksana oleh partai politik dan elit politik yang menginginkan kebahagiaan politik sebagaimana konsep demokrasi Al-Farabi. Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie sudah memberikan pengalaman berharga bahwa pengalaman tokoh Sophie yang dituangkan dalam novelnya adalah pengalaman berharga memaknai kehidupan dan dunia yang dihuni umat manusia.

Karena itu bagi dunia keilmuan, dalam konteks politik nalar Sophie mengajak masyarakat dan pelaku politik untuk menemukan fakta-fakta kehidupan yang sesungguhnya dengan pengalaman. Tidak sebagai retorika politik yang selama ini dipahami ketika melihat kaum Sophie yang pandai bersilat lidah. 

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?