Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya
sendiri
Mereka terlahir melalui Engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
(Kahlil Gibran)
Sebelum terbit fajar, Asfar (2)
sudah bangkit dari tidurnya. Ia duduk sembari menyeka mata sebelah kanan dan
kirinya dengan kedua tangannya. Jum’at pagi yang masih gelap itu tak
dihiraukannnya. Matanya terbuka segar, seperti biasa udara segar ingin segera
dihirupnya, namun daun jendela dan pintu masih tertutup rapat.
Ayah, demikian ia menyapaku.
Tangannya yang lembut meraih tanganku. Ia ingin segera pintu itu dibuka. Sebelum
kakinya melangkah keluar, bunda meraihnya, pelukan sayang dan kecupan singgah
untuk Asfar. Selamat ulang tahun Asfar, semoga jadi anak yang soleh, pandai,
dan berbakti kepada orangtua, kata bunda bersyukur dihari kelahiran Asfar, 12
Juni ini. Saya pun mengucapkan selamat kepadanya, dan berdoa agar Asfar
mendapat hidayah dari Allah swt, sehat dan menjadi anak yang cerdas.
Asfar begitu bahagia meski belum
mengerti. Tapi senyumnya terus membuncah. Ayah dan bunda bahagia di pagi ini.
Semua itu tanpa lilin dan kue tar layaknya orang yang berulang tahun. Asfar
tidak mendapatkan kado, ia hanya mendapatkan bingkisan substansi cinta dari ayah
dan bunda. Kami sengaja tidak memberinya kejutan. Seminggu yang lalu kejutan
itu sudah diperoleh Asfar berupa sepeda roda tiga baru yang sederhana.
Maaf ayah dan bunda tidak dapat memberikan sepeda yang terbaik. Ayah dan bunda berharap ada nilai guna bagi Asfar dari sepeda itu untuk bermain dan belajar. Selebihnya hanya kereta mainan plastik seharga Rp 20000,- diterimanya dengan senang hati. Kereta plastik itu hanya kereta imajiner Asfar. Ia baru merasakan naik kereta sungguhan hanya KRL menuju Kota Tua untuk melihat Ondel-Ondel. Sementara untuk kereta diesel jarak jauh Asfar belum pernah merasakannya.
Jika ada rejeki, ayah bunda akan
berusaha lebaran nanti ajak Asfar ke rumah buyutnya di Jawa Tengah naik kereta
api. Kereta sesungguhnya yang dilihat sehari-hari saat melintas dihadapannya.
Mungkin, nanti itu menjadi pengalaman pertama kali Asfar naik kereta api dengan
jarak tempuh 7 jam, menuju Jakarta - Kroya. Jika tidak ada aral melintang
mungkin ke Purworejo dan Solo.
Duka dalam Kebahagiaan
Saat bahagia ada dalam kebersamaan
ini, ternyata masih ada duka yang terselip di sekitar kita. Belakangan ini
ramai dibicarakan soal gadis kecil bernama Angeline (8) yang menjadi korban
kekerasan hingga ditemukan tak bernyawa di belakang rumah ibu angkatnya, dekat
kandang ayam dengan gundukan sampah. Sampai saat ini, pihak berwajib belum bisa
membuka tabir dibalik peristiwa itu. Hanya Agustai yang baru ditetapkan sebagai
tersangka. Sementara masyarakat menilai ada orang lain selain pembantu itu,
yaitu Ibu angkatnya sendiri dan kakak angkatnya. Ada banyak kejanggalan memang,
bahkan kasus ini merupakan kasus menarik yang perlu disigi, setali tiga uang
dengan kasus Akseyna mahasiswa UI yang ditemukan tak bernyawa di danau.
Mungkin di sekitar kita, ada
Angeline-angeline lain yang tidak terungkap. Faktanya kekerasan terhadap anak
dan perlakuan salah terhadap anak (child
abuse) masih ada di sekitar kita. Adalah butuh kepekaan untuk menyigi
realitas sosial kita. Sayang di tengah-tengah kita, kepekaan untuk menyium
aroma segala rupa kekerasan belum mampu diikat dalam kebersamaan. Inilah
nestapa manusia modern seperti diungkapkan Erich Fromm, dan keberhasilan
manusia modern yang melumpuhkan eksistensi tuhan, ungkap Hosein Nasr saat
manusia berada dalam alienasi.
Kelahiran dan kematian sudah pasti
dialami manusia. Dua peristiwa yang dialami manusia dan swabukti. Tragedi
Angeline dan kebahagiaan ulang tahun seorang anak manusia adalah rangkaian
gerak hidup manusia. Angeline ada dalam gerak keterpisahan jiwa dan raga (eskatologi) dan peristiwa ulang tahun
adalah gerak instrospeksi diri untuk melejitkan potensi yang akan terus tumbuh
kembang.
Peristiwa yang menimpa anak, khususnya
perlakuan salah terhadap anak sejauh ini anak selalu dimaknai tak mampu berbuat
apa-apa. Ia merupakan kertas kosong (tabula
rasa) yang bebas diwarnai oleh pena apapun. Anak seperti makhluk pasif,
padahal ia aktif. Pengalaman empiris bersama anak selama ini hanya dimaknai sebagai
satu-satunya pengetahuan intelektual-emosional. Padahal diluar itu, ada pengetahuan
sejati yang swabukti dalam persepsi spiritual yang dilandasi cinta.
Modus cinta manusia menurut Fromm
ada dalam dua dimensi, yaitu memiliki dan menjadi. Pada dimensi pertama,
memiliki atas nama cinta pada akhirnya hanya nafsu dan kekuasaan semata. Cinta semu
yang dibungkus untuk menutupi keburukan dan kekurangan. Berbeda dengan modus cinta
menjadi, ia akan memaknai dengan penuh manusiawi dan peka. Karena modus cinta
kedua ini hadir bukan dalam kesadaran tunggal, tapi ada bersama dengan dunia
dan realitas lain yang tak dapat dijangkaunya.
Ibn Arabi dalam Fusushul Hikam mengatakan segala rupa jenis gerak yang ada dalam
semesta ini terpusat pada gerak cinta. Aneka perubahan dan proses kemenjadian
termanifestasi dalam lingkaran gerak cinta, baik secara vertikal dan horizontal.
Begitu pun anak manusia yang terlahir ke muka bumi dari tiada menjadi ada
berdasarkan cinta. Kematian pun ada dalam alam nyata meninggalkan orang-orang
yang dicintai dan mencintainya.
Sejalan
dengan peristiwa Angeline, gerak cinta telah ternodai oleh angkara dan keterasingan
manusia dari Tuhannya. Ibu kandung, ibu angkat atau manusia dewasa lainnya,
sejatinya memperlakukan anak bukan sekedar kertas kosong. Lebih dari itu, manusia
dewasa adalah seorang yang berperan melakukan origami cinta untuk kebahagiaan.
Dengan seni origami, sesungguhnya ayah dan ibu mampu membuat lipatan kertas
yang cantik dan indah, kertas yang berbentuk unik bagi fitrah seorang anak yang
suci.
Origami
kebahagiaan hanya dapat tercipta oleh akal positif bukan dengan nafsu negatif.
Haidar Bagir dalam karyanya Buku Saku
Filsafat Islam (2005: 68), mengatakan, adalah tak sulit untuk dipahami
bahwa kebahagiaan terkait erat dengan kecakapan kita mengolah perasaan,
kesedihan, kekecewaan, kerisauan, frustasi, kesepian dan sebagainya. Haidar
menambahkan, diluar agama, tata kelola emosi dikendalikan oleh rasio. Di
sinilah sesungguhnya pengetahuan spiritual yang pada esensinya bersifat
rasional dapat membantu keterasingan manusia.
Kendati
begitu, dalam tumbuh kembang anak pada aspek perkembangannya tak cukup
mengandalkan pengetahuan empiris semata, kita membutuhkan pengetahuan lain di
mana jiwa sebagai substansi dari hati mesti didekati secara spiritual untuk
memastikan bahwa origami kebahagiaan itu ada dalam diri setiap manusia
berdasarkan cinta.
Angeline
dalam kenyataannya ditemukan berpelukan dengan sahabat imajinernya (boneka),
suatu imajinasi yang pada dasarnya sebagai bagian dari perangkat pengetahuan
yang berwujud pesan cinta yang tak dapat disampaikan kepada orang yang
dicintainya. Angeline sesungguhnya telah merenungi cinta yang sesungguhnya
kendati tak sampai diraihnya. Namun kepergiannya telah membuktikan kepada kita
semua bahwa gerak cinta itu ada, tak perlu pembuktian karena sudah ada dalam
jiwa setiap orang yang berakal sehat. Wallohu
‘alam
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?