October 16, 2014

Sekolah Internasional: Bertaraf atau Bertarif Internasional


Ketika Indonesia memutuskan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, saya sempat bertanya: kualitas pendidikan seperti apa yang bakal diimplementasikan di Indonesia? Saat itu, yang ada dipikiran adalah anggaran pendidikan nasional berarti akan ditambah genap menjadi 20 persen sesuai Undang-undang Pendidikan Nasional. Selain itu, secara konseptual para pengambil kebijakan akan menelurkan gagasan pendidikan yang sejalan dengan ciri khas keindonesiaan dengan beberapa program pendidikan yang tentunya layak diapresiasi.
Dalam perjalanannya, upaya pemerintah tidak main-main. Satu persatu program meningkatkan kualitas pendidikan dilakukan yaitu dengan gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan harapan sekolah dapat mandiri mengembangkan kreativitasnya baik ditingkat kepala sekolah, guru dan manajemen pendidikan sekolah itu sendiri. Alhasil, gagasan itu berlangsung diiringi dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) meninggalkan konsep CBSA. Ramai-ramai penerbit buku sekolah dari sekolah dasar sampai tingkat atas menyematkan kata: Buku Pelajaran ini menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di setiap buku ajar yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar di setiap sekolah. Sayang, program tersebut bertahan seumur jagung, pendidikan menjadi tumbal politik karena harus berganti kebijakan menteri pendidikan yang baru.

Ternyata gagasan tersebut tidak berhenti sampai di situ. Lagi-lagi gagasan baru muncul dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Peran kepala sekolah dan guru kembali diuji untuk bisa membumikan konsep tersebut. Segala terobosan dilakukan seperti sistem komputerisasi mata pelajaran yang sistematis diterapkan agar program tersebut dapat terukur dan terkontrol oleh departemen pendidikan nasional. Dalam prosesnya, fakta menunjukkan KTSP belakangan hanya tinggal konsep yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada kejelasan tindak lanjut untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Lantas muncul Ujian Nasional (UN) mengggantikan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sampai saat ini masuk dalam periode menteri yang baru masih menyimpan sejuta persoalan menyangkut dengan pelaksanaannnya yang kontroversial mengingat sekolah harus menerapkan standar nilai bagi setiap siswa yang pada dasarnya setiap kemampuan siswa berbeda. Sungguh sebuah vonis yang berat bagi peserta didik untuk mendapatkan nilai yang harus ditempuh selama tiga tahun disaring menjadi beberapa hari dalam sebuah ujian nasional. Itu pun jika memenuhi standar yang telah ditetapkan untuk kelulusan.
Seperti biasa, persoalan sebelumnya belum tuntas diselesaikan konsep baru muncul kembali dengan ide Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sedari awal, kehadiran RSBI memang sudah mengundang polemik yang cukup hangat diantara para pakar pendidikan. Mereka ada yang pro, dan tidak sedikit yang kontra dengan kebijakan tersebut. Namun karena pihak yang pro RSBI berada dibarisan pengambil keputusan, maka program itu terus mengalir ke seluruh sekolah di Indonesia.
Ramai-ramai para penggiat sekolah demam kata internasional. Dalam hitungan waktu menjamur sekolah bertaraf internasional di kota-kota besar terutama di Jakarta dan sekitarnya. Mulai dari sekolah swasta sampai sekolah negeri yang memenuhi persyaratan. Dan masyarakat terpesona untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana dengan harapan kurikulum yang diajarkan memiliki bobot atau kualitas dari sekolah biasa.
Memang ketika RSBI diketengahkan, Pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional telah memprogramkan berdirinya SBI melalui tahap rintisan (RSBI) terlebih dahulu. Program itu dilakukan karena merujuk pada ketentuan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat (3) yang selengkapnya berbunyi “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.
Berdasarkan ketentuan UUSPN tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah akan bergotong-royong mendirikan RSBI di setiap daerah, baik di tingkat pemkot maupun kabupaten minimal satu buah untuk setiap jenjangnya (baca: SD,SMP,SMU). Sayangnya, ketentuan itu tidak menjelaskan dengan rinci daerah seperti apa yang perlu didirikan RSBI. Oleh sebab itu, pesan yang diterima para insan pendidikan adalah setiap daerah harus mendirikan RSBI tidak peduli apakah daerah tersebut layak dan mampu menyelenggarakannya atau tidak. Mulai dari Jakarta dan sekitarnya sampai kabupaten yang paling jauh di timur Indonesia diwajibkan menyelenggarakan RSBI.
Pada praktiknya RSBI, kembali menuai persoalan. Mulai dari persyaratan secara manajerial maupun pedagogis-didaktis. Di antaranya harus memenuhi seluruh aspek Standar Nasional Pendidikan (standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian) plus persyaratan njlimet lainnya. Hal ini dilakukan untuk sebuah kompetensi yang diyakini diperlukan untuk bekal hidup peserta didik dalam pergaulan internasional.
Akhirnya, keterlibatan kata internasional ini justeru membuat krisis pendidikan di Indonesia semakin sulit dipecahkan. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan malah menambah beban baru. Bagaimana pun juga gagasan RSBI amat menarik tapi sayang konsistensi pemerintah layak dipertanyakan kembali. Sebab mau dibawa ke mana arah pendidikan nasional kita (Quo Vadis Pendidikan Nasional). Padahal undang-undang telah menggariskan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional pemerintah bertanggung jawab terhadap masyarakat terutama bagi peserta didik tanpa melihat latar belakangnya.
Namun mengapa dalam perjalananya kondisi pendidikan kita semakin sulit di jangkau bagi mereka yang lemah secara ekonomi. Kian hari pendidikan semakin mahal. Apalagi dengan kata internasional yang melekat padanya semakin menyiratkan bahwa pendidikan berkualitas hanya milik mereka yang memiliki uang untuk tarif internasional. Dengan begitu, pendidikan ibarat industri yang menggiurkan.
Belum lagi, karakteristik RSBI menurut gambaran Diknas dilukiskan dengan lulusannya yang berkompetensi internasional dan kurikulum bertaraf internasional, pembelajaran dua bahasa (bilingual), pendidik memenuhi standar internasional, sarana sesuai dengan kebutuhan kurikulum internasional, pembiayaan disesuaikan dengan kebutuhan SBI, penilaian menggunakan standar nasional dan internasional, dan pengelolaan memenuhi standar ISO 9001. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, RSBI merupakan perkawinan (hibridasi) antara pendidikan nasional dan pendidikan internasional.
Dalam pelaksanaannya,konsep ini menemui berbagai kendala. Contoh: konsep yang tidak jelas, penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar hard science (Kimia, Fisika, Biologi), dll. Kendala-kendala tersebut menambah panjang deretan masalah SBI yang ditemukan di beberapa daerah. SBI lebih terlihat sebagai program pemerintah yang ‘menghabiskan’ banyak dana padahal belum jelas output yang dihasilkan. Bersambung


0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?