April 6, 2015

Berbagi Kepada Indonesia Timur (Bagian 1)



Ada 67 suku yang mendiami Provinsi Papua Barat sebagai kekayaan budaya. Di antara suku-suku itu, Kokoda merupakan komunitas suku pribumi yang dekat dari sungai Warmon. Nama Warmon juga ditujukan pada nama desa di wilayah itu. Di samping itu, ada sebagian komunitas suku Kokoda yang hidupnya nomaden, karena cara hidup mereka masih bergantung pada alam yang kaya akan isi perut bumi.

Di antara keunikkan suku Kokoda juga tersimpan kelemahan dibalik tradisi adat istiadat mereka yang masih tradisional. Karena itu, kurangnya pemberdayaan pada suku ini, potensi alam yang melimpah tidak tergarap dengan baik sebagai sumber ekonomi. Itulah realitas suku Kokoda, yang pada 9 Februari 2015 dikunjungi LAZISMU dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.    

Dalam perjalanannya kali ini, misi kemanusiaan ditujukan pada suku asli Papua Barat yang selama ini hidupnya tergeser oleh perubahan sosial dan para pendatang baru. Tidak adanya mata pencaharian yang tetap semakin membuat suku Kokoda hidup dalam kemiskinan dan memprihatinkan. Menurut Khoirul Muttaqin, Direktur Utama Lazismu, suku Kokoda juga dikenal sebagai suku yang pemalas. “Ini tantangan bagaimana menghadapi sebuah kultur yang berbeda, nan jauh dari jangkauan kita selama ini,” katanya.    

Pada tahap ini, MPM bersama Lazismu melakukan advokasi. Salah satunya bagaimana mendorong wilayah yang didiami komunitas itu mampu bertransformasi menjadi suatu desa yang diakui secara sah, sehingga layak memiliki tatanan hidup yang sesuai dengan hukum di Indonesia.  Hal ini diadvokasi oleh MPM utk bergerak sampai menjadi desa. Khoirul mengatakan, kedatangannya sudah yang keempat kali. “Misi pemberdayaan ini juga bermitra dengan pihak-pihak lain yaitu UMM yang menyediakan tanah,“ kata Khoirul. Secara kemitraan pendampingan juga dilakukan oleh IMM STKIP Papua. STKIP mendirikan Labschool (PAUD dan SD) meski masih sangat minim, dan itupun kita fasilitasi dengan kegiatan belajar mengajar, ceritanya.

Panggilan kemanusiaan yang dikerjakan Lazismu dan MPM adalah bagaimana memberdayakan 58 Kepala Keluarga dengan cara hidup yang masih tradisional.  Mereka hanya menempati rumah dari kayu dan bambu, itupun tidak lebih dari tujuh rumah, selebihnya rumah asli khas Kokoda. Anak-anak mereka juga banyak, ini sangat memperihatinkan karena tidak ada ruang privat keluarga.

Saat ini, sebagai langkah pemberdayaan, monitoring dan evaluasi dilakukan. Terutama meninjau sapi ternak yang pernah diserahkan Lazismu dan MPM tahun lalu. Sayang 2 ekor sapi mati, dari 10 ekor sapi yang ada, karena mereka belum mampu mengelola sapi ternak dengan cara yang baik dan benar. Tentu ini adalah pekerjaan rumah yang harus diperkuat kembali untuk ke depannya bagi suatu komunitas suku yang ada di pedalaman. 

Tak hanya diberikan pengetahuan tentang beternak, suku Kokoda juga mendapatkan pembinaan dari MPM. Antara lain bercocok tanam. Ada sayur mayur, umbi-umbian, dan tanaman rempah-rempah yang memiliki nilai jual. Di samping itu, tim MPM juga memberdayakan warga suku Kokoda di sektor perikanan. Mereka melaut, mencari rajungan, udang, dan ikan yang ada di laut. Di ketahui, mereka tidak punya perahu yang mencukupi untuk kebutuhan melaut.

Di sana, kita dorong mereka untuk membuat perahu sebanyak 3 unit lengkap dengan peralatan dan mesin.  Mulanya mereka hanya punya perahu satu, sekarang kita perkuat dengan 3 perahu dilengkapi cool box, jaring ikan, dan peralatan lainnya, ujar Direktur Development Program Lazismu, H. Eko Purwanto. “Harapannya agar mereka mendapat pengalaman baru dalam melaut nanti setelah mendapat pembinaan,“ ungkap Hari.

Suku Kokoda harus segera ditingkatkan kapasitasnya lewat pengalaman dan cara pandang baru. Mereka tidak punya pengetahuan yang cukup selain pengalaman yang tradisional. “Mau tidak mau mereka harus berhadapan dengan realitas, sehingga dapat membangun komunitasnya dengan cara baru sebagai tumpuan hidup mereka,“ paparnya.

Lebih lanjut menurut Bachtiar, kendati sulit untuk berubah karakternya, MPM berkomitmen untuk mendampingi. “Belajar dari pengalaman Januari tahun lalu, masyarakat Kokoda yang didampingi MPM, sediki demi sedikit ada perubahan,” kata Bachtiar. Di sana ada Syamsuddin, kader Muhammadiyah asli Papua. Sampai detik ini, Syamsuddin bergiat mendampingi dengan segenap aktivitas pemberdayaan bersama warga.

Bachtiar bersama Said Tuhuleley, menceritakan, sejak tahun lalu tim Ahli MPM di bidang Pertanian, Indardi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), telah memulai memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Aktivitas itu menjadi luar biasa, karena sebelumnya tidak biasa dilakukan oleh warga suku Kokoda. Bambang Suwigno salah tim ahli MPM yang mendampingi para perempuan suku Kokoda juga pernah bertemu langsung di lokasi, mengungkapkan, ibu-ibi di sana sebetulnya punya peluang untuk melakukan produksi yang menghasilkan, seperti kerajinan tangan dan mengolah sagu menjadi roti yang lezat.

Sementara itu, Syafii Latuconsina mengatakan, sejak kedatangan Lazismu dan MPM, warga suku Kokoda mulai memperhatikan kebiasannya dalam beraktivitas. “Sebelumnya mereka sangat malas untuk bersusah payah pergi ke pasar atau perkampungan untuk menjajakan hasil buminya. Sekarang, mereka sudah memulai kendati terasa berat, paparnya. Dulu mereka mengandalkan angkutan, tapi angkutan itu tidak beroperasi lagi karena rusak. Mereka juga diberi pemahaman bahwa jarak yang jauh bukan halangan untuk berikhtiar, tambahnya.     

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?