Ada
67 suku yang mendiami Provinsi Papua Barat sebagai kekayaan budaya. Di antara
suku-suku itu, Kokoda merupakan komunitas suku pribumi yang dekat dari sungai
Warmon. Nama Warmon juga ditujukan pada nama desa di wilayah itu. Di samping
itu, ada sebagian komunitas suku Kokoda yang hidupnya nomaden, karena cara
hidup mereka masih bergantung pada alam yang kaya akan isi perut bumi.
Di
antara keunikkan suku Kokoda juga tersimpan kelemahan dibalik tradisi adat
istiadat mereka yang masih tradisional. Karena itu, kurangnya pemberdayaan pada
suku ini, potensi alam yang melimpah tidak tergarap dengan baik sebagai sumber
ekonomi. Itulah realitas suku Kokoda, yang pada 9 Februari 2015 dikunjungi LAZISMU
dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam
perjalanannya kali ini, misi kemanusiaan ditujukan pada suku asli Papua Barat
yang selama ini hidupnya tergeser oleh perubahan sosial dan para pendatang
baru. Tidak adanya mata pencaharian yang tetap semakin membuat suku Kokoda
hidup dalam kemiskinan dan memprihatinkan. Menurut Khoirul Muttaqin, Direktur
Utama Lazismu, suku Kokoda juga dikenal sebagai suku yang pemalas. “Ini
tantangan bagaimana menghadapi sebuah kultur yang berbeda, nan jauh dari
jangkauan kita selama ini,” katanya.
Pada
tahap ini, MPM bersama Lazismu melakukan advokasi. Salah satunya bagaimana
mendorong wilayah yang didiami komunitas itu mampu bertransformasi menjadi
suatu desa yang diakui secara sah, sehingga layak memiliki tatanan hidup yang
sesuai dengan hukum di Indonesia. Hal
ini diadvokasi oleh MPM utk bergerak sampai menjadi desa. Khoirul mengatakan, kedatangannya sudah yang keempat
kali. “Misi pemberdayaan ini juga bermitra dengan pihak-pihak lain yaitu UMM
yang menyediakan tanah,“ kata Khoirul. Secara kemitraan pendampingan juga
dilakukan oleh IMM STKIP Papua. STKIP mendirikan Labschool (PAUD dan SD) meski
masih sangat minim, dan itupun kita fasilitasi dengan kegiatan belajar mengajar,
ceritanya.
Panggilan
kemanusiaan yang dikerjakan Lazismu dan MPM adalah bagaimana memberdayakan 58 Kepala
Keluarga dengan cara hidup yang masih tradisional. Mereka hanya menempati rumah dari kayu dan
bambu, itupun tidak lebih dari tujuh rumah, selebihnya rumah asli khas Kokoda.
Anak-anak mereka juga banyak, ini sangat memperihatinkan karena tidak ada ruang
privat keluarga.
Saat ini,
sebagai langkah pemberdayaan, monitoring dan evaluasi dilakukan. Terutama
meninjau sapi ternak yang pernah diserahkan Lazismu dan MPM tahun lalu. Sayang 2
ekor sapi mati, dari 10 ekor sapi yang ada, karena mereka belum mampu mengelola
sapi ternak dengan cara yang baik dan benar. Tentu ini adalah pekerjaan rumah
yang harus diperkuat kembali untuk ke depannya bagi suatu komunitas suku yang
ada di pedalaman.
Tak hanya
diberikan pengetahuan tentang beternak, suku Kokoda juga mendapatkan pembinaan
dari MPM. Antara lain bercocok tanam. Ada sayur mayur, umbi-umbian, dan tanaman
rempah-rempah yang memiliki nilai jual. Di samping itu, tim MPM juga memberdayakan
warga suku Kokoda di sektor perikanan. Mereka melaut, mencari rajungan, udang, dan
ikan yang ada di laut. Di ketahui, mereka tidak punya perahu yang mencukupi untuk
kebutuhan melaut.
Di sana, kita
dorong mereka untuk membuat perahu sebanyak 3 unit lengkap dengan peralatan dan
mesin. Mulanya mereka hanya punya perahu
satu, sekarang kita perkuat dengan 3 perahu dilengkapi cool box, jaring ikan, dan peralatan lainnya, ujar Direktur
Development Program Lazismu, H. Eko Purwanto. “Harapannya agar mereka mendapat pengalaman
baru dalam melaut nanti setelah mendapat pembinaan,“ ungkap Hari.
Suku Kokoda
harus segera ditingkatkan kapasitasnya lewat pengalaman dan cara pandang baru.
Mereka tidak punya pengetahuan yang cukup selain pengalaman yang tradisional. “Mau
tidak mau mereka harus berhadapan dengan realitas, sehingga dapat membangun
komunitasnya dengan cara baru sebagai tumpuan hidup mereka,“ paparnya.
Lebih
lanjut menurut Bachtiar, kendati sulit untuk berubah karakternya, MPM berkomitmen
untuk mendampingi. “Belajar dari pengalaman Januari tahun lalu, masyarakat
Kokoda yang didampingi MPM, sediki demi sedikit ada perubahan,” kata Bachtiar.
Di sana ada Syamsuddin, kader Muhammadiyah asli Papua. Sampai detik ini,
Syamsuddin bergiat mendampingi dengan segenap aktivitas pemberdayaan bersama warga.
Bachtiar
bersama Said Tuhuleley, menceritakan, sejak tahun lalu tim Ahli MPM di bidang
Pertanian, Indardi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), telah
memulai memanfaatkan lahan untuk
bercocok tanam. Aktivitas itu menjadi luar biasa, karena sebelumnya tidak biasa
dilakukan oleh warga suku Kokoda. Bambang Suwigno salah tim ahli MPM yang
mendampingi para perempuan suku Kokoda juga pernah bertemu langsung di lokasi, mengungkapkan,
ibu-ibi di sana sebetulnya punya peluang untuk melakukan produksi yang
menghasilkan, seperti kerajinan tangan dan mengolah sagu menjadi roti yang
lezat.
Sementara
itu, Syafii Latuconsina mengatakan, sejak kedatangan Lazismu dan MPM, warga
suku Kokoda mulai memperhatikan kebiasannya dalam beraktivitas. “Sebelumnya
mereka sangat malas untuk bersusah payah pergi ke pasar atau perkampungan untuk
menjajakan hasil buminya. Sekarang, mereka sudah memulai kendati terasa berat,
paparnya. Dulu mereka mengandalkan angkutan, tapi angkutan itu tidak beroperasi
lagi karena rusak. Mereka juga diberi pemahaman bahwa jarak yang jauh bukan
halangan untuk berikhtiar, tambahnya.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?