January 31, 2017

SDGs dan Visi Filantropi Berkemajuan




Memahami fakta dan kenyataan atas kemiskinan memerlukan pendekatan komprehensif. Suatu cara pandang holistik yang memungkinkan menarik titik-titik keterpisahan dan keterpilahan. Manusia tidak saja ditempatkan secara parsial dalam persoalan kemiskinan, namun secara bersama-sama turut serta berperan dengan menawarkan gagasan baru yang saling melengkapi.

Realitas kemiskinan telah menjadi bahasan aktual di seluruh dunia. Salah satunya adalah menyuarakan sistem kepemimpinan yang mampu mengatasi kemiskinan, kesenjangan dan perubahan iklim. Agenda besar pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan melalui Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) sejak tahun 2000 yang selanjutnya direvisi dalam agenda 2030 dan tertuang sebagai tujuan global melalui tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs) dengan 17 rekomendasinya menuntaskan agenda-agenda yang masih tertinggal.


Dampak yang diharapkan dari SDGs pada prinsipnya adalah pengurangan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan yang merata, mata pencaharian dan pekerjaan layak, akses merata kepada pelayanan dan jaminan social, keberlanjutan lingkungan dan mempertinggi ketahanan terhadap bencana, pemerintahan yang ditingkatkan kualitasnya dan akses merata kepada keadilan bagi semua orang.

Tujuan luhur tersebut kini direspon oleh berbagai pihak, dengan memperluas mitra dan jaringan kerja baik di tingkat internasional, regional dan lokal. Salah satunya juga direspon oleh komunitas filantropi. Diakui bahwa isu kemiskinan dan kesejahteraan melekat dengan istilah ekonomi. Bahkan pendekatan ekonomi dianggap masih gagap membaca kemiskinan dan ketimpangan sosial yang dialami setiap persona.

Berbagai kajian telah mengabarkan jika persoalan ini persoalan multidimensi atas sebab globalisasi yang berjalan seiring dengan ilmu pengetahuan modern yang tanpa disadari meninggalkan jejak keterpisahan antara subjek dan objek sebagai bangunan persepsi. Globalisasi dengan akumulasi kapitalnya telah memandang manusia sebagai bagian-bagian kecil (atom) dalam masyarakat ekonomi.

Tidak berbeda dengan cara pandang terhadap alam di mana krisis ekologis terjadi atas sebab memahami alam sebagai entitas yang di dalamnya tanpa jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa insani. Untuk itu SDGs ditilik dari sisi holistiknya telah merusmuskan sekaligus merapikan balok-balok dari sebuah entitas kehidupan yang terpisah ke dalam entitas kehidupan yang berkesadaran dan bermakna.

Lembaga filantropi belakangan ini mendapat peran signifikan untuk ikut serta dalam pencapaian target SDGs. Kontribusinya diyakini mampu membuka keterlibatan aktif para pemangku kepentingan dan masyarakat sipil dalam menciptakan program-program yang berdampak positif.

Terutama gerakan ZIS yang spiritnya berkaitan dengan isu pemberantasan kemiskinan, menghapuskan kelaparan, peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi, energi, pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan, perubahan iklim dan kemitraan. 

Visi Filantropi Berkemajuan

Saat muktamar di Makassar 2015, Muhammadiyah telah menetapkan 13 rekomendasi untuk isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal, salah satunya komitmen melayani dan memberdayakan kelompok Difabel dan kelompok rentan lainnya dan memaksimalkan bonus demografi. Termasuk Muhammadiyah memandang perlu melakukan advokasi terhadap para pekerja Indonesia di luar negeri dan memberikan wacana yang utuh soal kesetaraaan derajat manusia. Muhammadiyah mengecam praktik perbudakan apapun bentuknya yang mengeksploitasi manusia.

Hal ini sejalan dengan perintah agama Islam khususnya berkenaan dengan pemberdayaan 8 asnaf yang memerlukan pemaknaan transformatif agar penyaluran zakat tidak selalu bersifat karitatif.  Di samping itu, 13 rekomendasi itu merupakan bentuk keberpihakan yang bertalian dengan 17 rekomendasi SDGs. Karena itu, visi filantropi juga memerlukan terobosan fikih zakat dalam memaknai isu-isu di atas sesuai dengan kemaslahatan diniyah dan duniawiyah (maqashid al-syariah).

Sebagai wujud memperkuat gerakan ekosistem zakat, Lazismu mengikuti beberapa perkembangan isu SDGs yang terkait dengan zakat. Di antaranya yang berpautan dengan aspek hukum berupa kebijakan-kebijakan yang berlaku di tingkat nasional dan tingkat daerah yang berhubungan dengan filantropi dan keberlanjutannya. Pada sisi ini, kebijakan-kebijakan tersebut dalam lingkup undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri akan beririsan dengan tujuan-tujuan global SDGs yang direspon oleh LAZ. Maka upaya mengentaskan kemiskinan akan sulit terwujud jika kebijakan-kebijakan yang ada tidak mendukung gerakan filantropi.

Erna Witoelar, Anggota Dewan Pengarah Filantropi Indonesia dalam sambutannya pada acara Zakat on SDGs di Menara Thamrin Jakarta, yang diselenggarakan BAZNAS, UNDP dan Filantropi Indonesia (26/1/2017), mengatakan ketika seseorang masih belum mengenal SDGs, maka sudah saatnya bagi lembaga-lembaga filantropi untuk segera bergerak. “Tujuannya agar kita dapat menjangkau masyarakat yang tidak terjangkau,” katanya. Erna menuturkan untuk melakukan kerja-kerja filantropi seperti di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan lainnya perlu menggalang kerjasama lintas sektoral. “Kita percaya SDGs akan tercapai, mencapainya dengan gerakan zakat,” paparnya.  

Sementara itu, Nana Mintarti anggota BAZNAS mengatakan, cara pandang alternatif tidak akan ada jika gerakan zakat di Indonesia tidak menempatkan poin-poin penting tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, ketika masyarakat masih belum mengerti tentang dampak pengelolaan zakat, “lembaga-lembaga zakat dapat memaknai isu-isu strategis SDGs yang berkaitan dengan program-program pemberdayaan zakat,” jelasnya.

Situasi ini justeru juga akan memperkuat akuntabilitas, rasa memiliki dan profesionalisme dalam pengelolaan zakat yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Di samping itu, dapat mengembalikan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap sistem pengelolaan zakat dan dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan sistem pengelolaan zakat yang memberikan manfaat baru. Selain itu, dalam masterplane arsitektur keuangan syariah, zakat dapat mendukung industri keuangan syariah termasuk di dalamnya lembaga zakat sebagai bagian tak terpisahkan.

Dalam kesempatan itu, Wahyuningsih Darajati, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Bappenas, mengutarakan bahwa pokok arahan implementasi SDGs adalah optimalisasi dan keterlibatan semua pihak untuk pembangunan berkelanjutan. Melalui potensi zakat dalam SDGs, Wahyuningsih menambahkan dapat menciptakan kepercayaan (trust) dan keseimbangan tentunya dengan program-program dan pembiayaan inovatif.   




Menanggapi perkembangan filantropi yang terus berkembang, Haidar Bagir mengatakan ini adalah waktu yang tepat, bagaimana membedah zakat dan SDGs. Sehingga persoalan-persoalan zakat kontemporer dapat terdeteksi kenapa belum terkoneksi. Pada saatnya tiba zakat dan SDGs akan dapat bersinergi karena keduanya memiliki tujuan yang sama. “SDGs dapat memandu gerakan zakat untuk menjalankan konsep filantropi keadilan sosial, yaitu filantropi yang dapat memberikan kontribusi dalam hal mengatasi akar masalah ketidakadilan sosial di Indonesia,” tandasnya.

Seiring dengan hal itu, keberadaan Lazismu awal mulanya adalah sebagai respon terhadap fakta bahwa Indonesia masih mengalami kemiskinan, kebodohan, dan indeks pembangunan manusia yang sangat rendah. Kedua, zakat diyakini mampu bersumbangsih dalam mendorong keadilan sosial, pembangunan manusia, dan mampu mengentaskan kemiskinan. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat, infak, dan wakaf yang tinggi.

Berangkat dari uraian di atas, dari agregat 8 asnaf, 13 rekomendasi hasil muktamar Muhammadiyah Makassar dan 17 tujuan global SDGs sebagai acuan program, selanjutnya Lazismu mengklasifikasikannya dalam tiga kelompok program antara lain program Sosial Dakwah dan Pendidikan, Ekonomi kreatif-produktif dan advokasi (na)

     

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?